“Sementara itu, aku mulai merasa jenuh dengan kehidupan rohani di Jatiwangi. Tak ada kawan untuk bercakap tentang masalah yang menjadi pikiranku. Buku-buku yang kubawa dari Jakarta sudah habis kubaca, walaupun kalau kebetulan sekali-sekali aku pergi ke Jakarta atau Bandung membeli buku baru, namun selesai kubaca sebelum berangkat lagi ke Jakarta atau Bandung untuk membeli yang lain.”

(Ajip Rosidi, Hidup Tanpa Ijazah, 2008)

KURUNGBUKA.com – Lelaki itu kebingungan mengartikan tempat hidup. Ia pernah di Jakarta, bekerja di Balai Pustaka dan bertemu para pengajar untuk raihan pengetahuan. Di Jakarta, ia merasakan kota yang beringas dan tergesa. Hidup tak sepuitis dalam buku-buku. Kota memberi keringat dan laknat. Beberapa tahun di Jakarta, ia mengaku tidak betah. Yang diinginkan pulang kampung.

Di Jatiwangi, Ajip Rosidi merasakan hidup yang jauh dari berisik dan ruwet. Kehidupan yang membentuknya sejak awal. Namun, diri telah berubah dan zaman tak lagi sama. Ia yang keranjingan membaca buku mendapat ganjaran kesepian. Ketiadaan orang-orang diajak bercakap membuatnya makin nestapa. Tempat hidup yang tidak salah tapi susah mencipta percakapan sastra dan pengetahuan.

Di kampung, waktu bergerak tak secepat dengan Jakarta. Manusia tidak semestinta gelisah, sejak pagi sampai malam. Pada waktu yang lembut dan manis, Ajip Rosidi khatam buku-buku. Yang membaca dan merenung tidak berhasil membuat percakapan meski bisa menuliskan dalam wujud cerita, esai, novel, atau resensi buku. Kecewa tidak mutlak.

Ia bermasalah dengan tempat dan waktu. Buku-buku agak menyelamatkan, tidak berhasil membetahkan terus tinggal di kampung. Buku-buku alamatnya di kota. Pergi ke kota membeli buku-buku, kembali ke kampung untuk membaca dan dikutuk sepi.

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<