“Bendera… Bendera…! Ngawur… Ngawur…!”

Hari masih pagi. Suti menangis lagi. Di atas dipan, ia krukuban selimut kumal dari kain perca jahitannya. Aroma pesing menguar di kamar yang lembap dan temaram.

***

Suti sudah mengenakan baju putih kusam dengan noda getah dahan pisang dan rok biru yang sedikit kesempitan. Sepasang tangan keriput Mbok Kem, ibunya, membantu Suti memasangkan dasi. Suti segera mengambil topi dan memakainya, lalu menyelempangkan tali rafia pengikat tas kreseknya. Di dalam tas kresek itu ada buku tulis penuh coretan, segulung benang, beberapa jarum, dan potongan-potongan kain, mungkin di situ juga ada segenggam keinginan—satu ungkapan yang lebih pas untuk tidak menyebutnya cita-cita. Disaksikan Mbok Kem, Suti tersenyum memandangi dirinya dalam cermin retak pada pintu lemari pakaiannya.

“Mbok, uang saku…” Suti merayu.

Dari kain kenditnya, Mbok Kem mengambil selembar uang seratus rupiah. Biasanya Suti akan jajan es potong kalau Pak Karno lewat. Sebelum berangkat, Suti berhenti sejenak menatap poster partai-partai peserta pemilu 1999 yang ditempel di dinding gebyok ruang tamu, di samping televisi yang pagi itu membisu.

“Paaak, berangkaaat…” Suti berteriak pamit kepada Pak To yang sedang memberi makan kambing-kambingnya di kendang. Pak To menoleh mengangguk dengan wajahnya tetap datar dan dingin. Usianya sudah kepala enam, tapi masih lumayan bergairah untuk bekerja, memelihara ternak, atau sekadar untuk berkegiatan bareng warga.

Suti berangkat jalan kaki beralas sandal jepit menapaki anak tangga yang dipahat pada tebing tanah baras samping rumahnya. Tidak bersepatu? Tidak! Ia tidak punya sepatu.

Sekolah Suti tidak jauh dari rumahnya. Suti satu-satunya anak yang bersekolah di situ. Teman sekelas tidak punya, guru pun tidak ada.

Suti sekolah di gardu pos ronda kampungnya. Suti duduk di situ beralaskan tikar pandan yang kotor berdebu abu rokok dan puntung sisa para peronda. Seperti biasa, ia ambil buku dan mencorat-coret dengan pensil tumpulnya sambil bercerita—lebih tepatnya berbicara sendiri—tentang apa saja. Ia juga suka menyenandungkan lagu “Anoman Obong” yang hits dinyanyikan Mamiek Melani sejak beberapa tahun sebelumnya. Kalau jenuh, ia akan mencorat-coret dinding. Dan kalau semakin jenuh ia akan mengeluarkan potongan-potongan kain yang dibawanya dan menjahitnya. Ia bisa, gemar, dan tekun menjahit. Kalau sedang menjahit, ia akan abai dengan segala yang terjadi di sekelilingnya, kecuali kalau anak-anak SD tetangga-tetangganya sudah pulang sekolah dan ramai lewat jalan di depan gardu pos ronda tempat Suti bersekolah itu.

“Halo Sayang…” demikian adat kebiasaan Suti menyapa anak-anak. Mereka pun akan menjawabnya serentak dengan juga mengatakan, “haloooo… sayaaaang…!”

Tidak jarang ia akan digoda oleh Kelik, Kenthus, dan Gepeng para pemuda tanggung yang juga tetangganya. Benar saja, pagi jelang siang Kenthus dan Gepeng lewat mengendarai sepeda motor dan menyeret sejumlah galah bambu. Sebelum berlalu, mereka hentikan sejenak sepeda motornya dan menggoda Suti.

“Suti… Halo Sayang….!”

“Ngawur…!” Suti menukas.

Lho, kok marah sih? Sedang sekolah ya?” Kenthus menggoda.

“Ngawur…!” Suti kembali menimpali.

Setelah kedua pemuda itu belalu, Suti kembali menjahit. Namun, ia dikagetkan suara sepeda motor dua tak dengan kenalpot blombongan lewat di depan gardu dan mbleyer-mbleyer. Tidak salah lagi, Kelik. Karena kaget, Suti marah dan menangis tersedu-sedu meninggalkan gardu pos ronda tanpa mengemasi buku dan kain yang dijahitnya. Suti pulang. Kelik tanpa bertanggung jawab melaju begitu saja seperti tak punya dosa.

