Keriuhan di pasar itu telah dimulai sebelum pukul 01.00 dini hari. Udara malam bulan Januari yang menggigit kulit. Suara orang-orang bertransaksi jual beli bagai dengung lebah tak henti-henti. Tawar menawar kadang berbuntut gerutuan dan pertengakaran. Orang-orang lalu-lalang menjinjing belanjaan, membopong dagangan seperti menyatu dengan sayuran dan sampah-sampah busuk yang berceceran di sepanjang lorong pasar yang becek dan berwarna hitam, saluran got di bawah lapak mengalirkan bau amis dari pedagang ikan dan daging. Dekat tong sampah di sebelah toko yang dijubeli pembeli, Bondat, laki-laki gila itu, duduk bersila seperti sedang merapal mantra. Anak-anak penjual kantong plastik lalu di depannya tak menghiraukan.

Kurnedi menggelar dagangannya di pojok dekat mulut lorong. Kol, melinjo, wortel, terung, mentimun, sawi, dan jenis sayuran lainnya mengonggok di lincak berukuran 2 x 3 meter. Kurnedi tidak menjual bawang dan cabe. Kedua jenis bumbu dapur itu sedang naik harganya, susah didapat. Hampir menjelang subuh ini ia baru melayani dua orang pembeli. Bondat masih saja merapal mantra. Kurnedi tahu sebentar lagi Bondat bakal bangun dan meminta makanan pada para pedagang sebelum luntang-lantung mengitari pasar dan keluar masuk lorong pasar seperti petugas yang mengontrol keamanan. Sempat terpikir oleh Kurnedi, kapan laki-laki gendeng itu tidur.

Semburat fajar mulai tampak di ufuk timur. Pasar makin ramai. Orang-orang yang datang lebih banyak ketimbang yang pulang sehingga lorong pasar yang sempit itu jadi padat membuat orang yang lewat di sana akan bersenggolan satu sama lain. Para pembeli makin menjubeli toko di seberang lorong. Pedagang jengkol, pedagang tempe, pedagang kolang-kaling, pedagang kelapa, pedagang buah-buahan, pedagang kue pukis, kue lapis, dan aneka jenis jajanan, semua sibuk melayani pembeli. Hanya Kurnedi yang termangu menanti pembeli yang tak juga mampir ke lapaknya. Ia heran, tak satu pun orang yang menoleh ke dagangannya. Seakan mereka melihat lapak kosong sehingga dilewati begitu saja. Benarkah ada yang sirik padanya? Seseorang yang ingin menghancurkan usahanya lalu menggunakan dukun supaya dagangannya tak laku?

“Sekarang tidak ada yang benar-benar polos kang, semua pake pengasihan,” kata istrinya jika padanya ia mengeluh. “Iparmu kan orang pinter, coba sana minta pengasihan supaya dagangan kita laku,” usul istrinya. Kurnedi tak pernah mendengar saran istrinya. Ia tidak pernah percaya dengan hal berbau mistis begitu.

“Kurnedi, mau pesan teh hangat?” suara Mang Ono mengejutkannya. Kurnedi menggeleng lemah. “Masih kenyang, Mang,” sahutnya dengan suara rendah.

Pandangan Kurnedi tertumbuk lagi pada dagangannya yang mengonggok. Sebentar lagi matahari memancar terang dan membuat sayuran-sayuran itu cepat layu. Orang akan makin tak berselera membelinya. Sayuran memang tak tahan lama, siang sedikit mulai berubah warnanya. Sambil menata dagangannya mata Kurnedi mengerjap resah. Dia sudah capek teriak-teriak menawarkan dagangannya pada calon pembeli yang hanya lalu saja. Kemarin ia sudah membuang daganganya yang busuk karena tak ada yang membeli. Sudah tak terhitung modalnya yang turut terbuang di tempat sampah.

Kurnedi menggaruk kepalanya yang tak gatal. Di rumah istrinya mungkin masih terlelap. Biasanya dia bangun jam setengah enam, memasak, memandikan anak-anak yang tahun ini sudah masuk sekolah semua. Jindro, si sulung masuk SMP, dia mirip sekali dengan ibunya. Di sekolah tidak terlalu pintar sehingga gagal masuk sekolah negeri yang biayanya lebih murah. Tanisi, anaknya yang kedua, perempuan, tahun ini duduk di kelas lima. Dia sesungguhnya cerdas meski agak pemalas. Sementara si bungsu, Yaying baru masuk SD. Di rumah istrinya sering mengeluh capek mengurus anak-anak. Tapi sekarang dia malah sedang mengandung lagi. Seharusnya aku pakai pengaman, pikir Kurnedi.

