Lewat canda, kita bisa memahami beberapa hal tentang kemanusiaan! Rahma menatap kalimat itu dari televisi. Ditulis dengan pylox hijau. Di sekitarnya, barisan mahasiswa sedang berjalan sambil berteriak. Dia seketika ingat Bintang dan tawanya yang keras. Rahma selalu menyimpan telunjuknya di bibir. Kenapa tidak boleh tertawa? Pertanyaan satir Bintang yang membuat Rahma menggeleng-geleng. Namun, tawa itulah yang selalu membuat dia jatuh hati.

Mereka pertama kali bertemu setahun lalu. Pada sebuah diskusi di kampus yang membahas Schopenhauer. Kala itu, Bintang kebetulan menjadi pemantik diskusi. Di kelas yang telah kosong dan kursi-kursi dilingkarkan, Bintang berbicara layaknya seorang pengisi acara: cerdas dan juga lugas. Selain itu, ia juga penuh senda gurau. Rahma tak habis pikir, bagaimana seseorang bisa mendiskusikan filsuf pesimistik sambil bercanda.

“Yang lucu dari Schopenhauer adalah, ia menawarkan konsep tertawa. Menurutnya, tawa muncul sebagai persepsi atas ketidaksesuaian antara konsep dan objek yang nyata. Ini mengilhami rumus stand up comedy, di mana punchline selalu berbelok.” Rahma ingat jelas, Bintang mengucapkan kalimat tersebut. Dia lupa lelucon-leluconnya saat itu, karena terlalu takut jika sewaktu-waktu polisi menggerebek mereka. “Bayangkan, Schopenhauer yang pesimis saja masih mikirin ketawa. Negara kita kok malah ngelarang.”

Hari itu adalah pertama kalinya Rahma tertawa selain di kamarnya. Ketika akhirnya diskusi selesai dengan penutupan dari Bintang, “Terima kasih teman-teman sekalian. Jika ingin berkenalan lebih lanjut, bisa follow sosial media saya. Terkadang di sana jualan tahu. Itu pun kalau teman-teman ingin tahu.” Rahma langsung berjalan keluar ruangan. Dari ponselnya, dia buka akun Bintang. Pemuda itu memang kadang berjualan tahu.

“Yang tadi ikut diskusi?” tanya Bintang yang juga sedang menuju parkiran. Rahma hanya mengangguk. “Kenapa langsung pulang?”

Rahma diam beberapa jenak. “Kesorean, Bang. Takut ketinggalan angkutan.”

“Kirain takut acaranya dibubarin polisi,” ucap Bintang sambil tertawa. Rahma ingin sekali mengikuti gelaknya. Namun, dia masih ragu. “Ke arah mana pulangnya? Ayo kuantar.”

Lama setelah itu, ketika Rahma sudah bisa bercanda, “Di IG-mu tak ada pengetahuan, katanya jualan tahu.” Perkenalan mereka telah lebih dekat. Bahkan percakapan ini diucapkan ketika mereka sedang duduk di atas motor menunggu lampu hijau menyala.

“Untuk seorang warga negara dari republik yang melarang ketawa, humormu… lumayanlah.”

Rahma menampar helm Bintang sambil menahan tawa. “Kayak kamu bukan warga negara ini saja.”

“Jelas bukan. Aku warga dari Negara Kesatuan Republik Tertawa.”

Rahma masih menahan tawanya, “Memang ada?”

“Ada, dong.” Lampu merah masih menyala, tapi suara klakson sudah terdengar dari belakang. “Sekarang kita mau nonton film apa?”

“Horor!”

“Pernah menonton film komedi?” Bintang tahu dengan pasti jawaban pertanyaan ini.

Rahma menggeleng. Bahkan drama Korea yang dia tonton pun selalu disensor adegan lucunya.

