KURUNGBUKA.com – Yang matanya sehat dapat melihat pemandangan indah. Bersyukurlah! Yang berkacamata juga mampu melihat yang indah-indah. Maka, bersyukurlah. Padahal, kita tidak cuma melihat pemandangan yang indah. Mata sehat diperlukan bagi pembaca buku atau penonton televisi. Sekarang, mata mungkin paling banyak untuk gawai.

Yang suka menonton pertandingan sepak bola di layar kecil pastilah matanya hebat. Berbeda dengan yang memilih menonton di layar televisi. Pengalaman menonton olahraga di televisi dan ponsel mulai terasa perbedaannya. Namun, banyak yang memilih praktis menonton apa-apa di ponsel saja, tidak perlu menghidupkan televisi.

Bayangkan jika mereka menonton pinpong. Bola yang kecil itu dipukul bolak-balik secara cepat. Apakah mata sanggup mengikuti gerakan bola? Seru bila kita melihat pingpon itu dekat dengan meja dan pemainnya. Jika gagal hadir di tempat pertandingan pingpong mendingan menonton di layar televisi.

Orang yang tidak mengerti dan berminat menonton pingpong boleh mengalihkan pandangan mata ke tulisan. Yang kita maksud adalah puisi berjudul Bermain Pingpong yang digubah Agus Dermawan T. Puisinya dimuat dalam majalah Zaman, 11 Oktober 1981.

Yang ditulis bukan masalah olahraga tapi judulnya menggunakan pingpong. Kita mengetahui ping pong adalah olahraga di atas meja. Agus Dermawan T sering menulis esai-esai bertema seni rupa. Ia bukan wartawan di bidang olahraga atau pengamat olahraga. Dulu, ia pernah bekerja di majalah juga tidak mengurusi masalah olahraga. Pastinya ia sangat paham tentang kesenian dan kebudayaan. Buktinya, sampai sekarang, ia terus menulis esai-esai di Tempo, Kompas, Jawa Pos, dan lain-lain.

Pada 1981, ia masih muda. Apakah ia masih menyimpan puisi di majalah Zaman? Ia bertumbuh dalam perayaan kertas. Artinya, segala tulisan dicetak di kertas (majalah dan koran). Penulis yang rapi dalam kliping akan mudah mengenang masa lalunya. Yang terjadi adalah lupa dan tercecer. Apa jejak di kertas itu masib penting di zaman sekarang?

Agus Dermawan T menulis: malam bisu/ anjing melolong/ maka, kita pun bermain pingpong/ berdetak-detak/ berdetak-detak seluruh gelap/ tersita segenap keheningan/ tersapu semua kemurungan/ dalam sepi. Kita yang membaca jadi bingung. Pengarang masa lalu keterlaluan dalam menulis puisi yang kebanyakan kata-kata tidak membahagiakan. Pembaca merasa mengalami yang tidak bahagia dengan “gelap”, “hening”, “murung”, dan “sepi”.

Larik-larik itu tidak mengisahkan olahraga yang memperbutkan piala atau hadiah berupa uang. Pingpong yang ditulis bukan seperti yang biasa terlihat dalam acara olahraga. Yang menulis mungkin ingin memberi keunikan atau kejutan. Kita mulai pikir-pikir bahwa olahraga yang terkenal di Indonesia itu bulutangkis, bukan pingpong. Mengapa yang ditulis pingpong? Kini, kita tergoda untuk mengumpulkan puisi-puisi bertema olahraga agar kelak ada album yang dapat menjadi referensi keakraban antgara sastra dan olahraga di Indonesia, dari masa ke masa.

Selanjutnya: segala pertaruhan nampak lebih berjiwa/ dan setiap kemenangan akan lebih nyata/ mari saksikan pertandingan itu/ hingga kau tahu bola ada/ padaku. Anggap saja kita mengerti maksud puisi tentang dua orang yang terlibat jalinan ini dan itu. Masalah mereka dibahasakan dengan pingpong. Artinya, ada bolak-balik bola yang menjadikan mereka kalah atau menang.

Yang terpenting bukan puisinya tapi orangnya. Pada masa muda, kesenangan atau gairah menulis puisi diwujudkan dengan keinginan dapat dimuat di koran atau majalah bergengsi. Di Indonesia, masa muda berpuisi kadang berlanjut saat tua. Namun, ada beberapa orang yang menjadikan itu “perantara” atau “terminal” saja untuk selanjutnya menekuni hal-hal lain. Pada akhir abad XX dan abad XXI, kita mengetahui Agus Dermawan T itu menulis esai dan buku, yang paling banyak tentang seni rupa. Padahal, masa mudanya berpuisi. Pada saat tua, ia kadang-kadang menulis puisi tapi orang kurang memberi perhatian. Beberapa pembaca malah kaget saat mengetahui masa lalunya rajin menulis puisi.

Jadi, puisi bisa kenangan. Mereka yang saat ini terkenal dan tua boleh menengoka masa lalu dengan membaca puisinya. Beruntunglah yang masih menyimpan. Bagi yang tidak lagi mengoleksi bisa berharap bertemu dengan tukang kliping yang menyelamatkan puisi-puisi terceta di koran dan majalah beberapa tahun lalu. Yang pernah ditulis dan dimuat jangan dianggap sia-sia.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<