Beberapa pasang mata memelototiku, beberapa yang lain memelototiku sambil menunjuk-nunjuk. Aku terpojok, tubuhku terbaring menatap ilalang yang menembus langit. Tanpa sehelai benang, di pinggangku tas merah membungkusku. Syukurnya masih tertutupi. Apa yang seharusnya tidak dilihat orang menjadi tak terlihat. Aku tak menangis karena nasibku, sungguh.
Melihat aku tak berkutik, ada hawa cemas dari mereka. Sementara yang membuatku datang kedunia ini hanya menganggapku sebagai teman tidur yang hari ini akan berbeda dengan hari esok. Esoknya aku adalah hasil ulangan yang memuakkan jika diulang-ulang lagi.
“Aku pura-pura tidur saja,” kataku dalam hati.
Memang tidak mudah menyatukan dua insan. Walaupun sebenarnya sudah sama-sama mengenal sangat baik, masih ada penghalang yang bermunculan. Begitupun aku dan ibuku.
“Apa susahnya sih kamu mengiyakan semua ucapanku?” Begitu kata seorang laki-laki kepada ibuku.
Ibuku yang keras kepala, surga di telapak kakinya. Aku tak akan pernah melihat telapak kaki itu lagi karena ia telah meninggalkanku.
Hujan yang melanda, aliran air dalam kerongkonganku sudah kering. Di tengah suasana yang tenang, aku ingin mencicipi segarnya air Batanghari.
Bukan perkara uang yang membuat Kulup meninggalkan Halimah, kepalanya dihinggapi perasaan cemas karena hasil bumi yang selama ini ia tunggu dan idam-idamkan terendam banjir, berbeda dengan di Jawa. Di sini, ia akan selalu menikmati ikan-ikan di sungai yang segar. Perasaan berjaga-jaga yang selalu terpelihara, tidak akan ada satu orangpun yang berani mengikatnya.
Dari hulu, ketek yang ia tumpangi sudah menepi di pasir yang berlimpah. Di bawah pohon kelapa. Aku, sampai saat ini, belum paham letak tempat yang tepat untuk wanita menyembah. Apakah kepada pekerjaannya, orang yang membuatnya hidup, atau kepada Tuhannya saja.
“Lalu siapa yang paling mencintai?” tanya anakku mengagetkan lamunanku.
“Maksudmu?” tanyaku.
“Iya tentang menjadi guru yang menegur muridnya, kemudian dibalas dengan pembangkangan itu?”
“Entahlah, selama aku sekolah dulu, aku tidak pernah sekejam itu dengan guru.”
Mungkin jika saja aku tidak ketakutan, mengejar karir sebagai dosen, sepertinya akan lebih indah,” pikirku.
***
Bak pinang dibelah dua, paman belah perempuan ibuku, punya wewenang lebih tinggi. Gosip, moral, nasihat, dan keagamaan tertanam pada jiwa dan raganya. Saudara laki-laki pihak ibu yang bertanggung jawab untuk membimbing hidup keponakannya itu bernama Wo Kasim. Wo Kasim pemuja sungai. Jika perasaannya tak enak dan selalu ingin marah, sungai akan memangsa orang-orang yang akan menikah.
Lima orang anggota keluarga, mereka berstatus kakak-adik, peliknya, dahulu kala mereka selalu dipenuhi kasus yakni membuntingi diri sendiri, dipenjara berkali-kali, membacok orang dengan cutter di pom bensin, membuntingi kemudian kabur dan menikah dengan orang lain, dan meninggalkan keluarga untuk pergi ke kampung halaman. Beberapa kasus diemban oleh satu orang.
Asal muasal si Putera terbilang orang baik, karena ia tidak pernah melakukan hal yang mencurigakan apalagi merugikan orang lain dan diri sendiri. Rencananya, ia akan menikah di kawasan Tebo. Kehadirannya di tepian sungai, mencurigakan. Beberapa orang harus melakukan pemeriksaan padanya. Namun, ketika melihat air Batanghari surut, tak ayal, itu adalah sebuah kecelakaan.
Dahulu kala ada palung di Batanghari. Definisi, gejala, sebab, dan cara mengatasinya hanya orang dahulu kalalah yang tahu. Teknologi yang belum sepenuhnya ada di Kabupaten Tebo bukanlah penghalang apalagi menghasilkan masalah. Bentuk dan tempat kejadian lumrah memakan korban.
“Namanya dibawa air, siapa yang bisa menebak apa yang terjadi?” seseorang berkata demikian kemudian menghilang.
***
Sebelum menikah, statusku sudah janda. Andaikan aku diberi pilihan pindah ke rumah mertua atau terikat adat dan orang tua, aku tetap memilih hidup di desa kecil bersama ibu.
