KURUNGBUKA.com – Pada suatu hari, ada yang membaca buku tipis dari Nh Dini berjudul Hati yang Damai. Namun, ada yang segera menyahut bahwa banyak orang yang membaca Pada Sebuah Kapal. Terserah yang mengaku menjadi pembaca dan penggemar Nh Dini! Mengapa pengarang itu memilih “damai”, bukan “kisruh”, “ruwet”, atau “kacau”? Damai itu dikehendaki agar hidup tidak terlalu hancur.

Babak yang berbeda, Jakob Sumardjo yang suka menulis resensi dan esai juga memilih “damai”. Terbacalah esainya yang panjang dalam Prisma edisi Juli 1981, judulnya Rumah yang Damai: Wanita dalam Sastra Indonesia. Esai yang disajikan berkaitan tema besar: wanita. Di lembaran itu tampak foto Jakob Sumardjo yang ganteng, belum menua. Kini, umuranya berapa?

Selama bertahun-tahun, Jakob Sumardjo mungkin sudah membaca ratusan novel yang digubah perempuan. Ia pantas diakui sebagai pembela dan pemulia sastra atau novel yang digerakkan kaum perempuan. Namun, ada yang mengejeknya sebagai peminat novel-novel pop. Apakah itu menjadikannya kurang berwibawa dalam kritik sastra di Indonesia? Yang membanggakan adalah ketekunannya menghasilkan ratusan tulisan yang terbit menjadi buku-buku. Kebanyakan bukunya berpenampilan jelek, yang kurang mengundang minat orang untuk membacanya.

Terbukti selama beberapa dekade, Jakob Sumardjo adalah penulis yang tangguh. Ia tidak minder atau mundur bila mendapat banyak tuduhan atau ejekan. Yang dilakukannya adalah membaca dan menulis. Selanjutnya, membaca dan menulis. Kehormatannya terletak dalam kesungguhan membaca dan menulis. Pokoknya: membaca dan menulis.

Pernyataannya: “Wanita dalam sastra Indonesia telah menjadi pusat perbincangan, sejak munculnya sastra Indonesia modern sekitar 1920-an. roman pertama Indonesia, yang memakai bahasa baku, Azab dan Sengsara karangan Merari Siregar, berkisah tentang penderitaan seorang wanita dari keluarga miskin bernama Mariamin.”

Apakah murid-murid di abad XXI masih menemukan novel Azab dan Sengsara di perpustakaan atau di atas meja guru? Novel yang akan susah terbaca oleh murid-murid yang mulai senewen dengan bahasa Indonesia. Novel yang bersejarah tapi belum tentu gampang terbaca lagi. Yang menyusahkan bahasanya. Yang kurang menggoda mungkin tema dan gaya bercerita.

Merari Siregar tidak terpilih untuk menjadi sumber penentuan Hari Sastra. Yang terpilih adalah Abdoel Moeis. Dua pengarang itu ikut meramaikan sastra masa 1920-an, sama-sama mengisahkan perempuan dalam dilema-dilema tradisi dan modernitas. Dua nama yang kadang terlewatkan oleh murid-murid yang memilih mengenali Marah Roesli dengan novel yang berjudul Sitti Nurbaya.

Jakob Sumardjo menjelaskan: “Dunia wanita yang digambarkan para pengarang sebelum perang adalah dunia remaja. Kaum wanitanya kebanyakan jatuh cinta kepada kawan sekolahnya sendiri. Ini menunjukkan bahwa dunia pergaulan para gadis amat terbatas, terutama dalam roman-roman Balai Pustaka.” Yang pernah membaca novel-novel lama bersepakat: banyak tokoh wanita yang belajar di sekolah. Mereka mewakili kemajuan atau agenda perubahan yang disokong pendidikan. Bagi yang membat riset bertema wanita dan pendidikan wajib membaca novel-novel terbitan masa 1920-an dan 1930-an. Bacalah dan susahlah!

Perubahan besar terjadi pada masa 1970-an. Ratusan novel terbit yang sering laris dan membuat para pembacanya menjadi fanatik. Banyak penerbit yang untung. Namun, ramainya novel yang ditulis kaum perempuan itu diikuti kecaman, curiga, dan fitnah. Maka, kehadiran Jakob Sumardjo yang rajin membuat resensi atau ulasan agak menimbulkan perhatian yang tidak sembarangan. Tema wanita makin membesar!

Konon, pemicu munculnya banyak novel dari para perempuan adalah majalah dan koran. Penerbit-penerbit yang satu perusahaan atau bersekutu dengan majalah dan koran makin menentukan selera bagi jutaan pembaca. Nama-nama yang digemari bermunculan. Sastra di Indonesia mulai rajin mengadakan jumpa pengarang, kebutuhan tanda tangan, berfoto, dan lain-lain. Para perempuan itu biasa menjadi berita, yang mungkin tidak kalah dari artis. Maka, peran Jakob Sumardjo terbukti meski pengaruhnya tidak terlalu besar dalam arus sastra Indonesia.

Yang diungkapkan sang kritikus tinggal di Bandung: “Dapat disimpulkan bahwa dunia novel wanita kita masih sekitar kehidupan dalam rumah. Horisonnya belum mencapai tetangga, apalagi masalah sosial bangsanya. Bahkan masalah anak-anak dan orang lain dalam rumah pun belum tergapai pena, meskipun memang sudah ada satu atau dua yang mengarah ke sana.” Kritik yang pedas setelah ia membaca dan membuat catatan-catatan yang penting. Sehingga, esai panjang yang dimuat dalam Prisma itu wajiblah dibaca para peneliti yang ingin menengok sastra Indonesia, sejak masa 1920-an sampai 1970-an.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<