Bintang melihat wajah Rahma dari kaca spion. “Aku ada beberapa kaset film komedi lama. Kapan-kapan kupinjamkan.” Lampu hijau pun menyala.

Pada akhirnya, Rahma tahu bahwa Negara Kesatuan Republik Tertawa itu benar-benar ada. Sebuah perkumpulan mahasiswa, yang bermarkaskan di kantin pada Rabu, jam delapan malam. “Kenapa aku baru tahu, ya?” tanya Rahma ketika diajak ke sana, setelah mereka resmi berpacaran.

“Karena memang rahasia. Rakyat negara sebelah banyak cepu.” Bintang menjawab sambil berjalan. Memesan dua kopi tubruk.

“Kenapa di tempat terbuka?” tanya Rahma ketika Bintang kembali duduk.

“Biar gampang kabur kalau ketahuan.”

Tiba-tiba saja dua orang berdiri. Rahma kenal satu orang di antara mereka, Pandji, wakil ketua BEM. Sedangkan, yang lebih pendek, tak dikenalnya. Yang pendek memperkenalkan diri sebagai Radit, Wakil Presiden. Pandji ternyata adalah Presiden. Mereka berdua membuka acara. Yang dinamai Rapat Dengar Lelucon.

“Kau harus lihat KTP-ku.” Bintang memberikan sebuah kartu pengenal. Rahma membacanya, Kartu Tanda Pelawak. “Ketawa, dong! Ini tanda bahwa aku memang warga negara sini. Tak sepertimu.”

“Jadi kita LDR dong? Beda negara?” Obrolan mereka terhenti karena Mang Aso mengantarkan pesanan. Ketika penjual itu kembali ke kiosnya, Rahma bertanya, “Mang Aso warga negara mana?”

“Dia Menteri Perdagangan.”

 Beberapa orang mulai memperdengarkan lelucon mereka di depan. “Sembilan-delapan, semua orang menjarah. Chaos. Bahkan yang kelas menengah ke atas juga ngejarah. Kenapa? Karena normal. Malah jadi aneh kalau gak ngejarah. Orang baik juga ujung-ujungnya ngejarah. Ada yang bawa baju, ‘Heh… jangan, ini bukan hakmu.’ Gak digubris. Ada yang bawa laptop, ‘Heh… jangan, ini bukan hakmu.’ Gak digubris. Ada yang bawa Iphone, ‘Heh! Itu ambil di toko mana?’ Ujungnya ngejarah juga! Semua orang waktu itu ngejarah, kalau enggak, kemungkinan dia pemilik tokonya.”[1]

“Sekumpulan orang. Setiap hari Kamis di depan Istana Merdeka, jam empat sore. Pakaian hitam. Payung hitam. Bertanya, ‘di mana anak saya?’ Bertahun-tahun. Sampai sekarang. Tidak dijawab-jawab. Sedih? Jelas. Kesal? Jelas. Orang gak dibalas chat aja kesal. Di-just-read aja kesal. Nunggu bentar kena macet aja kesal. Apalagi ini. Bertahun-tahun tak pernah didengar. Tak pernah dibalas.”[2]

Bintang maju setelah beberapa orang. “Halo. Aku baru punya pacar baru.” Wajah Rahma langsung memerah. “Tuh.” Tunjuk Bintang padanya. “Mulus. Masih dibungkus.” Dia tertawa. “Minat DM. Free ongkir.”[3] Bintang mengedipkan matanya. “Tapi dia warga negara sebelah. Dan menurutku, warga di sana lucu-lucu. Contohnya nih: ada dua orang, abis ketemuan dari tempat yang sama. Pulang naik motor yang beda. Jalan pulangnya searah. Terus di jalan mereka dengan dua motor yang berbeda, ngapain coba? Ngobrol. Dua motor ngobrol. Ngalangin jalan. Disusul, sulit. Diikutin, pelan. Terus ngapain mereka tadi di tempat itu? Kenapa baru ngobrol di motor?”[4]

