“Kembali panen mereka melimpah. Wang Lung terus mengumpulkan keping perak hasil penjualan panennya. Setelah itu, kembali disembunyikannya uang di belakang dinding kamar tidurnya. Padi yang diperolehnya dari tanah yang dibelinya dari Keluarga Hwang ternyata memberinya hasil dua kali lipat dari tanahnya sendiri. Tanah di situ selalu subur dan basah. Sebab itu selalu saja ada padi tumbuh. Alang-alang pun terkadang bermunculan di sana-sini meski mereka tak memerlukannya.”

(Pearl S Buck, Bumi yang Subur, Gramedia Pustaka Utama, 2008)

KURUNGBUKA.com – Yang kita baca adalah berkah bertumbuh tanah. Petani yang menunaikan ibadah harian di sawah. Ia yang mengetahui hidup mewajibkan ketekunan, bukan keluhan yang panjang dan pedih. Ia percaya kepada tanah. Tubuhnya yang selalu berkeringat dan bertanah atau berlumpur mengartikan keberanian dalam hidup. Wang Lung mengerti hal-hal yang menyusahkan tapi hidup adalah kesabaran sekaligus pengulangan dari peristiwa yang sudah ditetapkan.

Pearl S Buck mengantar kita ke Cina. Di peta, Cina itu negara yang besar. Cina memiliki cerita-cerita menakjubkan. Yang datang kepada kita adalah petani yang bernama Wang Lung. Ia berasal dari keluarga miskin. Ia memilih tetap di sawah. Hari-hari yang dianggap orang tidak bakal membawa perubahan nasib. Lelah dan tabah membuatnya menemukan jalan nasib, yang tidak perlu dilogiskan secara tiba-tiba.

Lelaki yang sederhana. Hidupnya hemat dan menekan impian-impian meski tak muluk. Ia berada dalam rumah yang menuntut pemahaman tentang makan, minum, tidur, dan lain-lain. Di rumah, petani tak usah menghancurkan hidup dengan deretan keinginan dan kenyataan. Wang Lung menyadari rumah adalah pertaruhan awal dalam menentukan sikap-sikap hidup, yang nantinya disahkan dalam kerja di sawah.

Pada akhirnya, ia berani menikah. Kita belum perlu membayangkan kebahagiaan kaum miskin yang membuat janji hidup bersama. Sejak hari-hari pertama, mereka berusaha saling mengerti dengan segala keterbatasan. Yang membahagiakan pelan-pelan terasakan. Mereka pun bingung dengan cara menikmati dan mengungkapkan kebahagiaan. Biasanya yang menjerat keluarga miskin adalah uang. Mereka seperti bersumpah mengelola uang atas nama kebaikan, keberuntungan, kebahagiaan ketimbang dihabiskan untuk kesenangan-kesenangan yang sepele.

Pada rumah dan tanah yang dimiliki, mereka berhasil mengumpulkan uang untuk memiliki tambahan tanah. Yang mengejutkan, tanah itu lebih subur. Petani yang beruntung, bukan lekas berharap makmur. Ia mementingkan ketekunan di sawah. Pengharapan atas padi yang bertumbuh dan panen masih dalam kewajaran, belum dihitung bakal melimpah. Di novel berjudul Bumi yang Subur, kita berkenalan dengan keluarga petani yang memuliakan hidup melalui keputusan-keputusan yang setapak demi setapak.

Mengapa mereka beruntung? Kita tidak pernah menyangsikan mereka yang rajin dan pantang menyerah. Cerita yang digubah Pearl S Buck ingin mengingatkan bahwa tanah itu pusat dan keutamaan. Maksudnya, Wang Lung memiliki naluri mengenai tanah, yang selaras dengan gairah dalam hidup. Ia tidak menuntut macam-macam kepada tanah. Yang dipahaminya adalah menghormati dan mengasihi tanah dalam ikatan janji yang misterius. Ia memberi kepada tanah, yang berbalik berupa keberlimpahan yang bertumbuh di sawah.

Wang Lung tidak gegabah dalam menyatakan sejahtera atau makmur. Uang yang diperoleh dari panen memiliki jalan yang akhirnya kembali ke tanah atau janji Bertani. Ia bukan orang yang mudah kepikiran menggunakan uang untuk pernyataan: makan enak, mengindahkan rumah, kepemilikan pakaian bagus, dan lain-lain. Ia mampu menggerakkan uang dalam siasat kultural petani yang paham ribuan hari masih bakal dilalui dengan sederhana dan kewajaran. Ia memang sempat “bersandiwara” di tatapan sosial tapi bukan merayakan kesombongan atau kemenangan.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<