KURUNGBUKA.com – Yang dimengerti cuma sedikit. Kita jarang memikirkan rumitnya membedakan anak kandung dengan anak angkat. Ada yang menyebut anak pungut. Semestinya, yang terpenting memikirkan “anak”. Namun, perbedaan-perbedaan membuat orang-orang ribut dengan setoran argumentasi yang menggebu dan minta dipercaya.

Anak pungut itu namanya Anne. Berpindahlah dirinya dari panti asuhan ke rumah di perdesaan yang elok. Si bocah hidup bersama suami-istri yang menua. Kehadirannya di rumah sudah menimbulkan senewen. Yang dikatakan Anne kepada lelaki tua santun, yang berperan sebagai bapaknya: “Aku merasa lega jika bisa berbicara karena seseorang menginginkannya, bukannya diceramahi bahwa anak-anak seharusnya cukup dilihat saja, tidak boleh didengar. Aku mendengar kalimat itu berjuta-juta kali dikatakan kepadaku.”

Bocah yang bosan dan tersiksa oleh ceramah-ceramah kaum dewasa. Ia makhluk yang bermulut, bukan hanya makhluk bertelinga. Bocah yang merasa mendapat “sampah kata” di telinganya. Padahal, Anne suka bicara, mahir mengucap kata-kata. Namun, orang lain gampang menuduhnya cerewet atau omong kosong.”

Anne, tidak mau hancur hidupnya dengan jutaan kata tak bermutu. Ia merasa menjadi makhluk yang istimewa: “Dan orang-orang menertawakanku karena aku menggunakan kata-kata canggih. Tapi, jika memiliki ide yang canggih, kita harus menggunakan kata-kata canggih untuk mengungkapkannya.”

Di cerita, Anne itu yatim piatu, Namun, ia bukan bocah yang “yatim piatu” dalam bahasa dan gagasan. Pengakuan yang kita peroleh dalam novel berjudul Anne of Green Gables (2014) gubahan Lucy M Montgomery.

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<