“Tapi ya, lebih lucu lagi sih pemerintahnya. Bukan lucu, sih, tapi sinting. Menurut riset, ya, hanya delapan persen kemungkinan untuk terpilih jadi anggota DPR. Itu hitung-hitungan dari banyaknya yang nyalonin, dibagi jumlah kursi yang tersedia. Terus, masih pada banyak orang yang buang-buang uang demi kemungkinan delapan persen! Betapa sintingnya orang yang bertaruh ketika persentase kalahnya sembilan puluh dua persen![5] Tapi ya, segimana pun sinting dan lucunya republik itu, tetep aja, sih, aku sayang. Pacarku saja warga sana. Bagiku yang melanggar larangan melawak dan tertawa, tetap saja cinta. Soalnya, makin aneh, makin banyak materi buat ngelucu. Cuman satu, sih, yang dibenci… tukang baso bawa walkie-talkie.”

Dan begitulah, setiap Rabu malam, Rahma akan senantiasa berada di sana. Mendengarkan lelucon, yang kadang lucu, tapi seringnya tidak. Tak hanya politik. Bisa juga kekesalan pada kampus. Bahkan tentang bagaimana jika dinosaurus membuat roket. Beberapa kali, Rapat Dengar Lelucon itu dibubarkan oleh satpam atau polisi. Namun, Negara Kesatuan Republik Tertawa tetaplah ada.

“Radit hilang. Gakkan ada Rapat Dengar Lelucon kali ini,” ujar Bintang pada suatu malam Minggu.

“Loh? Kok bisa? Padahal kan materinya gak ada yang bahas politik. Radit kan seringnya alay.” Rahma memakan martabak yang dibawa Bintang. Dia menatap lekat-lekat pacarnya.

Bintang terlihat serius. Tatapannya kosong ke depan. “Kata Pandji, banyak mahasiswa yang hilang akhir-akhir ini. Tak hanya Radit. Kayaknya, kita akan demo.”

“Kapan?” ujar Rahma. Dia mencoba untuk menyembunyikan rasa khawatir pada nada dan pilihan katanya.

Bintang melirik kepada pacarnya. Ia tersenyum. “Kamu gak boleh ikut.”

“Hati-hati, Tang. Aku sayang kamu.”

“Aku lebih sayang kamu.”

Sejak detik itu tak pernah ada kabar lagi. Senyuman terakhir. Percakapan terakhir. Ucapan sayang terakhir. Sampai kini, tak pernah ada kabar satu pun. Pesan atau telepon pun tak ada. Rahma sering menatap lekat-lekat ponselnya. Bahkan dia memberikan pesan pada Pandji. Juga kadang mencari suatu kabar di internet. Namun, semua nihil.

Sekarang, dia hanya bisa menatap televisi. Demo itu terjadi. Dia mencari-cari satu titik wajah yang dikenalnya sebagai Bintang. Sudah lima hari sejak perjumpaan itu. Dia harap Bintang baik-baik saja. Dibukanya ponsel dan dilihat kembali semua sosial medianya. Semua mengabarkan tentang demonstrasi. Namun, tak juga ada kabar tentangnya.

Rahma berdiri. Berjalan ke jendela kamar. Sebuah gerobak baso terlihat di depan rumahnya. Dengan perlahan, Rahma tutup jendelanya. Dia kunci kamarnya lalu duduk di kasur. Dimatikannya televisi. Lalu dibukanya laptop. Dipasangkannya earphone dan dimasukkan kaset film komedi lama yang saban hari dipinjamkan Bintang. Sebuah film Warkop DKI. Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang.[*]

[1] [2]  bit stand up comedy Pandji Pragiwaksono
[3] bit stand up comedy Bintang Emon
[4] bit stand up comedy Gilang Bhaskara
[5] bit stand up comedy Abdur Arsyad

*) Image by istockphoto.com