Kau sungguh tidak habis pikir dengan ibundamu. Bagaimana mungkin kau menghilangkan dendam yang datang tiba-tiba di relung hatimu setelah telingamu mendengar semuanya? Bagaimana mungkin kau dapat menganggap itu wajar dan menerima sebagai sebuah kenyataan bahwa penyebab dari kematian ayahmu adalah Ken Arok?

Sempat kau tampar ibundamu sendiri. Wanita yang dipuja-puja oleh seantero Tumapel. Biasanya kau begitu menghormatinya, kini berubah seketika. Dalam sekejap. Di hadapanmu, ia menjadi wanita paling hina. Kepada Dewata, kau serahkan keluh-kesahmu. Betapa manusia begitu keji, menggunakan segala cara untuk memenuhi keinginannya, menuruti nafsunya.

Perlakuan ayahmu di masa lalu—yang menculik ibundamu untuk dinikahi—tidak dapat kau terima sebagai alasan tumbuhnya dendam di relung hati ibundamu, hingga kemudian dendam itu membuat ibundamu menginginkan kematiannya. Keinginan yang dilandasi rasa cinta pada seorang lelaki yang tidak lain adalah ayah tirimu.

Kau merasa, saat ini ribuan tombak dan pedang melayang ke arahmu, lalu menusuk habis tubuhmu. Bangunan istana kemudian runtuh dan menguburmu hidup-hidup. Rasa sakit yang tidak dapat lagi diumpamakan dengan kata-kata. Pada dirimu sendiri kau mengatakan bahwa harus membuat perhitungan dengan Ken Arok. Nyawa harus dibayar nyawa. Itu tidak dapat ditawar.

“Ibunda tidak akan membiarkanmu menuntaskan dendammu,” kata ibundamu penuh air mata, setelah kau mendengarkan semuanya, sebelum kau meninggalkan istana.

“Tidak akan kubiarkan siapa pun menghalangiku!”

Dari balik kata-kata ibundamu, kau bisa merasakan ketakutan yang luar biasa yang dirasakannya. Ketakutan karena ibundamu sangat mencintai Ken Arok. Itu yang tidak dapat kau terima. Persetan dengan cinta ibundamu pada Ken Arok. Raja Tumapel itu harus mati! Tumapel tidak pantas dipimpin oleh seorang pembunuh!

***

Kau memang menaruh dendam pada Ken Arok. Masalahnya, ibundamu sudah bersikeras tidak akan membiarkanmu membunuh suaminya. Demi cinta, ibundamu akan mengerahkan segala daya tentunya untuk menjaga suaminya dari runcing keris Empu Gandring yang akan kau gunakan. Kau sedikit beruntung, senjata itu berada di genggamanmu jauh sebelum ibundamu bercerita segalanya mengenai jati dirimu.

Yang harus kau pikirkan adalah cara membuka jalan agar Ken Arok dapat dengan mudah dibunuh.

“Gusti, ini begitu sulit, hamba tidak mampu melaksanakannya,” kata seorang abdi kepercayaanmu, yang kau panggil ke hadapanmu.

“Sebaiknya pikirkan lagi, kukira tawaranku tidak main-main. Dan ingat, tidak setiap orang mempunyai kesempatan ini. Jika kau berhasil, kau menjadi seorang yang sangat beruntung,” responmu setelah abdi itu mengatakan kalau perintahmu sulit.

“Gusti Anusapati tentu tahu, Gusti Prabu sangatlah sakti. Sebelum ia menjadi raja di Tumapel adalah bukti nyata, Gusti. Prajurit-prajurit di bawah pimpinan Gusti Tunggul Ametung tidak mampu membawanya ke istana. Gusti, tentunya bisa membayangkan,” ucapnya.

“Sesakti-saktinya orang, ia juga manusia. Ia bisa lupa dan terlena. Sebelumnya, maaf, aku belum mengatakannya padamu. Tentu caranya, kau tidak harus adu kesaktian. Carilah waktu yang tepat, saat ia terlena.”

