“Namun, datangnya musim semi membuat gelora hati mereka sekarang dikeluarkan dalam bentuk kata-kata yang disampaikan melalui mulut. Bila senja turun, menjelang malam, mereka berkumpul di luar gubuk dan mulai bertukar pikiran… Tapi, Wang Lung cuma memikirkan tanahnya saja. Acap kali merenung ke sana ke mari dengan hati sedih tapi tentu berharap: bagaimana caranya agar dapat kembali ke sana… Dirinya sepenuhnya milik tanah kelahirannya, dan ia belum merasa benar-benar hidup sampai ia bisa merasakan kakinya menginjak tanah kesayangannya, membajak sawah-sawahnya pada musim semi dan menggenggam arit di tangannya kalau musim panen tiba.”
(Pearl S Buck, Bumi yang Subur, Gramedia Pustaka Utama, 2008)
KURUNGBUKA.com – Nasib manusia dipengaruhi musim-musim. Mereka membaca hidup berdasarkan musim yang datang. Mereka masih mengenang dan membuat perbandingan untuk musim-musim yang berlalu. Hidup tidak punya hari-hari yang sama. Yang tampak di bumi dan langit selalu berubah sesuai musim. Jadi, yang mengalami dan mengingat musim-musim sebenarnya membuat catatan untuk nasibnya. Selama setahun, mereka bakal mendapatkan bahagia dan derita, yang bergantian atau tumpang tindih.
Yang kita baca adalah nasib orang-orang yang nestapa saat musim dingin. Mereka yang tidak terjanjikan bakal mendapatkan makanan dan bertahan dalam hidup yang sangat menderita. Yang dilakukan adalah berharap hari-hari yang buruk segera berakhir berganti hari-hari yang menyapa dan menyarankan hidup. Namun, musim-musim tidak selamanya bisa ditebak dan dimengerti berdasarkan harapan-harapan.
Pearl S Buck belum mau mengakhiri kalimat-kalimat untuk penderitaan para tokohnya. Kematian-kematian yang terjadi, kelaparan yang hebat, dan keputusasaan yang menganga membuat pembaca menyadari derajat pertaruhan hidup-mati di Cina. Apakah yang terjadi dalam cerita sepenuhnya kekalahan dan malu di titik paling rendah?
Yang membaca novel berjudul Bumi yang Subur mengobrak-abrik perasaan pembaca. Novel yang bisa dihadapi dengan air mata atau teriakan yang menyedihkan. Pengarang (sangat) tega dalam membuat alur, menempatkan para tokohnya memiliki tragedi-tragedi.
Kondisi berat hampir berakhir. Musim pun berganti. Kesedihan belum semua lenyap. Namun, orang-orang bersuka cita dengan musim semi. Musim yang belum pasti mengubah nasib tapi memberi isyarat-isyarat bakal ada yang berubah. Pada musim yang tidak lagi mematikan, orang-orang perlahan bernai mengeluarkan kata. Peristiwa itu mengharukan saat kata-kata memampukan untuk terus hidup.
Wang Lung masih hidup. Tokoh yang berhasil melewati hari-hari buruk dan musim yang membikin sekarat. Yang dipikirkannya adalah tanah. Ia tetap yakin tanah yang akan menjadikan hidup menuju Bahagia dan memungkinkan makmur. Ia menyadari sedang berada dalam kondisi yang buruk tapi hari-hari yang akan dating seperti memberi janji perubahan nasib.
Kembali ke tanah itu keniscayaan. Ia mau tekun bekerja, melunaskan segala harapan. Musim semi memberi panggilan agar tidak membiarkan segalanya sia-sia. Duka atau derita yang ditanggungkan harus disudahi sebelum musim-musim yang dating memberi pertanyaan-pertanyaan tersulit.
Yang memastikannya hidup adalah kembalinya tubuh di sawah. Ia yang bekerja, bukan ia yang bermimpi. Kembali pun tak mudah. Namun, keberanian dan ketabahan sering memberi petunjuk untuk nasib yang dirancang. Pembaca yang mengikuti nasib Wang Lung dibuat percaya: pada mulanya tanah, pada akhirnya tanah.
Bekerja di sawah adalah kehidupan. Ia tidak sekadar petani. Tokoh yang seperti menyusun filsafat hidup tanpa bahasa yang sulit. Para pembaca sedang mendapat ulasan filsafat yang berpijak tanah. Maka, cerita yang digubah Pearl S Buck melampaui biografi tokoh. Yang sebenarnya diberikan adalah filsafat dalam cerita yang mencampur aduk keganasan dan ketakjuban.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<







