Bocah lelaki itu kupanggi Io. Kuambil dari inisial namanya, Indrawan Okta. Tubuh kecilnya kuangkat dari dipan tempat istriku melahirkan. Tak seberapa lama setelah Io melintas di jalan rahimnya, istriku tak bisa mempertahankan napas. Barangkali menggendong jabang bayi di perut selama 9 bulan terlalu berat, dia tak kuat, lantas meninggalkan kami, aku dan bayi kecil ini.
Aku mencintai istriku. Itu sebab aku tak menikah lagi hanya untuk menanggung tanggung jawab wanita lain di pundakku. Kata mamakku, usia 29 tahun masih terlampau muda untuk menduda. Kau butuh wanita untuk mengurusi hidupmu, membuatkanmu segelas kopi hitam kental kesukaanmu, mengambilkanmu handuk, menyiapkan pakaian, menyambutmu sepulang kerja, dan makan malam bersama yang hangat seperti keluarga yang dipandang ideal oleh orang-orang. Begitu kata mamakku sewaktu acara 40 hari istriku. Aku hanya diam tak berucap apa pun selain mengangguk dengan senyum yang terpaksa, menanggung beban kesedihan.
Kata orang, kesepian adalah waktu yang berjalan amat perlahan dan kesedihan ialah dingin yang mendekapnya. Erat. Bahkan kehadiran Io tak lantas membuat suasana hatiku menghangat. Entah berapa lama sampai akhirnya ada kehidupan di rona wajahku. “Akhirnya kau bisa ikhlas,” begitu kata mamakku suatu hari. Aku sendiri tak tahu apakah aku ikhlas atau hanya menghibur diri. Sebab setiap malam menjelang pagi air mataku menjelma puisi-puisi yang bersajak menyampaikan doa-doaku untuk Marni, mendiang istri. Aku hanya mencoba terbiasa dengan keadaan dan mencoba melanjutkan hidup dengan separuh jiwaku yang harus kukembalikan pada Tuhan.
Aku sangat mencintai anak lelakiku sebagai satu-satunya peninggalan istriku. Kuurus Io dari orok. Pagi sebelum berangkat kerja, dia sudah kumandikan. Aku bisa bekerja dengan tenang sebab ada mbak Imas, tetanggaku yang membantu menjaga Io sementara aku bekerja. Begitu setiap hari. Hingga kemudian ia beranjak remaja dan duduk di bangku sekolah yang sama dengan tempatku mengajar.
Aku sebenarnya seorang anak tentara yang sangat ingin mengikuti jejak bapaknya. Namun, pada akhirnya semua harus kupupus sebab ada lubang di paru-paru kiriku. Alhasil, aku mengubah haluan mimpiku menjadi guru. Seperti lazimnya ayah lain di luar sana, ada keinginan melampiaskan mimpi yang tertunda pada anak yang dibangga-banggakan. Pada Io, harapan kuletakkan. Tidak untuk membebaninya. Aku hanya sangat bahagia jika kelak Io menjadi tentara, seperti mimpiku dahulu.
Io tumbuh menjadi anak yang sehat, cerdas, dan memiliki fisik yang baik. Ada beberapa kegiatan ekstrakurikuler bidang olahraga yang ia ikuti untuk menempa fisiknya. Nilai akademik semasa sekolah pun tak pernah mengecewakan. Tidak ada nilai khusus yang diberikan rekan-rekanku lantaran mereka tahu bahwa Io anakku. Apa yang Io dapatkan adalah murni sebab kemampuan akademiknya yang baik. Tak heran pada saat kelulusan Io menjadi salah satu yang terbaik di angkatannya. Aku sangat antusias.
“Yah, boleh aku berkata jujur?”
Suatu hari yang abu-abu sebab mendung singgah di langit terlalu lama, Io melontarkan pertanyaan. Aku sedikit heran. Mengapa untuk berkata jujur saja seseorang harus minta izin? Bukankah melakukan hal yang baik seharusnya tak perlu izin. Sudah barang tentu orang-orang akan senang dengan keterbukaan dan keterusterangan yang akan ia dengar. Atau di dunia ini sudah penuh-sesak kebohongan sehingga pada setiap embus napas manusia, semua menjelma kata-kata yang bermakna dusta? Sedang kejujuran seperti artefak yang langka dan indah.
“Tentu saja, Nak. Kenapa mesti bertanya?” Aku tersenyum.
“Aku tak mau jadi tentara, Yah.”
