KURUNGBUKA.com – Sastra di Indonesia adalah perayaan judul. Ada yang membuat judul untuk cerita pendek, puisi, atau novel dengan dipikirkan selama ribuan menit atau puluhan jam. Maksudnya agar judul memiliki konsekuensi yang bermutu. Judul diusahakan tidak dibuat asal-asalan dan berdasarkan wangsit.
Yang menulis cerita menggunakan judul “pasar” sudah banyak. Pramoedya Ananta Toer dan Kuntowijoyo teringat dengan “pasar”. Kita mengingat judulnya saja, bukan isinya. Pastinya banyak pengarang yang menggunakan judul “pasar” meski kita belum mencatatnya. Konon, menceritakan pasar itu seru. Ada yang beranggapan terkandung muatan-muatan etnografi, sosiologi, sejarah, dan politik.
Ada yang menulis cerita mengenai pasar tapi tidak digamblangkan dalam judul. Arswendo Atmowiloto, pengarang asal Solo, menulis Canting, yang dimuat sebagai cerita bersambung di Kompas sebelum terbit menjadi buku oleh Gramedia. Yang diceritakan adalah Pasar Klewer (Solo). Kita bayngkan pengarang di pelbagai desa dan kota menulis mengenai pasar yang diamati dan diimajinasikan. Maka, pasar akan menjadi tema yang membesar sepanjang masa.
Di Solo, ada nama pengarang yang sering dikenang berdasarkan ulah rezim Orde Baru dan kejatuhannya. Ia dianggap “momok” yang memusingkan penguasa. Di pelbagai peristiwa, sosok itu hadir dengan puisi-puisinya yang berani mengumbar kritik, protes, ejekan, atau gugatan.
Pada masa 1990-an, tahun-tahun menjelang keruntuhan rezim Orde Baru, puisi-puisinya bermunculan dan beredar dalam demonstrasi-demonstrasi. Puisinya mendapatkan tempat dalam sejarah tapi sosoknya hilang. Ia yang bernama Wiji Thukul menjadi incaran penguasa. Wiji Thukul adalah gangguan yang merusak kepongahan dan kekejian Orde Baru.
Padahal, sebelum getol menulis puisi-puisi menghadapi kekuasaan, Wiji Thukul mengedarkan puisi-puisinya melalui majalah-majalah yang terbit di Jakarta. Ia sudah paham bobrok negara tapi memilih mempersembakan puisi yang diharapkan dibaca kaum remaja atau kaum muda. Ia mengirimkan puisi-puisinya ke majalah Hai. Beberapa berhasil dimuat dalam majalah Hai, 17-23 September 1985.
Pada masa 1980-an, yang “berkuasa” dalam puisi di Indonesia adalah Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Abdul Hadi WM, Yudhistira ANM Massardi, Linus Suryadi AG, Zawawi Imron, dan lain-lain, Mereka sudah lama bersastra dan menerbitkan buku-buku, selain para pembaca mengetahui tulisan-tulisan mereka di puluhan majalah dan koran. Wiji Thukul, nama yang belum diperhitungkan atau mendapat perhatian besar. Namun, Wiji Thukul terus memberikan puisi-puisinya, yang dimuat dalam majalah atau dibacakan dalam peristiwa seni atau kebudayaan di pelbagai kota.
Jejak yang tak boleh dilupakan adalah Wiji Thukul bergerak dalam sastra bersama majalah Hai. Yang ingat silam mengetahui majalah itu sering memuat cerita pendek dan cerita bersambung yang akhirnyta terbit menjadi buku oleh Gramedia. Persekongkolan sastra yang menghasilkan laris. Para remaja di Indonesia terbukti pernah ketagihan membaca majalah dan buku.
Siapa yang ingat membaca beberapa puisi Wiji Thukul? Padahal, Hai sangat berpengaruh di kalangan remaja. Kita mengandaikan ada sedikit orang yang menyukai puisi-puisi gubahan Wiji Thukul. Apakah ada yang membuat kliping atau menyimpannya untuk terbaca lagi pada tahun-tahun tragis sebelum Soeharto lengser?
Puisi lama itu dijuduli “Pasar Malam”. Puisi yang lolos dari kemarahan penguasa. Wiji Thukul sudah menggunakan diksi-diksi yang “keras” untuk hal-hal yang pantas diomeli. Kita membaca saat Mei belum berakhir. Mei yang semrawut oleh berita-berita di Jakarta.
Yang ditulis Wiji Thukul: belilah senapan sungguhan ini/ agar tampak seperti tak kalah/ ditembak sang waktu/ yang tepat di kening sunyimu/ belilah topeng-topeng ragam itu/ pilih yang klop tapi cocok/ agar tak tampak kalau kita menangis. Pada masa yang berbeda, “senapan” dalam puisi itu membenarkan keberanian Wiji Thukul menggugat keangkuhan militer di Indonesia. Beberapa puisi Wiji Thukul dialamatkan kepada pihak militer, yang membuat para pembacanya tertular keberanian mengoreksi lakon Orde Baru.
Namun, puisi yang tersaji tahun 1985 belum gamblang melawan pemerintah atau militer. Ada keinginan berfilsafat atau memberi renungan kehidupan. Wiji Thukul melanjutkan: belilah pupur awet muda ini, tuan/ hari telah larut malam/ mungkin besok kita tak ketemu lagi/ bukankah waktu terus laju ke depan, tuan/ bukankah kita menuju kerentaa, tuan. Puisi yang mungkin hanya tercetak di majalah Hai.
Kita harus mengecek ketiadaan atau keberadaan puisi “Pasar Malam” dalam buku-buku Wiji Thukul terbitan Indonesia Tera dan Gramedia Pustaka Utama, tak lupa buku kecil yang pernah menjadi sisipan dalam majalah Tempo. Yang penting adalah kita mengingat ada hubungan Wiji Thukul dan Hai. Orang-orang yang mengaku menghidupi sastra masa sekarang mungkin tidak pernah mengetahui dan melihat lembaran kertas yang memuat puisi gubahan Wiji Thukul. Puisi yang menghampiri kaum remaja masa 1980-an.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<