***

Suti bersama Pak To dan Mbok Kem sedang makan malam sambil menonton berita di televisi hitam putih dengan layar berlapis mika biru yang terkadang gelombangnya hilang timbul.

“Enak zaman Orde Baru atau Reformasi ya, Pak?” Mbok Kem basa-basi bertanya pada suaminya.

“Kita lihat saja besok. Ini pemilu pertama setelah Pak Harto lengser keprabon…” jawab Pak To.

“Pemilu yang bikin bingung. Partainya tidak cuma tiga. Banyak, 48 partai,” ujar Mbok Kem.

“Pemilu itu apa, Bapak?” Suti bertanya.

“Pemilihan Umum,” jawab Pak To singkat.

“Pemilihan Umum itu apa, Bapak?” Suti melanjutkan pertanyaannya. Ia tampak antusias.

“Milih gambar. Itu yang benderanya berkibar-kibar,” Pak To menjawab sekenanya.

“Suti pengen bendera, Bapak…!”

Mbok Kem dan Pak To saling memandang, tapi tak menjawab apa-apa.

Sambil memegangi piringnya yang sudah kosong, Suti tampak fokus menyaksikan televisi yang menayangkan berita kampanye.

Kula nuwun…” terdengar seseorang dating bertamu.

Nggih…” jawab Pak To dan Mbok Kem serentak. Pak To beranjak, kemudian membukakan pintu. “Lik Met, mangga, silakan masuk!”

“Tidak usah. Di sini saja. Saya sedang ronda. Ini tas dan peralatan sekolah Suti ketinggalan di gardu pos ronda,” Lik Met menyerahkan tas kresek Suti.

“O ya… Terima kasih.”

Lik Met kemudian pamit melanjutkan rondanya.

***

Pagi hari. Ayam berkokok disusul kicau burung dan suara orang menyapu halaman. Hari masih terlampau pagi, tetapi Suti sudah mandi dan mengenakan seragam sekolahnya. Seperti biasa setelah minta uang saku, ia berangkat. Sesampainya di muka jalan ia tugur tertegun memandangi sepanjang jalan menuju gardu pos ronda. Ia saksikan suasana di sekitar yang aneh tapi tidak asing. Ia berjalan pelan dengan wajah ndomblong menuju gardu pos ronda. Suti kemudian duduk di gardu dan memandang sekeliling.

Sepanjang jalan di sekitar sekolahannya terpancang galah-galah bambu dengan bendera berwarna-warni berkibar-kibar di ujungnya. Bendera-bendera yang sebelumnya ia lihat semua biru di televisinya.

Suti tersenyum. Ia tampak senang melihat kibaran bendera-bendera itu.

“Bendera… Pemilu…” Suti teriak.

“Bendera… Pemilu… Bendera… Pemilu… Bendera… Pemilu…” Suti ucapkan kata-kata itu berulang dengan riang, sambil sesekali mengangkat tangan hormat kepada bendera-bendera partai itu.  Ia tidak belajar. Ia tidak mencoretkan satu garis pun di bukunya. Ia tidak bersenandung. Ia tidak menjahit kain perca yang dibawanya.

Menyaksikan kibaran bendera-bendera partai itu, Suti benar-benar tampak gembira ria.

***

“Halo, Sayang…!” ujar Suti pada Mbok Kem.

Mbok Kem menoleh ke arah Suti dan tersenyum. Belum habis senyum Mbok Kem, seketika ia terkejut melihat putrinya tiba-tiba berpaling sembari menutup telinga dan lari ke kamarnya.

Terdengar raungan sepeda motor rombongan konvoi kampanye di sepanjang jalan kampung. Suaranya gemuruh dan tidak habis-habis. Gerombolan simpatisan partai itu terus menggeber-geber kendaraannya. Dari rumah suara bising itu terdengar keras. Sangat keras. Sangat mengganggu.

Suti dibuat kaget bukan kepalang karenanya. Suti ketakutan. Ia merasa terancam. Ia terpekur di pojokan dipan kerukuban selimut kain percanya. Ia menangis tersedu-sedu.

“Simbok…! Simbok…! Bapak…! Bapak…!” teriak Suti.

***

Tengah malam, setelah para peronda pulang, terlihat siluet seseorang mencabuti galah-galah bambu bendera partai di sepanjang jalan kampung sekitar gardi pos ronda.

