surat buat Fadhila Octavia.

KURUNGBUKA.com – Kamu adalah pembaca sungguhan, kamu membaca karena kamu mencintai kata, frasa & kalimat, kamu mencintai gagasan, kamu mencintai dunia—itu berarti kamu mencintai dirimu sebagai manusia. Kamu membaca agar kamu hidup & berhenti sebentar di dunia yang gelisah?—saya mengutip judul buku pengarang Inggris itu—atau kamu percaya dengan hidup hanya menunda kekalahan seperti yang ditulis Chairil Anwar? atau seperti yang dikata Sapardi Djoko Damono: semua masih akan bersamamu, sayang padamu; kata, frasa & kalimat itu pasti menyertaimu selalu, sebab mereka takkan pernah mengkhianatimu.

            Apa yang dipercaya pengarang Inggris itu adalah potret kiwari masa kini. Ketika manusia berubah menjadi robot: pergi ke kantor pagi hari, bekerja pada siang-sore hari & malam yang harusnya diguna istirah—kita, manusia yang menyedihkan, malah memikirkan hari esok dengan cara mengerjakan yang belum selesai & mempersiapkan yang ‘belum’ untuk esok. Apakah kita gelisah terhadap hidup? Mungkin. Ketika mengakses sosial media—kita lihat orang-orang menggunggah apa yang mereka capai & dapatkan. Juga ketika membuka kolom komentar di postingan apa pun: kebencian muncrat dari jari-jari, dari netizen yang maha benar! Apakah kita semakin gelisah terhadap hidup? Mungkin, mungkin saja. Lalu kita berusaha menutup itu semua, kita puasa sosial media & mencoba fokus pada kenyataan (distraksi, pergilah!): mendengar suara jangkrik di malam hari, merasakan angin sore menyentuh kulit, melihat cahaya matahari menembus celah dedaunan, menghirup aroma tanah setelah hujan, mendengar gemericik air di selokan atau sungai kecil, mengamati orang-orang berjalan dengan ritme berbeda di trotoar, melihat lampu lalu lintas berganti dari merah ke hijau, menyadari suara roda motor saat melewati jalan basah, memperhatikan lampu-lampu toko yang perlahan menyala menjelang malam, menghirup aroma kopi dari warung pinggir jalan & membaca sastra (yang menumbuhkan empati, yang mengajari banyak hal menyoal hidup yang rapuh ini) —lalu setelah semuanya kita tangkap lewat tubuh, pikiran & hati; kita bertanya ulang: mengapa kita gelisah terhadap hidup?

            Karena hidup hanya menunda kekalahan seperti yang ditulis Chairil Anwar; kita mengerti—satu-satunya cara menunda paling baik adalah dengan membaca. Bertemu, bermesra atau bertengkar dengan bahasa. Hanya dengan cara itulah otak terus diasah, semakin tajam & kita jadi terus belajar perihal ‘cara menjalani hidup’: kita bukan hanya tahu sesuatu dari membaca, tapi juga mengelola emosi, memahami manusia & mengenal keinginan sekaligus penderitaan. Karena kita tahu ‘kekalahan’ pasti datang, karena kita tahu bahwa hidup cuma ‘menunda’—karena itulah kita menjalani hidup sebaik-baiknya untuk dunia & yang-setelah-dunia, setelah-kekalahan. Tapi apakah mungkin karena membaca kita menjadi menang? Entahlah—aku teringat lagi ketika dirawat rumah sakit bersama orang-orang yang (pura-pura) menyukai sekaligus membenciku; ruang operasi dengan cahaya di mana-mana; bau ruang dengan infus, ranjang, bubur & obat-obat serta suster yang tak mengenalku itu … aku teringat lagi ketika ‘kekalahan’ begitu dekat. Pada waktu itu aku membaca dengan tubuhku, bukan dengan pikiranku. Hanya dengan cara itu aku bisa hidup, hanya dengan itu kita dapat memahami bahasa; mengalami bahasa. Ketika tangan ditusuk jarum, kita tahu itu puisi—puisi sakit & putus asa. Ketika tubuh terbaring & ranjang menerima dengan tulus, kita tahu itu cerita pendek—cerita pendek dengan pergolakan batin & ending buruk. Ketika mulut menelan obat & suster bilang: tidak apa-apa, ini yang terakhir, kita tahu itu novel—novel dengan tokoh pembohong ulung & tindakan buruk.

            Penutup puisi Sapardi Djoko Damono dengan kalimat semua masih akan bersamamu, sayang padamu ialah akhir dari  segalanya—dari apa-apa yang telah kita tunda. Namun apakah benar kita tahu & mengerti: bagaimana kasih sayang itu mereka beri untuk kita yang telah kalah ini … hidup yang terlalu singkat ini, kita rayakan dengan peristiwa, tindakan & kemungkinan-kemungkinan yang sangat panjang—kita seolah tak rela, tak ingin & tak mampu menanggalkan segala yang telah kita buat, kita kenal & kita miliki. Karena kita mendapatkannya dengan proses yang sangat panjang. Tapi ketika kita meninggalkan semuanya, otomatis sudah kita menanggalkan segalanya; yang fana memang begitu cara kerjanya & kita menangis karena tahu kenyataannya … & percayalah bahwa surat ini juga akan mengingatmu, selalu. Menyayangimu senantiasa hingga bahasa punah & manusia tak lagi saling mengerti. Dunia diambang kehancuran & aku tak tahu lagi apakah masih bisa mengirimu surat seperti ini dengan cara lain atau tidak. Bukankah surat adalah wujud konkret dari susunan kata yang berperasaan & berkepribadian; yang penuh kasih sayang; yang mampu menyentuh hatimu … kamu adalah pembaca sungguhan, kamu membaca karena kamu mencintai kata, frasa & kalimat, kamu mencintai gagasan, kamu mencintai dunia—itu berarti kamu mencintai dirimu sebagai manusia, manusia.

            Medan, 2025