“Kol sekilo berapa?” tiba-tiba seorang nenek menghampiri lapaknya. Kurnedi segera melayani nenek-nenek itu. “Dua ribu, nek. Mau berapa kilo?”

“Kemahalan atuh, Mang,” kata si nenek.

“Nenek mau beli berapa kilo?”

“Gak jadi ah, kemahalan,” si nenek berlalu. Kurnedi melongo kesal. Dasar nenek-nenek, gerutu Kurnedi, belum nawar sudah pergi.

“Wortel sama kol setengah kilo saja, Mang,” datang lagi seorang pembeli, perempuan setengah baya berdandan menor. “Cuma setengah kilo, Bu?” ujar Kunedi.

“Buat apa banyak-banyak, cuma bapaknya anak-anak yang doyan sop,” sahutnya. Dengan sigap Kurnedi meraup wortel, ditimbang, lantas membungkusnya menggunakan kertas koran.

“Tolong ditambah tomatnya satu saja, saya nggak ada uang lagi,” pinta perempuan berdandan menor. Kurnedi tak bisa menolak, ia ambil sebutir tomat dan langsung dimasukkan ke kantong plastik. Menyerahkan pada perempuan itu, lalu dengan sigap mengambil uang yang disodorkan perempuan itu. Ditepuk-tepuknya uang itu. “Laris, laris,” bisiknya. Kurnedi tertegun lagi menatap punggung perempuan menor itu, lantas mengembuskan napas seperti mencoba membuang sial yang dialaminya seminggu ini. Kemarin ia sudah mengeluarkan modal terakhir yang dimilikinya. Uang itu mestinya buat persiapan kelahiran anaknya. Waktu pertama mendengar istrinya terlambat bulan Kurnedi sempat menggerutu kesal.

“Sudah kubilang pake kontrasepsi,” gerutunya.

“Kamu tahu aku nggak cocok pake kabe suntik,” kata istrinya.

Memang istrinya sering merasa tidak enak badan kalau disuntik kabe. Sore sedikit badannya terasa panas dingin. Kalau minum pil kabe lebih repot lagi. Dia sering muntah-muntah, kurang nafsu makan, dan yang paling bikin pusing gairah seksnya menurun. Kurnedi sendiri enggan pake kondom. Kalau sudah begitu keduanya hanya menghibur diri dengan mengatakan bahwa semua sudah ada yang mengatur. “Apakah nasib sial yang dialaminya seminggu terakhir sudah diatur?” desis Kurnedi tak bisa menahan kekesalannya.   

Bila hari ini dagangannya hanya laku separuh pun Kurnedi tetap bakal menanggung kerugian. Modalnya habis sudah. Ia tidak mungkin meminjam lagi kepada abangnya. Bukan karena abangnya pelit, melainkan Kurnedi tak mau dipandang susah oleh abangnya. Terakhir ketemu waktu dia pinjam uang, abangnya komentar kalau badannya sekarang kurus.

“Aku memang lagi puasa,” kilah Kurnedi waktu itu.

“Kulitmu juga makin hitam,” sambung abangnya. Kurnedi segera berpaling dari pandangan abangnya, dia pura-pura numpang kencing ke belakang. Melewati ruang tengah dia melihat keponakannya yang gendut-gendut, bersih, sedang bermain play station. Beda sekali dengan Jindro, Tanisi, dan Yaying yang kurus-kurus. Iparnya, Mbak Wid, tidak tampak. Jam segini masih di kantor. Iparnya itu memang wanita karir yang tangkas dan gesit tidak seperti Nastirah, istrinya yang lamban dan gampang mengeluh. Begitu menerima uang dari abangnya, Kurnedi langsung bergegas dengan muka menunduk. Dalam hati ia berjanji akan membayar semua hutang-hutangnya. Kurnedi tidak mau dianggap benalu oleh kakaknya.

Matahari sudah benar-benar muncul menyemburkan sinarnya yang menyilaukan. Kurnedi memegang perutnya yang keroncongan. Sejak semalam hanya diisi sepotong lontong dan tahu. Ia lapar, tapi ia kehilangan nafsu makan. Pikiran tentang istri dan anak-anaknya di rumah, tentang berapa uang yang akan ia berikan untuk membeli kebutuhan mereka, membuat nafsu makan Kurnedi surut. Ia hanya memesan teh manis kepada Mang Ono yang sibuk hilir mudik mengantar pesanan. Meneguknya perlahan-lahan. Beberapa pedagang lain mulai menggulung sisa dagangannya dan bersiap pulang.

