“Namun, tak ada manfaatnya bermuram durja. Yang pasti, bodoh sekali kalau saya menyia-nyiakan sisa cahaya yang tinggal beberapa menit. Saya berjalan kembali ke Ford dan mengisi tas dengan beberapa barang penting. Lalu, dengan memperlengkapi diri dengan lampu sepeda, yang ternyata memancarkan sinar yang cukup terang, saya mencari jalan turun ke desa. Namun, tak ada jalan yang tampak meskipun saya sudah mendaki bukit agak jauh. Ketika saya merasakan jalan sudah tidak menanjak dan menurun ke arah yang menjauhi desa, yang cahayanya terlihat sekali-sekali melalui dedaunan, hati saya menciut lagi.”

(Kazuo Ishiguro, The Remains of the Day, Hikmah, 2007)

Orang yang melakukan perjalanan berharap mendapat raihan-raihan: bahagia, tenteram, ketakjuban, hiburan, dan lain-lain. Maka, yang menempuh perjalanan menyadari “keberuntungan” ketimbang susah-susah. Yang diceritakan pengarang adalah perjalanan menggunakan mobil. Apakah itu perjalanan yang menyenangkan? Jawabannya ada dalam novel yang berjudul The Remains of the Day.

Mobil itu keutamaan dalam teknologi menggerakkan atau memindahkan manusia, selain benda-benda. Mobil membuktikan mesin yang meringankan tugas-tugas manusia. Pokoknya, mobil adalah berkah modernitas, yang membuat orang-orang melakukan pelbagai perayaan, sebelum menyadari dukacita. Mobil menjadi idaman dan unjuk kekuatan bahwa manusia bisa mengurusi kecepatan.

Yang terpenting dari mobil adalah bergerak, yang kecepatannya membuat manusia menghemat waktu perjalanan. Mobil telah melampaui jawaban atas perjalanan yang pernah dibuat para leluhur, dari abad kea bad.

Di novel, mobil itu tidak bergerak atau melaju. Mobil yang diam, yang tidak bermasalah dengan pikiran dan perasaan. Mobil bukan makhluk hidup. Yang menanggung banyak masalah adalah yang mengemudi atau menumpang. Ia dalam masalah-masalah yang sulit dijawab. Ia bisa bergerak atau berpindah tempat. Namun, mobil itu bukan manusia atau binatang. Mobil dalam ketetapan yang berbeda dari manusia yang bertaruh nasib.

Tokoh yang tidak mau bermuram durja. Ia agak memiliki harapan gara-gara cahaya. Padahal cahaya yang dari kejauhan. Tokoh yang sangat berharap agar cahaya adalah keselamatan dan perjalanan yang berlanjut. Cahaya bukan hanya urusan fisika tapi nasib yang harus jelas. Cahaya masih memungkinkan usaha melihat dan tenang. Gelap menjadi kebalikan, yang memberi takut dan derita.

Kita seolah ikut hadir di tempat yang membutuhkan penyelamatan. Bayangkan pemandangan yang puitis: “cahaya terlihat sekali-sekali melalui dedaunan”. Cahaya tidak tertangkap semuanya. Daun-daun ikut menentukan waktu dan suasana yang mau malam menggelap. Pengalaman itu dimiliki manusia, tidak dimiliki oleh mobil. Padahal, manusia itu kepikiran mobil.

Apakah masalahnya cuma mobil? Pembaca boleh merenungkan jalan. Dulu, mobil dibuat untuk pertunjukkan di jalan, yang terdapat di kota-kota. Mobil adalah sajian terindah untuk kaum modern membuktikan kemenangan manusia. Mobil itu ada tapi ditentukan jalan. Maka, yang keharusan untuk diwujudkan adalah jalan agar roda-roda itu mengesahkan kecepatan. Yang menggerakkan roda adalah mesin yang hebat.

Pada suatu hari, mobil tidak berada di jalan yang diinginkan. Mobil itu pasti mudah mendapat masalah. Kesialan mungkin bertambah saat kondisi mobil sedang kurang waras. Risiko terbesar ditanggung manusia, yang harus memberi jawaban-jawaban.

Kazuo Ishiguro tidak membuat risalah teknologi-mobil dalam novelnya. Kita yang membaca ikut “terjebak” untuk berpikiran mobil, jalan, manusia. Yang tak terabaikan adalah daun dan cahaya. Novel yang suatu saat dapat dijadikan referensi tentang kemenangan manusia dengan mobil tapi mendapat pertanyaan-pertanyaan mengandung kemustahilan dan keajaiban. Novel yang membuat pembaca ikut dalam perjalanan tapi tidak diwajibkan ikut menjawab.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<