KURUNGBUKA.com – Beberapa waktu lalu, mungkin Anda termasuk orang yang geli tatkala beberapa nama program pemerintah daerah menyapa di beranda media sosial: Sipepek, Sithole, Siska Ku Intip, Simontok, Sisemok, Sicantik, Siganteng, Sipedo, Mas Dedi Memang Jantan dan i-Pubers. Nama-nama yang sekilas mendiskreditkan kaum hawa dan memberi kesan tidak sopan itu bukan bualan tetapi merupakan nama program yang sebenarnya merupakan inovasi yang cukup keren.

Di sinilah kita barangkali tersadarkan, prasyarat menamai sesuatu tidak cukup mengandalkan hal-hal ini: mudah diingat, berbeda dari program lain, terus terang, resmi, dan unik—mungkin lucu. Apalagi, program itu pelayanan untuk masyarakat. Sebuah nama menyelipkan harapan, dalam hal ini, niat mulia pemerintah memenuhi kewajiban di berbagai sektor kehidupan masyarakat. Ketika nama yang dipilih tidak pas, nama itu akan membingungkan publik, bahkan mengarahkan ke kesalahpahaman, ambil contoh nama program di awal tulisan yang terus digoreng warganet Indonesia hari ini: Makan Bergizi Gratis (MBG). Apalagi setelah foto Wakil Badan Gizi Nasional, Nanik S. Deyang menangis meminta maaf karena banyaknya kasus keracunan akibat MBG, tersebar di mana-mana.

Dari kacamata logika bahasa, Makanan Bergizi seharusnya sudah cukup mewakili niat pemerintah untuk menyediakan makanan sehat untuk anak-anak kita di sekolah. Kata gratis di sana lewah, kehadirannya justru mengganggu karena kata itu biasanya identik dengan sesuatu yang murah. Sementara pada nama program itu, ada kata “makanan bergizi”. Kata gizi oleh KBBI Daring diartikan sebagai n zat makanan pokok yang diperlukan bagi pertumbuhan dan kesehatan badan, sesuatu yang kita tahu tidak selalu murah diperoleh di pasar.

Logika bahasa berkaitan erat dengan kebenaran sebuah kalimat, menuntut realitas yang sama dengan gambaran kata itu di dalam pikiran. Misal, imbauan di tempat umum yang menuntut suasana tenang: Yang menggunakan HP harap dimatikan. Logika bahasa imbauan itu akan menuntut “mematikan” mereka yang menggunakan ponsel, bukan ponsel yang mereka gunakan. Atau kata-kata klise yang sering kita dengar pada acara-acara seremonial, “pada kesempatan yang berbahagia ini”, dapat kita analisis dengan: apakah kesempatan yang bisa merasakan kebahagiaan?

Dalam dunia pemasaran, kata gratis memiliki daya pikat tak terbantahkan. Kata itu mampu menciptakan kegembiraan, menarik perhatian, juga memanggil kita untuk terlibat. Lihat saja bagaimana tawaran beli dua gratis satu bisa memengaruhi kita membeli barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan sama sekali. Kata gratis dalam frasa sampel gratis di beberapa lapak buku daring sering membantu kita dalam memutuskan apakah akan lanjut membeli atau tidak. Tami Brehse, penulis sekaligus konsultan pemasaran, bahkan memasukkan gratis dalam daftar sembilan kata dan frasa paling ampuh selain kata kamu, karena, bebas risiko, rahasia, instan, waktu terbatas, mudah, dan jangan lewatkan.

Dalam kamus Merriam-Webster, tertera bahwa kata gratis berasal dari kata Latin, gratiis, yang diserap ke bahasa Belanda, gratis, merujuk pada suvenir, barang kecil yang diberikan cuma-cuma kepada semua orang yang menghadiri pesta. Dalam konteks tersebut, gratis digunakan sebagai kata sifat seperti pada kalimat “The drinks were gratis.” (Minumannya gratis), dan kata keterangan seperti pada kalimat “Drinks were served gratis.” (Minuman disajikan secara cuma-cuma). Kata ini digunakan pertama kali pada abad ke-15, dengan arti yang diserap KBBI, without charge or recompense.

Lalu, bagaimana keampuhan kata itu dalam sebuah nama program pelayanan masyarakat?

Di tengah keadaan yang semakin sulit, janji makan bergizi gratis pada saat kampanye Pilpres 2024 terbukti berhasil. Program itu memang mulia, bayangkan anak-anak yang tidak memiliki kemewahan untuk bisa sarapan setiap hari—bukan karena tidak sempat tetapi karena memang tidak ada yang bisa disediakan ibunya, juga tak punya uang sepeser pun untuk membeli jajanan di sekolah—kini diberi jatah makanan bergizi di sekolah.  Kita tahu, tak ada otak yang bisa berpikir dan fokus jika perut dalam keadaan kosong. Program Pak Presiden itu bisa saja sangat menolong, mungkin sama sekali tidak merujuk kesukaan kita pada hal-hal yang digratiskan.

Akan tetapi, nama merupakan identitas, petunjuk, penanda eksistensi sesuatu. Kita ingat bagaimana Gabriel Garcia Marquez menarasikan Jose Arcadio Buendia dan satu kampung Macondo saat diserang wabah insomnia yang ditularkan Rebeca dalam One Hundred Years of Solitude. Aureliano menemukan metode mengingat nama benda-benda yang ada di laboratorium kimianya, rumah mereka, binatang dan tanaman peliharaan mereka sampai pada fungsinya berdasarkan ingatan yang mulai kabur dengan menuliskannya. Pada paragraf pertama novel itu, ada kalimat “Dunia tampak baru sehingga banyak benda belum mempunyai nama dan untuk menyatakan benda-benda ini, kita harus menunjuknya.” (Terjemahan Nin Bakdi Soemanto, Bentang, 2007.) Pada titik ini, saya merasa Gabo seolah ingin memprotes adagium Shakespeare yang terkenal itu: Apalah arti sebuah nama.

Ataukah, jangan-jangan, keberhasilan janji soal MBG di Pilpres 2024 hanya petunjuk bahwa kita memang bermental gratisan?

*) Image by inilah.com

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<