Kau juga menambahkan akan membawakan padanya keris Empu Gandring. Mengapa harus menggunakan keris itu, pada abdi itu kau hanya mengatakan supaya Ken Arok terbunuh oleh keris yang dipesannya sendiri. Padahal dalam lubuk hatimu yang paling dalam, kau takut, kalau Ken Arok ternyata mempunyai kesaktian yang setara dengan ayahmu. Dari cerita-cerita yang kau dengar ayahmu begitu sakti mandraguna sehingga tidak mempan dilukai oleh senjata apa pun—sampai-sampai untuk membinasakannya, Ken Arok memesan sebuah keris pada seorang empu untuk membunuhnya.

Setelah kau bujuk rayu, abdi itu akhirnya menyanggupi. Kepadanya, kau menjanjikan sesuatu yang fantastis. Apabila ia berhasil membuat Ken Arok meregang nyawa, kau akan mengangkatnya menjadi salah satu penasehat raja.

Tentu apa yang akan dilakukan abdi itu, tidak akan mudah. Namun, kau sudah tidak punya solusi. Penjagaan terhadap Ken Arok begitu ketat, nyaris tak pernah ada kesempatan bagimu untuk melancarkan aksimu. Maka, kau menggunakan abdi itu. Ya. Abdi itu akan melaksanakan tugas yang kau perintahkan padanya.

***

Kau jelas tidak peduli, saat apa dan bagaimana Ken Arok akan dibunuh oleh abdimu. Kabar kematiannya telah menjelma rindu yang tak berkesudahan. Kau ingin segera mendengarnya. Tumapel akan geger. Geger yang tiada terkira. Raja yang mereka agung-agungkan telah tiada. Dan kau? Kau akan duduk di tahta kebesarannya, meneruskan kekuasaan, dan mengatakan pada rakyat cerita yang sesungguhnya.

Bahwa selama ini mereka dibohongi oleh orang yang bernama Ken Arok. Rakyat pasti tidak akan menyangka. Ternyata Ken Arok ingin memimpin Tumapel, bukan niat suci untuk memperjuangkan rakyat, membawanya pada kemakmuran. Tidak. Ia hanya menginginkan Ken Dedes. Ya, Ken Dedes.

Kepercayaan rakyat pada pemimpinnya akan beralih, dari Ken Arok kepadamu. Ini adalah kesempatan bagimu menutupi kesalahan-kesalahan ayahandamu ketika memimpin Tumapel—saat wilayah tersebut masih di bawah kekuasaan Kediri. Kau tahu dari cerita-cerita, kalau ayahandamu menghabiskan waktunya lebih banyak untuk kesenangan, bukan melayani rakyat secara baik sebagaimana kewajiban seorang pemimpin. Kau tahu dari cerita-cerita orang kalau ayahandamu sudah membangun rencana untuk memberontak terhadap pemerintahan Kertajaya.

Ini adalah kesempatan bagimu. Ya, kesempatan. Mengembalikan nama baiknya, sekaligus mengembalikan pewaris kerajaan kepada yang semestinya—dalam hal ini kau dan keturunanmu kelak. Kau akan memimpin Tumapel dengan sebaik-baiknya. Sebijak-bijaknya.

“Ken Arok? Oh, kapan aku mendengar kabar kematiannya? Aku ingin segera mendengarnya!” Sembari berucap, kau membayangkan Ken Arok bermandikan darah.

Di tengah-tengah penantianmu menunggu kabar itu—yang sudah berjalan berhari-hari lamanya—abdimu menghadap. Jelas ia sudah berhasil melaksanakan tugasnya. Kau berpikir demikian. Kau dapat menyimpulkan seperti itu karena kau sudah berpesan kepadanya, sebelum berhasil melaksanakan apa yang menjadi keinginannya, pantang baginya untuk datang kepadamu.

