KURUNGBUKA.com – (15/02/2024) Pada masa 1920-an dan 1930-an, kita mengingat persembahan novel-novel dari para pengarang yang berlatar Minangkabau atau Sumatra. Mereka menulis dalam bahasa Indonesia. Di cerita-cerita, pengarang tidak hanya mementingkan kampung halaman atau Minangkabau.
Cerita menjadi apik dan menegangkan saat pengarang menyajikannya dalam beragam kota: Sumatra, Jawa, Arab, dan Eropa. Yang cepat mengesankan bagi para pembaca adalah penggambaran alam. Pengarang terbiasa menggunakan kalimat-kalimat yang bertele-tele agar segala maksud tersampaikan. Yang ditulis menjadi rekaman alam setelah masa-masa itu berlalu.
Beruntunglah pengarang bernama Darman Moenir: “Saya bermasa kecil di negari dengan alam yang senantiasa menghamparkan keunikan, keindahan, dan mungkin kekayaan tang tak tepermanai.” Yang hidup dan bertumbuh di alam. Yang sudah mengenal bacaan-bacaan. Yang berani menuliskan cerita. Alam itu alamat asalnya.
Darman Moenir mengingat: “Pagi, memandang gunung menjulang megah di utara, melihat sawah berjenjang-jenjang sesayup-sayup mata memandang dengan latar jajar Bukit Barisan di sebelah selatan, benar-benar menakjubkan.” Akibatnya, ia mahir dalam mendeskripsikan alam.
Pada akhirnya, ia menuju Padang. Kuliah di kota, yang berarti memberi pengalaman berbeda dari alam yang menghidupnya, sejak kecil sampai remaja. Di kota, ia menjadi sosok yang berbeda. Pergaulannya dengan bacaan makin mendalam ketimbang menghayati alam. Yang ikut memberi sokongan dalam kemauan menulis cerita, kebiasannya mencatat atau menyalin “kata-kata bersayap”.
Ia yang ingin luwes dan matang dalam penulisan cerita, yang tidak hanya tergantung pada alam tapi dikuatkan dengan tergantung pada bacaan.
(Pamusuk Eneste (editor), 2009, Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid 4, Kepustakaan Populer Gramedia)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<