Kalimatnya menghentak dadaku begitu keras. Menghilangkan senyumku. Barangkali inilah alasan mengapa orang-orang kerap meminta izin sebelum melontarkan sebuah kejujuran. Terkadang hati manusia tak siap dengan segala sesuatu yang berbeda dengan ekspektasinya. Dan barangkali meminta izin ketika ingin mengucapkan kejujuran bukan untuk kepentingan si penanya, melainkan memastikan bahwa lawan bicara siap dengan segala hal yang boleh jadi muncul tidak sesuai dengan perkiraan.
***
Sejujurnya, aku tahu Io suka seni. Beberapa kali dia mengikuti perlombaan di bidang seni. Bahkan, band yang ia dirikan kerap memenangi festival pelajar. Aku tak menyangkal bahwa kemampuan vokal Io cukup bagus. Dan seperti kebanyakan orang tua lain, rasanya sangat menyenangkan melihat anak kita menjadi juara. Bahkan, sering kali aku sendiri yang memintanya aktif mengikuti lomba-lomba serupa. Namun, seperti juga orang tua lain di luar sana, rasanya tidak ada ayah yang benar-benar menginginkan anaknya menjadi pekerja seni. Mau makan apa? Pikirku.
Pada titik inilah pertama kali amarahku kepada Io memuncak. Aku tak mau mimpiku menguap untuk kedua kalinya. Hatiku terlalu keras untuk bisa melunak dan membuka diskusi dengan anak semata wayangku itu. Sedangkan Io, dia anak remaja yang egonya masih liar. Saat aku menentangnya keras, dia akan membuat pertahanan yang lebih kuat. Dan kami tak ada yang mau mengalah.
Perdebatan kami berlangsung beberapa hari. Berhari-hari pula aku dan Io tak terlibat obrolan. Rumah kami berganti nuansa. Kadang kala sepi seperti tak ada penghuni. Kadang pula ramai ketika aku dan Io kembali terlibat perdebatan perihal masalah yang sama. Hingga akhirnya, dua hari setelah telapak tanganku mendarat keras di pipinya, Io memutuskan pergi dari rumah.
***
“Sudah lah, Pak. Io pasti baik-baik saja. Kelak pasti ada kabar kok dari Io.”
Istriku muncul dari balik pintu. Pada akhirnya aku menikahi Imas di tahun kedua Io meninggalkan rumah. Tidak, itu tidak berarti aku sudah tidak mencintai Marni dan berusaha melupakan dia dan Io. Pada suatu titik akhirnya aku menemukan kebenaran dari pernyataan mamakku dulu. Aku memang membutuhkan pendamping. Bukan untuk menghapus masa lalu, akan tetapi kesedihan dan kesepianku membuat hatiku butuh tempat bersandar agar aku tidak terjatuh.
Ini sudah masuk tahun ketujuh sejak Io meninggalkan rumah. Kehilangan Io adalah kehilangan terbesarku setelah kematian Marni. Aku merasa telah menyia-nyiakan keberadaan Io yang juga menjadi hal terakhir yang mengingatkanku pada Marni. Dan kini aku harus kembali merasakan pilu kehilangan untuk kali kedua. Setiap sore kunantikan kepulangan Io di beranda rumah sembari menyeruput kenangan-kenangan yang ia tinggalkan pada secangkir kopi hitam di hadapanku.
Aku ingat dahulu Io selalu membuatkanku secangkir kopi sebelum ia pergi berlatih di klub sepakbola di desa kami. Dia jadi andalan di lini serang dan selalu saja dia mampu mencetak gol di setiap pertandingan. Aku yang berdiri menonton di samping lapangan, melipat tangan dan menyunggingkan senyum bangga. Io dielu-elukan penonton. Beberapa diantaranya adalah gadis muda seusianya. Kulihat Io sangat bahagia.
Pernah kusinggung soal salah seorang dari gadis-gadis itu. Dia sering datang ke rumah kami. Ayu namanya. Dia satu sekolah dengan Io. Kurasa gadis itu menyukai Io. Tak hanya mendampingi Io ketika akan bermain bola, Ayu juga kerap pergi bersama Io. Hampir setiap hari Io meminta izin menggunakan motor matic kepunyaanku untuk pergi bersama Ayu. Entah itu belajar bersama maupun sekadar jalan-jalan melepas sore. Meski tetap saja Io menyangkal status pacaran mereka berdua ketika kutanya. Ah, itu sudah lama sekali sebelum semua menggenang jadi kenangan.