“Mohon maaf, hamba salah. Hamba menyerah, tidak pernah ada kesempatan melaksanakan perintah Gusti Anusapati. Sebab penjagaan begitu ketat, Gusti. Setiap orang yang akan bertemu Gusti Prabu, harus punya alasan yang jelas. Sementara hamba tidak pernah dapat alasan untuk itu,” ucap abdimu terbata-bata.

Kau seketika naik darah dan membodoh-bodohkan abdimu, hingga wajahnya tampak ketakutan. Kau tekankan berkali-kali padanya kalau ia akan menjadi orang yang paling beruntung apabila berhasil menunaikan perintahmu. Ia tidak mau, tapi kau terus memaksanya. Bagimu, ini kesepakatan yang teramat penting; ia sudah menyanggupi perintahmu.

“Bagaimana? Apakah kau masih berpikir untuk menolak?” tanyamu dengan nada mengancam. Ketakutan yang terpancar dari wajahnya kian kentara.

Akhirnya kau dan abdimu berangkat bersama, menuju ke kediaman Ken Arok. Kau memutuskan menemani, setelah kau pikir-pikir, memang sangatlah sulit menembus penjagaan prajurit tanpa kehadiranmu.

***

Akhirnya, Ken Arok meregang nyawa di dalam istana, di ruang pribadinya. Tentu hal ini tidak akan terjadi tanpa kehadiranmu, bagaimana mungkin seorang abdi dapat masuk hingga ruang pribadi raja? Dendammu telah kau tuntaskan. Tumapel gempar. Ternyata begitu mudah menghabisinya. Dan abdimu?

Abdimu juga kau habisi setelah ia berhasil membunuh Ken Arok. Keikutsertaanmu menemaninya membunuh Ken Arok memberikan ruang untuk bertindak lebih cepat menghabisinya. Bagaimanapun orang yang tahu akan niatmu menjadi sangat berbahaya. Kau menyusun strategi yang rapi. Kau juga dapat menjelaskan kepada khalayak istana maupun rakyat apa yang terjadi, sehingga kemudian mereka begitu percaya. Ya, kau telah menutupi apa yang sesungguhnya terjadi. Kau membuat seolah-olah kau berusaha menyelamatkan Ken Arok dari upaya abdimu menghilangkan nyawanya.

Bahkan ibundamu sendiri tidak menyangka, ibundamu sampai merasa berutang budi padamu. Di hadapannya, kau menjadi pahlawan, meski gagal mencegah pembunuhan itu. Apakah kau puas atas apa yang kau lakukan? Kau memang senang telah berhasil mewujudkan keinginanmu. Kau memang merasa gagah telah duduk di singgasana. Kau memang ada sedikit rasa bangga sebab sikap ibundamu kepadamu. Tetapi?

Kau baru menyadari satu hal. Ucapan ibundamu. Ya, ucapan ibundamu. Kau tidak berpikir panjang dan mungkin itulah sebabnya ibundamu menyuruhmu menghilangkan dendam. Ia sudah mengetahui akibatnya. Sementara dendam telah membutakan pikiranmu. Cepat atau lambat, akan terjadi.

“Apa aku harus menghabisi Tohjaya?” tanyamu.

Meski kau berhasil menutupi kenyataan sebenarnya, tetap saja. Rasa was-was itu ada. Tetap saja ada kemungkinan, Tohjaya diam-diam mencari kebenarannya. Bisa saja abdimu sudah membocorkan soal keinginanmu pada orang-orang tertentu. Ya, sekali lagi, meski kau berhasil menutupi kenyataan sebenarnya, kau tetap merasa terancam. Ya, terancam oleh Tohjaya.

Apabila ia tahu kebenaran yang sesungguhnya, tentunya ia akan melakukan hal yang sama, sebagaimana yang kau lakukan pada Ken Arok.

*) Image by istockphoto.com