“Pada 1936, di tengah-tengah masa sakitnya – ketika aku akan terus tinggal di Chaguanas di rumah keluarga besar ibu – ayah mengirimiku buku kecil, The School of Poetry, sebuah antologi, dengan pernik hiasan yang sungguh menarik, yang disunting Alice Meynell… Itu adalah hadiah darinya kepada anak lelakinya, hadiah yang bernilai, sesuatu yang berhubungan dengan kata-kata.”

(VS Naipaul, Menemukan Titik Pusat, 2019: 106-107)

KURUNGBUKA.com – Naipaul (1932-2018) belum berusia lima tahun tapi terpukau buku. Ia terlalu beruntung dimuliakan bapak dengan kertas bertaburan kata. Buku dalam babak awal Naipaul mengalami hari-hari bergelimang cerita. Bocah mendapat hadiah buku, mengantar ke jalan sastra yang terang dan gelap. 

Buku dibeli dengan harga yang murah. Kasih ayah tidak murahan. Buku yang tak sekadar kertas-kertas. Namun, buku itu memberi janji bahwa ayah dan anak di pertaruhan kata-kata. Ayah yang menulis di terbitan pers ikut menentukan sengatan dan gairah Naipaul yang saat dewasa di jebakan pasang-surut keinginan menulis buku, setelah tinggal di Inggris. Pada akhirnya, Naipaul berhasil menulis buku-buku. Pada 2001, ia meraih Nobel Sastra.

Buku-buku dan masa lalu yang mengingatkan ayah. Naipaul bergerak di pelbagai negara tapi mengerti asal. Yang paling dimengerti tentu keluarga. Di sana, ada sosok ayah, yang memusatkan nasib dengan tulisan. Risiko terbesar adalah hidup yang tidak pasti dalam pemerolehan nafkah dan kemapanan untuk bahagia.

Pada masa dan situasi berbeda, Naipaul menulis untuk dunia, melampaui batas-batas negara dan pemahaman kulturalnya yang campur aduk. Pengarang besar itu mula-mula adalah penerima hadiah ayah, sebelum memberi “hadiah-hadiah” kepada umat sastra di dunia. Sejak mula, buku itu “berkah” tak berkesudahan, mengiringi Naipaul: dari bocah sampai renta.   

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<