KURUNGBUKA.com – Pada masa 1980-an, orang-orang membaca majalah yang bikin lapar. Maksudnya, majalah itu berisi makanan dan minuman. Yang disajikan tidak hanya bumbu dan cara memasak. Banyak masalah mengenai kuliner atau gastronomi yang membuat pembaca ngiler. Majalah itu bernama Selera. Yang pernah menjadi pembaca Selera mengetahui keistimewaan halaman-halamannya. Majalah yang berslogan “Budaya dalam Gizi dan Rasa”.

Dulu, majalah itu bacaan kelas menengah-atas. Tampilannya mewah. Foto-foto berwarna. Rubrik-rubriknya menimbulkan ketagihan. Pokoknya, majalah itu menambahi pengetahuan mengenai makanan dan minuman. Di beberapa halaman, ada imbuhan-imbuhan yang membuat pembaca terhibur, bernostalgia, dan berkhayal.

Selera, majalah yang turut memajukan sastra. Bagaimana majalah itu berurusan dengan sastra? Pihak redaksi memberikan beberapa halaman untuk adanya cerita pendek yang bertema kuliner. Apakah majalah itu pernah digunakan sebagai sumber dalam penelitian sastra? Kita menduga hanya sedikit orang yang memberi perhatian bahwa sastra ikut memberi bobot atau mutu majalah yang berpihak lidah.

Yang ditampilkan memang cerita-cerita yang berkaitan dengan misi majalah. Pembaca paham bila cerita ikut mengajak perayaan imajinasi, yang membedakan dengan berita dan artikel. Di majalah Selera, kita bisa menemukan cerita yang digubah oleh pengarang-pengarang terkenal di Indonesia, selain ada yang terjemahan dan saduran dari teks sastra asing.

Selera edisi April 1982 memuat cerita yang ditulis Aryanti berjudul Ulek-Ulek Warisan. Para pembaca majalah-majalah wanita, terutama Femina, mengenal pengarang yang telah menghasilkan beberapa buku. Ia memang pengarang terkenal sekaligus pejabat pada masa Orde Baru. Ia bekerja sebagai dirjen di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang bernama lengkap Haryati Soebadio. Di kalangan intelektual, ia tekun dalam filologi.

Di kesusastraan, ia menggunakan nama Aryanti. Di majalah Selera, ia memberi cerita mengenai benda yang akhirnya menjadi kuno dan nostalgia saja. Ia mengisahkan cobek dan ulek-ulek, yang biasanya ada di dapur. Benda itu dianggap tradisional. Namun, benda itu mulai tampak lagi di rumah makan atau restorang yang “menjual” suasana dan selera “tempo doeloe”.

Kita menyimak percakapan mertua dan menantu. Semula, menantu itu mendapat ejekan dari suaminya: bukan sebagai perempuan yang mahir memasak. Malu dan sedih melanda. Mertuanya yang pandai memasak paham perasaan menantu dan memberi nasihat secara enteng: “Nin, saya dahulu sama sekali tidak bisa masak… Di damping itu, Nin, suami zaman dahulu bukan melucu, tapi marah kalau tidak diladeni suaminya.” Tugas istri memang berat di rumah. Tanggung jawab atas makanan pun sering menimbulkan masalah dan marah.

Akhirnya, mertua bercerita tentang cobek dan ulek-ulek. Benda yang diwariskan turun-temurun. Benda yang memberi kehormatan pada wanita saat berada di dapur. Wanita yang mampu membuat masakan yang lezat, yang ikut menentukan kualitas kebahagiaan dalam keluarga. Yang berhasil membuat masakan lezat pun bisa menghasilkan uang bila menjualnya. Benda yang ikut menentukan tambahan nafkah.

Nina bingung dengan benda yang diberikan mertuanya. Apakah ia belum pernah menggunakan atau takut gara-gara sadar tidak punya keterampilan memasak. Di rumah, ia memiliki pembantu yang bisa membuat masakan-masakan enak. Nina tidak harus repot di dapur.

Nasib berubah dan benda lama menjadi bermakan. Pembaca tidak usah protes dengan alur cerita. Aryanti hanya menulis cerita pendek, tidak harus bertele-tele dalam menonjolkan cobek dan ulek-ulek. Pembantu itu pulang kampung, tidak pernah kembali. Nina terpaksa berbelanja ke pasar dan memasak. Ia bingung dan membutuhkan bantuan-bantuan.

Pada suatu hari, datanglah nenek tua yang berkebaya. Ia bertamu tapi mengaku sebagai pembantu pengganti. Maka, Nina mendapat kejutan dengan hadirnya nenek yang pintar memasa. Nina pun diajari cara membuat bumbu dan sambal. Cobek dan ulek-ulek itu digunakan dengan ketulusan. Lima hari berlalu, Nina terbukti mulai pintar memasak. Nenek itu pergi, tidak pernah kembali lagi. Misterius.

Cerita yang sederhan tapi cukup menghibur pembaca. Nina menyadari tradisi dalam keluarga suaminya. Benda itu ajaib. Benda banyak cerita. Di bagian akhir, Aryanti menceritakan: “Ulek-ulek bersama cobeknya selanjutnya disimpan saja oleh Nina. Ia tidak pernah menggunakannya lagi. Tanpa bantuan ulek-ulek, ia sudah cukup mahir membuat segala macam sambal atau bumbu yang diperlukannya. Lagipula, barang warisan yang berkekuatan khas seperti itu sebaiknya jangan dipakai, nasti rusak, cemar.” Selera, majalah yang sepantasnya dihargai dalam perkembangan sastra di Indonesia, yang rutin menghadirkan sastra mazhab kuliner.

*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<