KURUNGBUKA.com – Sejarah dan perkembangan sastra dipengaruhi politik. Kebenaran yang dapat terbantah atau tertolak tanpa harus membuat argumentasi seribu halaman. Namun, kita mengingat yang terjadi di Indonesia. Pada masa lalu, yang gencar dalam urusan sastra adalah PKI. Kita mengerti ada kaitan erat PKI dan sastra di Indonesia. Namun, jalinan itu “bermasalah” bagi beberapa partai politik. Yang tercatat dari silam adalah tema besar: sastra dan partai politik.
Apakah itu berlaku dalam masa-masa yang berbeda? Jawab saja: benar meski tidak absolut. Pada masa Orde Baru, dua partai politik jarang berani terbuka berkepentingan dengan sastra. Golkar yang tidak mau disebut partai politik memiliki pengaruh yang besar dalam produksi sastra (anak). Kita mengetahuinya dari seri buku-buku cerita anak Inpres yang memuat masalah-masalah keberhasilan pembangunan nasional. Di situ, ada peran pemerintah yang dibentuk berdasarkan dominasi Golkar. Artinya, sastra dan partai politik tetap terbaca tapi tidak secara langsung dan gamblang.
Namun, kita masih menemukan gejala-gejala lain. Pada saat Soeharto berkuasa, yang berani memasalahkan sastra adalah orang-orang dalam PDI. Mereka tidak sedang meributkan sastra yang revolusioner atau sastra yang mungkin berani melawan rezim Orde Baru. Polemik yang terjadi malah dikaitkan masalah agama. Aneh tapi pernah terjadi di Indonesia.
Di majalah Editor, 13 Februari 1988, tersaji berita yang berjudul “PDI Konflik Kena Pariyem”. Nama yang tercantum: Pariyem. Apakah nama itu masuk dalam pengurus PDI? Kita harus mengingatkan: PDI itu Partai Demokrasi Indonesia. Pada masa yang berbeda, publik mengetahui PDI-P. Di belakang, P itu “perjuangan”. Kini, ada dua nama tenar dalam PDI-P: Megawati dan Puan Maharani.
Dulu, ada nama Pariyem. Yakinlah bahwa Pariyem itu bukan ketua umum, sekjen, atau kader. Pariyem adalah nama perempuan yang ditemukan dalam teks sastra, bukan struktur pengurus PDI. Apa urusannya Pariyem dan PDI? Konon, terjadi perpecahan di kepengurusan PDI. Para tokoh beda arah dan kemauan. Yang ditulis dalam berita: “Ketua Komisi IX Soelaeman Tjakrawiguna, menyarankan departemen agama meneliti dulu buku Linus (Suryadi AG), sebelum difilmkan oleh sutradara Teguh Karya.” Sastra masuk dalam keributan partai politik dan MPR.
Kita mengutip lagi: “Cerita bermula dari sidang Badan Pekerja MPR. Sukowaluyo, Ketua DPP PDI, juru bicara Fraksi PDI di MPR, mengutip lirik dalam Pengakuan Pariyem: ‘Lha di surga, Gusti Allah tak bertanya agamamu apa di dunia. Tapi, Ia bertanya, di dunia kamu berbuat apa.”
Teks sastra dimasalahkan orang politik yang sedang bersidang demi kepentingan rakyat. Ribut itu ruwet saat mengikutkan sastra. Yang dikehendaki pihak merasa berkepentingan: agama tak perlu diajarkan di sekolah. Gubahan sastra oleh Linus masuk dalam ribut politik dan kebijakan-kebijakan atas nama birokrasi.
Menteri Agama Munawir Sjadzali diharuskan menanggapi omongan-omongan dalam sidang MPR. Kerepotan tercipta gara-gara sastra. Di berita, kita mengetahui: “Menteri menyuruh stafnya mencari buku itu.” Menteri tidak mau gegabah. Ia mengaku harus mempelajari dulu dengan cara membaca Pengakuan Pariyem. Berita dalam majalah Editor sempat menimbulkan keramaian bagi kaum sastra, kaum film, kaum politik, dan kaum moralis.
Pada awalnya, Pengakuan Pariyem diterbitkan oleh Sinar Harapan. Ukuran bukunya kecil. Cetakan menggunakan kertas buram. Penampilan yang tidak elok dan mengesankan bukan buku yang istimewa. Anehnya, buku gubahan Linus itu laris. Ada resensi dan tanggapan-tanggapan yang termuat dalam pelbagai koran dan majalah. Linus menjadi perbincangan, yang memicu bukunya pantas cetak ulang gara-gara dicari orang-orang yang penasaran.
Pada masa yang berbeda, 2009, buku itu dicetak lagi oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Penampilan yang berubah. Ukuran buku tidak lagi seperti dulu. Gambar di sampul pun berubah. Buku terlihat tebal. Buku yang masih dicari dan dipelajari bagi orang-orang yang ingin mengetahui perkembangan (mutu) sastra di Indonesia, dari masa ke masa. Buku yang tidak memuat kutipan dari berita yang meributkan Pengakuan Pariyem dalam sidang MPR. Apakah pihak penerbit tidak mengetahui kejadian masa lalu? Padahal, kutipan dari Editor bisa merangsang orang-orang untuk membeli dan membacanya.
Kita kembali lagi memeriksa berita. Ada kotak yang memberitakan Linus selaku pengarang. Wajib mengutip berita: “Apa komentar Linus tentang heboh di PDI?” Pengarang diminta tanggapan. Yang disampaikan Linus (37 tahun): “Keliru sekali kalau saya menyinggung Islam dan Kristen… Teks itu menyajikan fakta pikiran. Dan, saya melestarikan kebudayaan.” Ia tidak mau terlibat dalam ribut yang ruwet mengenai sastra, agama, dan politik.
Linus sulit paham dengan usulan-usulan politisi agar Pengakuan Pariyem diperiksa di Kementerian Agama. Usulan yang bisa berujung pelarang. Linus mengatakan: “Saya tidak percaya.” Ia yakin menteri agama tidak akan melarang peredaran Pengakuan Pariyem. Yang penting untuk teringat adalah berita itu menguak kebingungan kaum politik dalam menghayati sastra dan mengerti agama.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<







