KURUNGBUKA.com – Pada masa 1960-an, Sitor Situmorang pernah diisukan menjadi menteri kebudayaan. Ia suka koar-koar dan membuat tulisan panas dalam gejolak politik, sastra, dan kebudayaan di Indonesia. Di kancah rumit, Sitor Situmorang adalah pengagum Soekarno.

Sejak masa 1950-an, Sitor Situmorang sudah tenar dengan puisi, cerita pendek, esai, dan drama. Ia manusia tangguh yang dimiliki sastra Indonesia. Ketangguhan berlanjut dalam politik-sastra. Sitor Situmorang memiliki keberanian dalam bersikap dan sadar risiko. Apakah itu pengaruh dari tanah asal atau pergaulan di Jogjakarta dan Jakarta?

1965, tahun yang menentukan. Sitor Situmorang dalam malapetaka. Ia mendapat nasib tak untung. Yang terjadi adalah saling tuding menentukan yang salah dan pemberian hukuaman. Di sekolah, kita biasa belajar 1965 itu memakai diksi “pemberontakan”. Kita dibuat selalu ingat PKI. 1965 juga perkara sastra. Para murid dan mahasiswa yang belajar jarang mendapat penjelasan tentang sastra dan malapetaka 1965. Di situ, ada Sitor Sumorang. Namun, orang-orang yang mengamati sastra melulu ingat Pramoedya Ananta Toer.

Pada masa Orde Baru, nasib dan dan peran Sitor Situmorang dalam bimbang akibat ingatan politik dan dampai sengketa sastra merujuk 1960-an. Orang-orang masih membaca dan mengagumi teks-teks sastra Sitor Situmorang. Pengarang tanggung itu justru memilih berkelana di pelbagai negara sambil terus menggubah puisi. Ia tetap tokoh besar dalam sastra tapi membuat biografi “istimewa” setelah 1965.

Di majalah Tempo, 16 Januari 1993, kita membaca liputan sastra. Tokoh utamanya adalah Sitor Situmorang. Yang ditulis di majalah: “Ini merupakan acara istimewa. Inilah untuk pertama kalinya Sitor Situmorang – yang progresif revolusioner di tahun 1960-an begitu galak mengganyang sesama seniman yang kontrarevolusi – kembali ke Tanah Air dan tampi di depan umum. Dan, rekan-rekannya menerimanya kembali dengan tangan terbuka.” Lama ia berkelana. Pulang ke Indonesia, Sitor Situmorang tetap manusia sastra. Acara diadakan Sanggar Bengkel Teater (Rendra).

Selama tidak di Indonesia, ia menulis banyak puisi. Beberapa tetap mengisahkan Indonesia meski ia berada di Eropa atau negara-negara lain. Di sastra Indonesia, ia mungkin yang unggul dalam melakukan pengembaraan jauh. Konon, puisi-puisinya tidak sebagus yang masa 1950-an dan 1960-an. Jadi, pulang membawa puisi tidak dijamin dapat pujisan. Di Tempo, yang tertulis: “tidak bisa dikatakan bagus”.

Umur bertambah dan zaman berubah, Sitor Situmorang mungkin sadar terjadi penurunan dalam misi sastranya. Namun, ia tetap berada di jalan sastra dengan beragam kritik dan penyesalan. Kita mengikuti pendapat yang dicantumkan dalam majalah: “Tidak seperti halnya para penyair besar di luar negeri yang semakin matang dalam tempaan penderitaan, Sitor Situmorang tidaklah demikian. Pasang-surut waktu dan usia, juga nasib buruk, meskipun tidak mampu menahan produktivitasnya, telah menggoyahkan sendi-sendi puitik sajak-sajaknya.” Artinya, Sitor Situmorang yang tua dalam babak setelah malapetaka 1965 sulit untuk memberi puisi-puisi yang terbaik. Ia masa lalu saja.

Di Indonesia masa Orde Baru, Sitor Situmorang tetap mendapatkan pembaca dan penggemar. Kita dapat membuktikannya dengan membaca tulisan-tulisan JJ Rizal. Sejarawan tapi gandrung sastra itu serius dalam membuat riset mengenai Sitor Situmorang. Ia melalui penerbit Kobam malah berani membuat buku tebal banget, yang maksudnya memuat semua puisi Sitor Situmorang, dari masa ke masa. Kobam menjadi penerbit yang rajin menyuguhkan buku-buku Sitor Situmorang kepada para pembaca.

Sitor Situmorang tetap pemberi bobot sejarah dan perkembangan sastra di Indonesia. Kita kembali mengutip liputan: “Mengapa penyair ini yang seharusnya semakin besar dan matang karena derita di penjara justru merosot? Hal itu barangkali lantaran sikapnya yang ‘banting setir’ di tahun 1960-an: dari seniman dan pemikir kebudayaan menjadi politikus (yang langsung terjun dalam kancah politik praktis) dan otomatis juga perubahan sikap keseniannya. Gara-gara kudeta G-30S-PKI, Sitor Situmorang ditangkap pada tahun 1967 dan mendekam di LP Salemba, Jakarta, selama delapan tahun.”

Kita boleh percaya atau meragukan pendapat yang dimuat dalam Tempo. Sitor Situmorang masih tangguh meski mendapat seribu kritik dan kecaman. Ia tampil berwibawa. Di kesusastraan 1990-an, kehadirannya memberi dampak besar untuk menengok ulang sejarah dan mencermati biografi kadang dinyatakan tidak lengkap dan menghilangkan bab-bab yang rawan.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<