Yono, tetanggaku, bilang bahwa anaknya yang merantau di ibu kota pernah melihat Io ada di sana. Dia seperti orang kerja kantoran, katanya. Memakai setelan kemeja rapi yang setiap hari berbeda corak dan warnanya. Rambutnya klimis tersisir rapi ke kanan. Wajahnya yang tak terlalu putih itu pun terlihat bersih. Ia mencukur kumis dan jenggotnya hingga tandas.
Tak jarang pula ada desas desus yang kurang mengenakkan yang sampai di telingaku. Kata Bu Win, tetanggaku di belakang rumah, anaknya mendapat kabar tentang seorang pria yang ciri-cirinya mirip Io tertangkap polisi sebab terlibat jaringan pengedar narkoba. Ada yang bilang Io sudah menikah, tetapi ditinggal mati istrinya, seperti aku.
Io pasti tumbuh menjadi lelaki yang membanggakan. Aku tahu Io pekerja keras dan tak mudah menyerah. Ia pasti bisa menghidupi hidupnya. Marni, kau pasti bangga di atas sana. Sekaligus marah tentu saja. Sebab aku, ayahnya, tak ada disampingnya sekarang. Barangkali dia tidak memakai seragam tentara seperti yang kubayangkan, tetapi semua itu kumaklumi asal Io bahagia. Ah, terkadang rindu muncul tiba-tiba.
***
Pada sore yang kesekian, aku masih duduk di beranda rumah menikmati kopi seperti biasa. Suasana terasa hangat, matahari senja memelukku cukup erat. Suara angin berselisih dengan bising knalpot motor dua tak yang sering kali lewat di jalan depan rumah. Suara azan magrib mulai berkumandang membelah udara sore. Sayup dari kejauhan, kudengar suara mobil menderu di jalan aspal yang berlubang di mana-mana. Sebuah mobil minibus berhenti di jalan depan rumahku. Tak lama berselang, di belakangnya menyusul berhenti sebuah mobil hatchback merah. Seorang pria berpakaian kemeja hijau muda turun dari pintu kemudi minibus lalu berjalan menuju teras. Di belakangnya, seorang perempuan berkemeja hitam dan bercelana jin biru turun dari pintu kemudi mobil hatchback merah itu, lalu berjalan beberapa meter di belakang si pria.
Istriku menyambut pria tersebut. Sayup-sayup kudengar bahwa pria tersebut sedang menanyakan alamat dan menyebutkan sebuah nama. Istriku menjawab dan memberi gestur bahwa seseorang yang dia cari rumahnya masih beberapa kilometer dari tempat mobilnya berhenti. Pria itu berterima kasih lalu berbalik menuju mobilnya. Namun, perempuan yang ada di belakangnya diam tak mengikuti si pria. Menandakan bahwa dia bukan bagian dari rombongan.
“Cari siapa, Mbak?”
Istriku membuka tanya begitu perempuan itu mendekat. Perempuan itu tak mengindahkan. Dia menatapku. Aku memperhatikannya lamat-lamat wajahnya. Ia geming, berdiri dalam hening. Kami saling tak melepaskan pandang. Sorot matanya seperti sorot mata orang yang telah lama kukenal dan kurindukan. Kudengar pintu mobil kembali terbuka. Dari mobil hatchback merah itu keluar perempuan lain. Ayu. Dia menatap sayu ke arahku. Matanya menahan sembab yang mungkin sebentar lagi jatuh. Pandanganku kembali kepada perempuan di depanku. Mataku melebar, membelalak, dan mulai basah berkaca-kaca.
“Apa kabar, Yah?” sapa perempuan itu menahan isak.
Dadaku seperti tercambuk. Air mata mendesak dari hati seorang ayah yang kecewa. Entah pada siapa. Tangis sudah tak dapat kutahan. Tubuhku lemas. Mataku kubiarkan melepaskan basah yang berurai. Punggungku merebah di sandaran kursi, tak kuasa menahan sesuatu yang tetiba sesak mengimpit dada. Aku tak bisa berucap apa-apa. Perempuan di depanku tertunduk menutup mulutnya. Dia biarkan air matanya jatuh. Apa yang kutepis tetap datang dan menamparku sangat keras. Anak lelaki yang kurindukan akhirnya pulang dengan situasi yang tak pernah kupikirkan. Maafkan aku, Marni. Mungkin di atas sana kau berurai air mata seorang istri yang kecewa.
Magelang, 2022
*) Image by istockphoto.com
entah kenapa aku bisa menebak akhir dari cerpen ini.