Suasana tenang. Hening. Ketegangan tampil dalam kesunyian.

***

Pagi hari. Ayam berkokok disusul kicau burung dan suara orang menyapu halaman. Hari masih terlampau pagi, tetapi Suti sudah mandi dan mengenakan seragam sekolahnya.

Suti berdiri di ambang pintu dengan tatapan kosong. Ia tampak ragu-ragu, lebih tepatnya cemas.

Dari kendang kambing, Pak To melihat putrinya. Mbok Kem mengintip dari celah pintu dapur.

Entah apa yang ia pikirkan, hanya membawa badan, Suti beranjak menapaki anak-anak tangga yang dipahat di tanah baras samping rumahnya menuju ke gardu pos ronda. Sesampainya di muka jalan ia tugur tertegun memandangi sepanjang jalan menuju gardu pos ronda. Galah-galah bambu bendera parpol sudah tak kelihatan ada lagi.

Suti segera berpaling dan pulang menuruni anak tangga ketika terdengar suara sepeda motor Kelik di kejauhan.

Benar saja, Kelik cenglu dengan Gepeng dan Kenthus lewat mengendarai motornya yang berisik dengan kenalpot blombongan dan berhenti di depan gardu.

“Whooo… Sapi…” umpat Kelik, lalu mbleyer-mleyer menarik gas sepeda motornya pergi meninggalkan gardu pos ronda di simpang jalan itu.

Di rumah, Suti yang terengah-engah segera minum air putih. Pada saat itu, Pak To menyerahkan bungkusan plastik besar untuknya. Suti menerima dan segera membukanya.

“Bapak…!” Suti tersenyum kepada Pak To. Lalu beranjak ke kamar. Ia letakkan bungkusan itu di meja lalu menyalakan lampu. Ia ambil benang dan jarum dari dalam tas kreseknya kemudian membongkar isi bungkusan itu.

Dengan tenang, suti mulai menjahit dengan kedua tangannya. Ia bahkan tidak keluar kamar selain untuk kencing atau minum. 

“Jangan lupa makan,” Mbok Kem mengingatkan.

***

Pak To dan Mbok Kem muncul di ambang pintu kamar Suti. Suti menangis dan terus menyalahkan dirinya. Pak To dan Mbok Kem saling memandang kebingungan.

“Bendera…” ujar Suti yang terpekur di pojokan dipan kerukuban selimut kain percanya.

“Sutiii…” Pak To dan Mbok Kem teriak berbarengan.

“Ayo segera mandi! Diam! Jangan menangis!” ucap tegas Mbok Kem.

 “Orde Baru sudah habis, kok masih ada anak gedhe gerang yang ngompol!” Pak To kesal. “Bocah pekok…!” Pak To memaki—sebuah perkataan yang sesungguhnya tak perlu diuangkapkan untuk putrinya.

“Bapak! Jangan bilang begitu di hadapan Suti. Suti memang tidak seperti kakak-kakaknya. Suti itu ganjaran, bukan beban. Jangan pernah memakinya lagi!” Mbok Kem mencoba mengingatkan Pak To.

Suasana jadi sedikit kikuk, situasi sibuk tampak di kamar Suti. Mbok Kem mengambil selimut dan seprai. Pak To menggulung kasur berisi bulu wedhus gembel yang basah, pesing, dan berat lalu menjemurnya di halaman. Seprai dan selimut yang pesing bukan main itu segera dicuci Mbok Kem selagi Suti mandi.

Cahaya dari genting kaca menerpa poster partai-partai peserta pemilu 1999 yang ditempel di ruang tamu, di samping televisi yang pagi itu tidak dinyalakan.

Usai mandi, Suti sudah mengenakan seragam sekolah dan berdiri di ambang pintu. Di halaman, kasurnya digelar pada galah-galah bambu. Di sisinya, di jemuran, berkibar-kibar selimut dari kain perca dan seprai dari beragam bendera partai yang dijahit sambung-menyambung menjadi satu oleh Suti.

Suti, Mbok Kem, dan Pak To memandangi seprai yang berkibar-kibar itu.

“Suti, Halo Sayang…” Kelik, Kenthus, dan Gepeng serentak memanggil.

Terkejut! Suti, Mbok Kem, dan Pak To menoleh ke arah sumber suara.

Yogyakarta, 2024-2025

*) Image by istockphoto.com