“Kita harus prihatin, Nak. Jangan pernah lebih dari orang lain. Itu tidak baik.” Kata ibu di ujung hayatnya.
Tanah kami yang diambil trans Jawa, mengingatkanku pada cerita di masa silam. Saudari saya dan suaminya mula-mula adalah orang penting di desa yang jauh di sana, Dedi namanya. Perasaan yang tak tertahan dan kepribadian yang meniru ala barat. Menjadikan saudariku bidan desa.
Ketika ia dikatakan hamil anak kedua oleh dokter, anak kembarnya meninggal satu, satunya ia lahirkan pantatnya dahulu, pinggangnya patah-patah. Ulahnya yang terlalu berani melahirkan sendiri padahal jadwal operasi secarnya masih pukul tujuh pagi. Ia bidan desa yang terlalu berani.
***
Senja telah dekat, matahari yang terbenam dan warna jingga yang temaram, magrib berkumandang. Kenangan masa kecilku menguak kembali, terlebih saat aku bertanya pada diri, aku milik siapa?
Laksana tanah yang basah, sudah hampir dua minggu aku mengorek-ngorek diri. Semakin kuat tubuh ini, semakin banyak berkata bibir ini.
Dari kecil, aku tidak boleh berpikir terlalu jauh, apalagi bertanya ini dan itu. Namun, jika hendak berkelana, berkelana yang harus ada sanak saudara, walaupun sebenarnya mereka tidak peduli. Setidak-tidaknya saat perlu bantuan, mereka tidak akan berpikir dua kali untuk membantu.
“Dia sudah saya anggap seperti anak sendiri.” Kata Bude Ari.
“Tidak ada orang lain yang benar-benar menganggap anak orang lain seperti anaknya sendiri. Keluarga saja tidak bisa begitu, apalagi orang lain,” jelas ibuku kemudian.
Begitulah di usia muda, orang-orang menganggap dirinya keren dengan hanya membantu orang lain sekali saja.
***
Dahulu rumah Tuhan adalah tempat istirahat paling aman sekaligus memuaskan. Pasalnya, nikmat apalagi yang dapat melebihi nikmat menyatu dengan Sang Pencipta, bermunajat kepadaNya. Sayangnya, kebebasan itu sudah direnggut oleh sebagaian orang yang kurasa tidak memahami kami, termasuk tidak mengenal seluk-beluk keinginan kami yang kecil, yaitu mampu beribadah di masjid mana saja.
Jangankan mukena, masker yang tidak seberapa harganya saja tidak akan mampu kami beli. Uang 25 ribu rupiah yang dapat kukumpulkan tiap hari hanya mampu membeli satu liter beras untuk beberapa kali makan. Anakku masih berusia enam tahun, tumbuh kembangnya harus dipenuhi bagaimanapun keadaan orang tuanya.
Mukenaku adalah sumbangan warga pada lebaran Idul Fitri lima tahun lalu. Bagaimanpun juga, aku sudah malu dengan bentuknya, yang rasanya tidak mampu kubawa ke rumah Tuhan Yang Agung. Sudah banyak tambalan di sana sini. Kalaupun kubawa mukena itu, hanya akan membuat aibku makin lebar dan menambah dosa orang-orang yang menggunjingku, terlebih lagi mereka akan kasihan kepadaku. Jujur, aku tidak suka dikasihani. Bukan karena aku sombong, hanya tidak enak hati jika merepotkan.
***
Setelah matahari meninggi dan azan sudah berkumandang, kulangkahkan kaki menuju masjid. Aku akan bersyukur padaNya karena rezeki yang telah ia berikan hari ini. Apalagi aku rindu dengan ramah tamah ibu-ibu masjid yang juga ikut kuciumi tangannya seolah meminta restu dengan ibu sendiri.
Aku memang biasa menumpang sembahyang dimana saja karena memudahkanku berjualan bakwan kawi. Maklum, akhir-akhir ini dagangan sangat sepi. Keuangan yang tidak mencukupi lebaran Idulftri tahun lalu membuatku semakin gelisah. Berpikir untuk pulang kampung saja sudah membuatku malu. Namun, aku sangat merindukan sejuknya pemandangan sungai Batanghari yang ditemani pasir itu.
Tiba-tiba air mataku menetes. Dari berbagai sisi aku malu bertemu pedagang lain yang laris manis. Meski aku juga wanita, posisiku sebagai anak sulung di keluarga disiplin rendah tidak membuatku putus semangat.
*) Image by istockphoto.com
disiplin rendah — paragraf terakhir
Beberapa kasus diemban oleh satu orang — eheemm
Jangan pernah lebih dari orang lain — he’eh
Begitulah di usia muda, orang-orang menganggap dirinya keren dengan hanya membantu orang lain sekali saja — 🫡