KURUNGBUKA.com – Pada suatu masa, kita membaca tulisan-tulisan berat cap “Nirwan”. Yang harus dipahami, Indonesia memiliki dua Nirwan yang menjadikan para pembaca berada dalam keseriusan. Mereka tidak main-main dalam memberi tulisan, yang tercetak di koran, majalah, atau jurnal. Tulisan-tulisan mereka mengenai kebudayaan, masuk juga ke urusan sastra.

Nirwan Ahmad Arsuka sudah pamit. Kini, yang masih rajin membuat tulisan adalah Nirwan Dewanto. Ada yang menghormatinya setelah membaca puisi-puisi yang dituduh rumit. Ada yang merasa tertantang jika membaca esai-esainya. Pastinya, Nirwan Dewanto adalah penulis terbaik di Indonesia, yang wajib masuk daftar 100 bila ada yang menyusunnya.

Siapa ingat satu puisi utuh yang digubah Nirwan Dewanto? Puisinya meminta dibaca serius dan pelan-pelan, bukan masuk ingatan atau laris untuk dikutip. Jadi, seringlah membuka buku puisinya, membaca satu atau dua saja. Merem dan menafsir semampunya. Yang tidak mau lelah dengan puisi memilih membuka bukunya yang berjudul Senjakala Kebudayaan. Pembaca mengetahui buku itu mula-mula diterbitkan Bentang (Jogjakarta). Bagi yang kangen bukunya dapat mencari di pedagang yang jualan di media sosial. Dijamin harganya tidak murah.

Yang belum punya bukunya bisa menikmati satu esainya dalam majalah Matra edisi Maret 1992. Judulnya biasa saja: “Puisi Indonesia Modern”. Apakah saat itu Nirwan Dewanto putus asa gara-gara tidak bisa membuat judul yang panjang dan gagah? Pembaca menduga tulisan bakal biasa, mengikuti judulnya.

Kita buktikan dengan mengutip beberapa kalimat: “Kelahiran puisi Indonesia menyertai nasionalisme Indonesia. Puisi-puisi Indonesia yang pertama ditulis oleh para nasionalis berusia muda: Muhammad Yamin, Muhammad Hatta, Rustam Effendi, Sanusi Pane. Mereka meyakini diri sebagai suara untuk zaman baru. Mereka mencoba meletakkan landasan bagi tumbuhnya masyarakat baru, kebudayaan baru. Puisi-puisi mereka lembut, liris, penuh harapan. Mereka menulis tentang alam yang murni, yang tak terkotori; alam itulah sandaran bagi nasionalisme Indonesia. Akhirnya terjadilan Sumpah Pemuda, 1928.”

Percayalah bahwa kalimat-kalimatnya bagus, penting, dan benar. Pembaca tidak perlu membandingkan dengan penjelasan yang dibuat Sutan Takdir Alisjahbana, A Teeuw, HB Jassin, atau Ajip Rosidi. Kita memutuskan untuk memilih beberapa kalimat Nirwan Dewanto sebagai kutipan bermutu yang bisa diajarkan di ruang perkuliahan. Para mahasiswa seharusnya mudah mengerti dengan ajakan mengingat sejarah puisi dan Indonesia. Yang sungguh-sungguh belajar di kelas mungkin terkesima hubungan puisi dan Sumpah Pemuda.

Tulisan yang pendek tapi Nirwan Dewanto menyajikan babak-babak penting dalam puisi Indonesia modern. Ia memberikan contoh dan argumentasi. Tulisan yang mengesankan ketimbang membaca buku 100 halaman yang disusun sembarangan oleh para dosen untuk perkuliahan puisi. Nirwan Dewanto terbukti sangat paham dan memiliki bacaan yang banyak dalam menyusun esai yang disajikan dalam majalah khas pria.

Setelah menunjukkan babak-babak penting masa lalu, Nirwan Dewanto mengungkapkan yang terjadi pada masa 1990-an. Ia adalah pengamat yang jeli dan pintar. Para pembaca tidak bakal merugi membaca esainya dua atau tiga kali.

Maka, patutlah kita mengutip satu paragraf penutup yang cukup mencengangkan: “Kita hidup dalam bahasa seperti halnya dalam udara. Seperti udara, bahasa adalah medium yang kita gunakan tanpa sadar. Namun jika udara dikotori atau diracuni, kita dipaksa berhati-hati dalam bernapas. Puisi adalah keganasan bahasa yang teratur, demikian menurut salah satu mazhab teori sastra. Dengan itu pula puisi menunjukkan apakah bahasa yang kita pakai sudah diracuni atau belum. Kita mempergunakan karya sastra sesuai dengan tema kita. Membaca puisi, mungkin, merupakan bagian dari strategi kita untuk menguasai ketakutan dan kecemasan yang melanda masyarakat kita.”

Jika dibaca berulang, kita akan mengerti meski sedikit. Yang ditulis adalah puisi Indonesia modern, yang menyadarkan kita tentang bahasa. Sejak paragraf awal sampai akhir, kita mengira pembahasan Nirwan Dewanto adalah puisi berbahasa Melayu atau Indonesia, sejak masa 1920-an.

Apakah pilihan bahasa ikut menentukan derajat modern? Selain bahasa, kita ingat bahwa modern itu dirayakan dengan meninggalkan pantun atau “puisi lama”. Padahal, Indonesia memiliki Hari Pantun Nasional. Hari Puisi sudah dicanangkan oleh pelbagai pihak. Kita mungkin tidak akan terkejut jika nanti ada penambahan hari-hari peringatan mengenai sastra. Pada suatu hari, orang-orang mungkin mengadakan “hari novel”, “hari cerita pendek”, atau “hari esai”, yang membuat sastra Indonesia sibuk tak bermutu.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<