Pesanan teh datang ketika Bondat lalu di depan lapaknya. Laki-laki itu berhenti. Kurnedi mengerti, Bondat minta jatah. “Tak ada uang, Ndat. Kau lihat sendiri daganganku masih utuh. Kalau mau ambil saja tomat,” kata Kurnedi.

Tapi laki-laki itu tetap berdiri. Mengherankan, biasanya laki-laki itu mengambil tomat dan langsung pergi. Dia malah menatap Kurnedi dengan aneh, membuat Kurnedi jengah. Kurnedi tak pernah mendapat tatapan serupa itu dari Bondat. Selama ini hubungan mereka seperti juga hubungan Bondat dengan para pedagang lainnya biasa-biasa saja. Mereka tidak saling mengganggu. Bondat tak pernah ngamuk jika tak mendapat jatah. Tetapi kenapa sekarang sorot mata itu tampak ganjil: kosong tapi anehnya terasa menghunjam di dada Kurnedi.

“Kamu mau teh ini?” kata Kurnedi menyodorkan gelas. Tetapi begitu saja Bondat tiba-tiba berlalu. Dasar gendeng! batin Kurnedi. Aroma teh menyentuh hidung Kurnedi. Dihirupnya teh hangat itu perlahan-lahan. Segar sekali di tenggorokan. Tidak terlalu manis, juga tidak pahit. Takaran yang tepat. Itulah sebabnya para pedagang itu tak pernah memesan teh selain ke Mang Ono. Begitulah tabiat pembeli, jika merasa puas pasti jadi pelanggan setia. Tapi kenapa daganganku sepi pembeli? Aku tak pernah membohongi pembeli. Sayuran yang bagus kubilang bagus, yang jelek kubilang jelek. Yang jelek tentu harganya tak sama dari yang bagus. 

“Sudah kubilang pake pengasihan, Kang.” Terngiang lagi saran istrinya. Kurnedi tak habis pikir istrinya ngotot sekali dengan sarannya. Tetapi terkadang perasaan bimbang datang juga di benak Kurnedi. Jangan-jangan benar saran istriya. 

Tiba-tiba terdengar suara rebut-ribut di ujung lorong. Orang-orang berteriak,

“Copet! Copeeeeet…. Tangkaaaaaaaaaaaap!!!”

Orang-orang sejenak berpaling ke arah teriakan, untuk kemudian melanjutkan kembali kesibukan berjual beli. Kurnedi melihat seseorang dalam keadaan bonyok digiring ke pos penjagaan.

“Siang-siang begini nyopet.”

“Siapa yang kecopetan?”

“Pembeli di toko Ah Yong.”

Hampir tengah hari. Perlahan-lahan pasar tidak seriuh pagi tadi. Sebagian penjual sudah menggulung dagangnya, pulang. Tinggal toko-toko kelontong yang tak pernah sepi.

“Belum pulang, Kur?” suara Mang Ono.  

“Sial terus aku beberapa hari ini, Mang,” kata Kurnedi getir, seraya mengembalikan gelas dan membayar teh yang diminumnya.

“Sudah kubilang kamu salah membeli lapak di sini, terlalu pojok,” kata Mang Ono. Mereka bercakap-cakap sebentar sebelum berlalu.

Dengan muka murung Kurnedi mulai memberesi dagangannya yang hanya terjual beberapa kilo. Ia memasukan sayuran yang sudah layu-layu itu ke dalam karung. Ia takkan membuang daganganya ke tong sampah seperti kemarin. Ia akan membawanya pulang dan membagikannya pada para tetangga. Di ujung mulut lorong Kurnedi melihat lintah darat Sarjan sedang bercakap-cakap dengan penjual jengkol. Sebentar lagi laki-laki itu bakal masuk ke lorong dan melintasi lapaknya. Apakah aku harus pinjam uang pada orang itu, pikir Kurnedi, bimbang. Jindro yang baru masuk SMP merengek minta uang buat melunasi buku pelajaran. Ia juga sudah berjanji mau membawa istrinya periksa ke dokter nanti sore.

“Sarjan,” Kurnedi akhirnya memanggil laki-laki itu.

“Mau pinjam uang? Berapa?” tanya Sarjan, cepat. Lalu di tersenyum menang, seperti berhasil menjebak mangsa yang lama diincarnya.

“Lima ratus, bisa?”

“Berapa saja bisa, Kur. Asal setoran jelas.” Sarjan terkekeh. Dia membuka tas menghitung uang. Lalu menyodorkannya pada Kurnedi bersama kesepakatan yang harus ditandatangani Kurnedi.

“Kecuali kamu mau kayak si Bondat!” ujar Sarjan terkekeh.

Radio Dalam, Januari 2024

*) Image by istockphoto.com