KURUNGBUKA.com – Kesibukan menghitung buku dan membuat daftar peringkat mungkin cukup menghibur saat matahari sedang ganas-ganasnya memberkati warga Indonesia. Jadi, berteduh atau mendekam di perpustakaan yang dingin dapat disempurnakan dengan membuka katalog yang tersedia. Katalog berwujud kertas atau tercantum di komputer?
Kita akan mengetahui jumlah koleksi novel. Di perpustakaan kota atau kabupaten, seharusnya jumlahnya ratusan. Kita sedang menatap rak untuk sastra. Apakah urutan selanjutnya adalah buku yang memuat cerita pendek atau puisi? Jumlahnya mungkin banyak tapi mustahil mengalahkan jumlah novel. Di situ, kita mungkin membaca ada beberapa judul buku mengenai biografi pengarang. Yang sedikit biasanya buku berisi esai-esai dan buku-buku yang dicap sebagai teori sastra dan kritik sastra.
Yang matanya awas dan cermat membaca nama: Rachmat Djoko Pradopo. Siapa? Dulu, ada yang mengingatnya sebagai penulis puisi. Yang wajib dimengerti adalah Rachmat Djoko Pradopo mengajar di UGM. Ia mengajar di fakultas sastra, bukan fakultas pertanian atau kedokteran. Artinya, namanya tercatat dalam sastra Indonesia.
Orang-orang yang pernah kuliah di jurusan sastra atau meminati sastra dijamin pernah mengetahui buku-buku terbitan UGM Press. Buku-buku itu mengenai kritik sastra yang disusun oleh Rachmat Djoko Pradopo. Ia mengajar sekaligus membuat buku untuk pedoman para mahasiswa mengetahui kritik sastra. Yang diajarkan tidak memberi tuntutan agar mahasiswa nantinya menjadi kritikus sastra.
Buku-bukunya sering cetak ulang. Apakah ada buku-buku lain yang larisnya melebihi buku-buku Rachmat Djoko Pradopo? Jawab saja: ada. Kita belum perlu menyebut nama dan judul buku-bukunya. Sejak puluhan tahun lalu, orang-orang mengakui bahwa buku-buku Rachmat Djoko Pradopo ikut menyukseskan perkuliahan sastra dan memberi asupan kepada yang meminati kritik sastra. Beberapa bukunya ada yang diterbitkan Pustaka Pelajar dan Gama Media. Buku yang terkeren berjudul Kritik Sastra Indonesia Modern. Buku yang berasal dari disertasi.
Kini, kita membaca nama Rachmat Djoko Pradopo di majalah Basis edisi Maret-April 1990. Di situ, ada artikelnya yang berjudul Kritik Sastra Indonesia Modern dan Permasalahannya. Yang membaca membuat dugaan bahwa semula tulisan adalah bahan perkuliahan atau makalah dalam seminar. Jenis tulisan yang tidak enak dibaca tapi perlu.
“Aspek-aspek pokok kritik sastra adalah analisis, interpretasi (penafsiran), dan evaluasi (penilaian),” tulis Rachmat Djoko Pradopo. Sebelum kalimat itu ada penjelasan yang panjang yang menuntut keseriusan. Orang yang membaca merasa sedang berada di ruang kuliah, tidak boleh mengantuk, melamun, atau berisik.
Bacalah kalimat-kalimatnya yang patut diragukan: “Sejak lahirnya, bersamaan dengan lahirnya kesusastraan Indonesia modern, sekitar tahuh 1920 hingga sekarang, kritik sastra Indonesia modern selalu diiringi masalah, yang praktis maupun yang teoretis.” Jadi, Rachmat Djoko Pradopo termasuk orang yang percaya sastra modern di Indonesia dimulai pada masa 1920-an dan ditentukan oleh Balai Pustaka. Pengandaian bila pembaca berada dalam ruang seminar, pengakuan itu bisa digugat, berdampak meralat titik awal kemunculan kritik sastra di Indonesia.
Kita membaca lagi: “Para penulis kritik sastra Indonesia modern sampai pertengahan tahun 1950-an, sebagian besar adalah para sastrawan. Oleh karena itu, periode 1920-1955 itu merupakan periode kritik sastrawan.” Apakah yang dinyatakannya benar? Kita yang tidak membuat penelitian jangan berani-berani menyangkal. Yang boleh diganti adalah “oleh karena itu” menjadi “oleh sebab itu”.
Perkembangan yang terjadi masuk dalam pengamatan Rachmat Djoko Pradopo: “Kurang lebih pada pertengahan tahun 1950-an, timbul jenis kritik sastra yang baru, yaitu yang terkenal dengan kritik akademik atau kritik ilmiah.” Penyebutan yang gagah dan “menakutkan”. Yang membuat kita minder adalah “akademik” atau “ilmiah”. Nantinya itu menular cepat dan lestari sampai sekarang.
Tulisan yang disajikan Rachmat Djoko Pradopo di majalah Basis tidak panjang. Yang bikin iri adalah daftar pustaka. Di situ, ada nama penulis dan judul buku yang sangar-sangar. Jadi, Rachmat Djoko Pradopo hanya membuat tulisan pendek tapi kebanyakan referensi. Kita dapat menirunya agar termasuk kaum yang paham kritik sastra. Yang penting lagi adalah mencantumkan kepustakaan yang berbahasa Inggris, jangan selalu yang berbahasa Indonesia. Konon, artikel yang bermutu dan berkhasiat sangat dipengaruhi adanya buku-buku yang berbahasa Inggris, Belanda, Prancis, atau Jerman.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<