KURUNGBUKA.com – Selama kita belajar di sekolah atau universitas, nama-nama yang biasa dikenal dalam jagat politk, industri hiburan, dan olahraga. Daftar nama bisa terus panjang jika kita mengikuti perkembangan sekaligus menjadi penggemar. Ada yang mengaku menjadi pemuja.

Yang mengingat nama-nama pengarang berarti murid atau mahasiswa yang “bermasalah”. Bagaimana ia memilih membaca buku dan mengingat nama-nama yang telah memberi cerita, yang berpengaruh dalam hidupnya atau ikut memberi mutu waktu senggangnya? Ia tetap saja mendengarkan musik dan menonton film. Hiburan yang membuatnya tidak mampus tiba-tiba atau merencanakan bunuh diri yang paling konyol. Maka, yang menjadikan dirinya pembaca buku-buku berupaya membentuk hidup yang agak bermutu dan menunda kesia-siaan.

Maka, yang membaca itu ingat nama pengarang, tidak selalu penyanyi, pemain film, atau pemain balbalan. Di Indonesia, nama yang lumayan terkenal adalah Sutan Takdir Alisjahbana. Bagi yang mulut dan lidahnya mudah lelah, menyebutkan STA. Pada masa yang berbeda, kita bisa menggunakan singkatan untuk pengarang yang terkenal: Sunlie Thomas Alexander.

Apa-apa yang membuat kita mengingat STA? Jawaban yang muncul: Layar Terkembang, Pujangga Baru, polemik kebudayaan, atau tata bahasa (Indonesia). Berapa jumlah pembaca novel berjudul Layar Terkembang? Jumlahnya ditentukan oleh penugasan di sekolah dan universitas. Kita menduga jarang yang sengaja menginginkan membaca novel gubahan STA. Judul novel itu kadang muncul dalam soal ujian di sekolah.

Bagi orang-orang yang serius, STA itu sosok yang mendirikan dan menggerakkan Pujangga Baru. Artinya, ia sangat berjasa dalam kemajuan sastra di Indonesia. STA itu polemik. Konon, STA sejak remaja atau muda adalah penulis yang berani berpendapat dan berselisih. Ia tentu ingin menjadi pemenang, bukan pihak yang kalah dan bodoh. Maka, setiap kita mengingat situasi pemikiran masa 1930-an, kita ingat STA dengan rentetan polemik (kebudayaan).

Pada abad XXI, kita merindukan STA. Siapa yang rajin membuat tulisan dan tanpa lelah rajin berpolemik? Yang terjadi adalah polemik-polemik ganas dan tidak bermutu di meda sosial. Polemik yang memuat makian dan guyonan parah. Apakah kita masih bakal mendapat polemik berupa seratus tulisan? Jika sulit mendingan empat tulisan saja.

Yang patut diingat dari STA adalah penerbitan buku. Ia adalah pengarang yang merangkap banyak predikat. Pendirian penerbit dinamakan Pustaka Rakyat adalah bukti kesadarannya memajukan sastra Indonesia. Pada mulanya, ada sebutan “kebangsaan” dalam penerbitannya. Namun, yang mudah teringat Pustaka Rakyat. Yang iri bisa menuduhnya mencari untung melalui penerbit. Yang sadar arus sejarah sastra Indonesia, menyadari penerbit itu membuat kita menikmati buku-buku Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Armijn Pane.

STA tampak hanya memilih menerbitkan buku bermutu. Selera sastranya tidak main-main. Namun, yang sering diterbitkan buku-bukunya sendiri. Sejak dulu, ia menulis masalah bahasa, sastra, kebudayaan, antropologi, filsafat, dan lain-lain. Jadi, lumrah saja STA membuat penerbit dan menerbitkan buku-bukunya.

Kita mengetahuinya di majalah Femina, 26 Agustus 1980. Iklan yang ditayangkan dari Dian Rakyat. Kita wajib mengumumkan dulu bahwa Dian Rakyat itu lanjutan dari penerbit yang dulu bermama Pustaka Rakyat. Yang mengelola keluarganya. Beberapa buku STA yang diterbitkan atau cetak ulang: Lagu Pemacu Ombak dan Tebaran Mega.

Kita menemukan penerbitan dua buku puisi Amir: Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi. Sekarang, siapa masih mau menerbitkan buku-buku Amir Hamzah. Puisi-puisinya sulit terbaca dan terpahami oleh pembaca baru dalam sastra Indonesia. Yang sudah kita sebut sebelumnya, terbitan terpenting adalah novel Armijn Pane yang berjudul Belenggu. Novel yang banyak mendapat tanggapan, tidak semuanya memuji dan menetapkannya sebagai novel terbaik di Indonesia.

Yang tidak terlupa. Dian Rakyat menerbitkan buku Sitor Situmorang. Dulu, pengarang itu sempat kesulitan dalam gerak sastra setelah malapetaka 1965. Terbitnya buku puisi berjudul Surat Kertas Hijau di Dian Rakyat membuktikan bahwa ia pengarang yang besar dari masa revolusi, yang tidak tamat meski pernah dalam gegeran politik dan sastra masa 1960-an.

Sekali lagi, kita mengingat STA adalah penerbit. Peran yang membuatnya bisa mengenalkan buku-buku bermutu dan membesarkan para pengarang. STA menjadi manusia yang berani dalam kesusastraan, tidak cuma menghasilkan tulisan-tulisan. Tanggung jawab memajukan sastra dengan menjadi penerbit itu jarang yang menjanjikan untung besar. STA menjadi panutan bagi para pengarang yang mau repot dan bertambah lelah. Jadilah penerbit!

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<