KURUNGBUKA.com – Film Lyora: Penantian Buah Hati menawarkan pengalaman menonton yang menghangatkan dan mengharukan, terutama bagi penonton yang pernah mengalami atau dekat dengan kisah serupa. Diangkat dari buku Lyora: Keajaiban yang Dinanti karya Fenty Effendy yang berdasarkan kisah nyata Meutya Hafid (Menteri Komunikasi dan Digital) dan Noer Fajrieansyah, film ini berhasil menyentuh emosi lewat narasi perjuangan mendapatkan buah hati yang penuh rintangan namun juga harapan. Fim ini diproduksi oleh Paragon Pictures dan disutradarai oleh Pritagita Arianegara serta diproduseri oleh Robert Ronny.
Salah satu kekuatan film ini terletak pada kesederhanaan penceritaannya yang tetap menyimpan kehangatan, terutama dalam hubungan antara Meutya (Marsha Timothy) dan Fajrie (Darius Sinathrya) yang dalam beberapa adegan mampu membuat penonton berkaca-kaca, termasuk dengan ibunya Meutya (Widyawati). Saya sendiri menonton bersama ibu, dan melihat beliau terharu serta menitikkan air mata—itu pengalaman yang membuat film ini terasa lebih berarti. Scene-scene keluarga terasa cukup tulus, dengan atmosfer yang mengalir tanpa banyak dramatisasi.
Secara visual, ada beberapa elemen menarik yang cukup konsisten muncul, seperti boneka kura-kura yang berulang kali hadir sebagai hadiah. Ini mengundang tafsir simbolik: Apakah ia lambang kesuburan, ketekunan, atau sekadar properti lucu? Film seolah memberi ruang bagi penonton untuk menafsir sendiri, meski kadang terasa menggantung.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa film ini juga menyisakan beberapa kekurangan. Salah satunya adalah ekspektasi terhadap naskah yang ditulis oleh Titien Wattimena (yang dikenal dengan film Noktah Merah Perkawinan), saya membayangkan dialog-dialog emosional yang kuat dan tajam. Sayangnya, hal itu tidak sepenuhnya hadir. Beberapa dialog terasa datar dan kurang mencengkeram, terutama ketika menyentuh tema spiritualitas. Misalnya, pengucapan kata “semesta” atau “yang di atas” alih-alih “Allah” terasa janggal, mengingat karakter Meutya digambarkan religius dan rajin beribadah. Priska Amalia juga turut terlibat dalam penulisan skenarionya.

Karakter Fajrie juga terasa terlalu “sempurna.” Ia nyaris tidak memiliki kekurangan, bahkan di tengah tekanan psikologis program bayi tabung yang penuh tantangan. Ini membuat dinamika emosional suami-istri dalam film terasa kurang seimbang. Bisa jadi ini konsekuensi dari adaptasi kisah nyata, di mana ruang fiksi untuk mengolah konflik lebih dalam menjadi terbatas. Pemilihan nama Lyora untuk anak yang dinanti-nantikannya ini pun tidak dijelaskan arti dan alasannya, padahal menurut saya ini cukup krusial bagi penonton supaya tahu sebab dijadikan judul film.
Selain itu, adegan pembuka yang menggambarkan Meutya dan Fajrie pergi ke dukun terasa agak dipaksakan dan kurang kuat secara dramaturgi. Keluarga terdidik dan berada seperti mereka mungkin tidak mudah diyakinkan melakukan tindakan seperti itu—apalagi dengan ritual yang digambarkan cukup ekstrem seperti memukul palu di kaki. Penjelasan konteks keputusasaan bisa diperkuat agar lebih meyakinkan.
Dan ya, satu detail kecil yang cukup mengganggu tapi muncul berkali-kali: rambut Darius. Entah itu rambut asli atau palsu, tapi tampilannya terlalu rapi hingga jadi distraksi yang tidak perlu.
Di balik kekurangannya, film ini tetap patut diapresiasi sebagai bentuk representasi perjuangan banyak pasangan dalam meraih mimpi menjadi orang tua. Ini bukan hanya tentang kehamilan, tapi tentang harapan, cinta, dan kesabaran yang diuji waktu. Selamat menonton! Film Lyora mulai tayang hari ini, 7 Agustus 2025!
Skor: 7/10
*) Image by IMDb.com