KURUNGBUKA.com – Ia datang dari Solo. Pada masa awal bersastra, ia bersama teman-teman berusaha memajukan sastra (berbahasa) Jawa. Masa yang cukup membentuknya sebagai pengarang. Di Solo, ia tidak bersumpah untuk menjadi pengarang terbesar atau tersakti di Indonesia. Namun, nasibnya memang baik.
Pada akhirnya, ia tidak hidup di Solo. Pengarang yang bernama Arswendo Atmowiloto tinggal dan bekerja di Jakarta. Ia boleh beralasan rezeki atau memajukan diri dalam sastra.
Yang tercatat adalah pekerjaannya dalam pers. Ia moncer dengan kehebatannya menggerakkan majalah Hai dan tabloid Monitor. Hai, majalah untuk remaja yang dikelola dengan keseruan. Akibatnya, majalah itu laris. Arswendo Atmowiloto tidak hanya mengurusi keredaksian secara teknis. Di halaman-halaman Hai, ia malah mengenalkan dan membesarkan beberapa pengarang.
Pembaca majalah Hai yang sudah kecanduan pasti keseringan membaca tulisan-tulisan Arswendo Atmowiloto: artikel dan cerita bersambung. Di majalah yang berpengaruh di kalangan remaja, Arswendo Atmowiloto berhasil menulis beberapa cerita bersambung, yang akhirnya terbit menjadi buku-buku. Yang sering menerbitkan adalah Gramedia.
Banyaknya tulisan di Hai kadang memicu Arswendo Atmowiloto menggunakan nama samarannya. Jadi, ia termasuk pengarang yang “serakah” di Indonesia. Kemampuannya dalam menulis tidak dapat ditandingi. Padahal, ia memiliki kesibukan-kesibukan yang penting. Namun, misi menulis cerita tidak dapat dihentikan. Ia maju terus seolah tanpa rem. Apa ia adalah titisan dewa cerita?
Yang mula-mula tampail di majalah Hai dan terbit menjadi buku adalah cerita silat yang berjudul Senopati Pamungkas. Dulu, para remaja mengikutinya cerita bersambung dengan berdebar, penasaran, dan tak sabaran. Mereka mewajibkan diri untuk rutin membaca Hai, mengikuti cerita yang dibuat oleh pengarang berjurus serbabisa. Siapa yang dulu membuat kliping lengkap untuk cerita bersambung buatan Arswendo Atmowiloto? Kita mengharapkan edisi kliping itu dapat dijual dengan harga mahal ketimbang buku Senopati Pamungkas cetakan pertama yang berjilid-jilid atau edisi buku tebalnya.
Di majalah Jakarta Jakarta, 17 Maret 1990, kita bertemu iklan yang sangat memikat. Penilaian ini berdasarkan model garapan iklan (buku) pada masa 1990-an. Iklan untuk Senopati Pamungkas terbitan Gramedia tampak gagah dan mewah. Terpujilah pengarang yang berhasil membuat cerita yang panjang, yang digemari ribuan pembaca!
Yang disampaikan dalam iklan: “Senopati Pamungkas bukan hanya pantas dibaca untuk mengagumi kebesaran kisah tradisi yang berbau tanah dan air sawah Indonesia, atau pengisi perpustakaan. Lebih dari itu, bisa untuk kado, bingkisan yang mencerminkan keluasan wawasan budaya pengirim dan penerimanya.” Ada bujukan agar para remaja atau kaum dewasa yang menggemari Senopati Pamungkas berpikiran bahwa kado terindah adalah buku. Kado bisa diberikan dalam pernikahan atau ulang tahun.
Tampaklah gambar di sampul buku Arswendo Atmowiloto, yang menampilkan sosok gagah perkasa. Jangan percaya itu tubuh pengarang. Arswendo Atmowiloto tidak ganteng.
Pembaca diharapkan memiliki semua jilid. Artinya, ia harus berduit. Jangan berpikiran harga! Yang terbaik adalah membeli dan membacanya. Dijamin para pembaca tidak merugi untuk kelelahan membaca cerita silat. Yang dianjurkan adalah mengurangi jam tidur dan jam bermain agar jilid-jilid Senopati Pamungkas bisa segera dirampungkan.
Iklan itu memuat pesan yang diberikan oleh Arswendo Atmowiloto, yang awalnya disampaikan dalam diskusi: “Dalam keadaan yang bagaimanapun ruwetnya, ternyata kita masih bangga dan mencintai tanah air, lebih dari yang pernah kita bayangkan atau ucapkan.” Omongannya bagus dan bermutu. Dulu, orang yang biasa mengikuti diskusi atau seminar dipastikan terhibur oleh gaya bicara dan pikiran-pikiran Arswendo Atmowiloto.
Anehnya, cerita silat yang diwariskan pengarang kondang dan lucu itu jarang dimasukkan dalam sastra Indonesia. Yang terjadi adalah malu-malu dari umat sastra untuk menempatkan Senopati Pamungkas dalam arus sastra. Padahal, cerita yang dibuat Arswendo Atmowiloto itu bermutu meski ia harus pikir-pikir untuk menyaingi kehebatan Kho Ping Hoo yang telah menimbulkan candu sepanjang masa.
Kini, yang sudah menjadi kakek bila membaca lagi Senopati Pamungkas bakal mengetahui masa sukacita remaja di Indonesia keranjingan membaca Hai. Artinya, mereka berada dalam gairah sastra, yang masih belum mendapat pujian dalam amatan sastra di Indonesia. Arswendo Atmowiloto menjadi gembala sastra yang terlalu lama dibiarkan tanpa memberikan panggung istimewa dalam (industri) perbukuan sastra.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<







