KURUNGBUKA.com – Karya terbaru Kimo Stamboel ini mengajak saya mencicipi horor yang terasa begitu dekat, seperti meneguk jamu pahit yang justru bikin ketagihan. Abadi Nan Jaya bermula dari keluarga pemilik bisnis jamu Wani Waras di desa terpencil Wanirejo dekat Yogyakarta. Dimin (Donny Damara), sang ayah, bertekad menemukan inovasi jamu awet muda untuk menjaga kejayaan perusahaan. Namun upaya itu berubah menjadi kutukan yang menggigit balik hingga membuatnya kehilangan kendali atas tubuh dan jiwanya.
Di tengah malapetaka itu, hubungan keluarga menjadi pusat emosinya. Kenes (Mikha Tambayong) harus menghadapi kengerian sekaligus kerumitan personal dengan ibu tirinya, Karina (Eva Celia Latjuba), yang dulu sahabatnya sendiri. Ketegangan mereka berasal dari masa lalu ketika Kenes curiga Karina datang demi harta, bukan cinta. Namun bencana ini membuka perlahan bahwa tidak semua dugaan seburuk kenyataan.
Rudi (Dimas Anggara), suami Kenes yang hubungannya tengah rapuh dan hampir bercerai, melengkapi prahara keluarga ini dengan anak mereka yang diperankan Arren Arianda Calief. Dinamika kecil keluarga tersebut menghadirkan denyut kemanusiaan yang membuat saya peduli pada nasib mereka. Bambang (Marthino Lio), kakak Kenes, bergerak seperti pelindung terakhir yang tersisa, sementara Rahman (Ardit Erwandha), polisi desa yang selalu punya celetukan lucu di tengah horor, menjadi napas yang menjaga penonton tak tenggelam dalam ketakutan.

Semua teror berlangsung hanya dalam satu hari. Sebuah hajatan desa berubah menjadi panggung kepanikan massal. Dari satu korban menjadi satu desa tanpa selamat. Intensitas itu terjaga melalui ritme penyutradaraan yang ketat, seperti kita ikut terkurung bersama para penyintas yang dikepung tanpa jalan keluar.
Nuansa lokalnya kuat sejak langkah pertama kamera masuk ke desa. Pemandangan sawah, tenda hajatan, suara-suara kampung yang akrab, hingga kultur jamu yang begitu Indonesia membuat film ini punya akar kuat pada realitas yang kita kenal. Make-up zombienya hidup dan menyakitkan untuk dilihat. Dunia yang dibangun terasa logis, meski di balik itu saya masih menangkap bisikan pertanyaan modern: kenapa tidak video call? Kenapa toa kantor polisi walkie talkie yang ada tidak dipakai? Kenapa media sosial mendadak seperti padam? Namun keputusan untuk menutup segala akses justru membuat terornya fokus dan terisolir dengan efektif.
Para aktor memberi performa yang meyakinkan. Eva Celia membawa Karina dengan lapisan emosi yang pelan tapi memukul. Dimas Anggara memerankan krisis keluarga dengan tulus. Donny Damara tampil menakutkan sekaligus tragis. Rahman versi Ardit Erwandha mengeluarkan tawa kecil yang terasa mahal di tengah ketakutan. Secara personal, saya merasakan Mikha Tambayong punya banyak momen yang hampir menggigit emosinya hingga dalam, tapi kadang berhenti setengah detik sebelum ledakannya pecah.

Hingga akhir, ada satu rahasia yang tetap disembunyikan: apa sebenarnya komposisi jamu yang menciptakan kiamat kecil ini? Kita tidak diberi jawabannya. Tapi film ini berhasil membuat saya percaya dan rela mengikuti hingga akhir yang terbuka. Gerbang sekuel dibiarkan menganga seperti mulut zombie yang masih lapar.
Abadi Nan Jaya adalah jamu sinematik yang racikannya tidak sempurna, tetapi cukup mujarab untuk membuat saya merenung bahwa inovasi tanpa kendali dapat menjadi kutukan yang memakan seluruh desa dalam semalam. Setelah menontonnya, saya yakin satu hal: keabadian tidak pernah sederhana, dan selalu datang dengan rasa getir yang panjang.
Skor: 7/10







