Pagi itu, saat matahari masih remang di balik Bukit Tempong, orang-orang berhamburan keluar rumah, dikekang rasa panik dan takut disertai teriakan minta tolong. Tapi sia-sia, teriakan mereka seperti tak ada yang mendengar. Satu per satu rumah mereka rata tertimbun tanah.

Batu-batu besar bergelindingan dari atas bukit. Pohon-pohon tumbang. Sementara di bawah sana, orang-orang berteriak histeris saat suara gemuruh menderu kencang. Peristiwa itu menelan banyak korban, termasuk ternak dan benda-benda berharga.

Tak ada satu pun barang berharga yang berhasil diselamatkan. Hanya pakaian yang melekat di tubuh mereka yang menjadi saksi bisu atas peristiwa mengerikan itu. Rasa takut semakin mencekam. Sekalipun air mata mereka tumpah, namun tak mampu meluruhkan kesedihan dan penyesalan di dadanya.

“Cepat lari. Cepat! tak usah menoleh ke belakang,” Zaini luntang-lantung mengimbangi langkahnya di atas tanah yang seakan bergerak-gerak.

Kekhawatiran Zaini kini benar-benar terjadi. Tempat ia pertama kali menangis setelah keluar dari rahim seorang ibu kini hancur tanpa sisa. Batu-batu besar mengempas tanah. Retakan-retakan kecil di dinding beton kian membesar seperti ada tangan kekar yang meremasnya. Penyesalan yang selama ini menggumpal dalam dadanya benar-benar tumpah, di sela-sela orang yang isak dengan tangisnya.

Berpasangan-pasang kaki menjejaki jalan setapak di ujung desa. Di antara mereka terdengar cakap-cakap tak sedap, satu sama lain menyalahkan bahkan ada yang mengumpat dengan gigi bergemeretak—sekali pun rasa takut masih menyelimuti dadanya.

“Bajingan! Ini semua ulah keparat itu,” ucap salah seorang di antara mereka dengan langkah terbirit-birit.

Sebelum peristiwa ini terjadi, semula Desa Toteker dikenal sebagai desa yang menjunjung kelestarian lingkungan. Warganya pun demikian hidup tenteram, sejahtera, dan berkecukupan. Hasil alam menyediakan segala macam kebutuhan yang sebagian besar warganya bergantung pada hasil tani.

Tak hanya itu, Desa Toteker juga terkenal dengan eksotis pemandangannya yang indah. Tak heran jika setiap sore orang berbondong-bondong menuju Bukit Tempong yang terletak di jantung desa. Mereka memburu momen surupnya matahari yang membuat komposisi keindahan alam Toteker dari atas ketinggian kian sempurna.

Dari atas bukit lampu-lampu berkedap-kedip. Sementara warna jingga di ufuk barat menyihir berpasang-pasang bola mata kala matahari tenggelam. Pantas saja jika muda-mudi rela menunggu lama demi mengabadikan momen indah itu.

Awal mula sumbu peristiwa ini disulut oleh Sujibto, pengusaha sukses di desa itu. Ia bertekad membangun tempat wisata di atas bukit untuk memperbanyak koin di kantong celananya. Berbagai upaya ia genjot, termasuk berbagai macam administrasi telah diajukan ke aparat desa dan dengan mulus mendapat izin dari Dinas Pariwisata karena didorong alasan untuk membantu perekonomian masyarakat serta mengangkat nama Desa Toteker.

Tak butuh waktu lama, alat-alat berat setiap jengkal mulai mengeruk kaki bukit. Perlahan merayap ke atas menumbangkan pohon-pohon dan menggulingkan batu-batu yang menjadi fondasi Bukit Tempong. Alat berat itu tanpa ampun melibas apa saja yang ada di depannya. Dengan gagahnya mencongkel lapisan bukit di atas ketinggian.

Pertentangan pun tak terelakkan. Banyak warga dan tokoh masyarakat yang protes, sebab pembangunan itu akan mengorbankan makam keramat yang telah lama bersemayam di atas sana untuk dipindah ke TPU yang berada di ujung kampung. Haji Subhan, salah satu tokoh masyarakat menolak keras awal rencana pembangunan wisata tersebut. Tetapi apalah daya, segepok uang pelicin rupanya meluruhkan kebijakan kepala desa dan perizinan sepihak diputus untuk proyek pembangunan tanpa melibatkan mufakat.

Sepanjang hari orang-orang setempat rela menjadi benteng untuk mengamankan makam keramat itu dan berharap dapat menggugurkan niat Sujibto. Gerakan itu dimotori oleh Haji Subhan karena dia tokoh yang mampu menggerakkan masyarakat. Tak terkecuali Zaini, ia juga berperan membantu Haji Subhan setiap menyampaikan aspirasinya kepada kepala desa dan Sujibto.

Warga Desa Toteker percaya dua makam di atas itu merupakan leluhur desa tersebut. Banyak kejadian-kejadian di luar nalar terjadi ketika ada orang yang ingin memindahkan apalagi sampai merusak makam itu. Satu tahun yang lalu, saat salah satu warga hendak menebang pohon jati di dekat makam itu, tiba-tiba gergaji mesin yang digunakan patah seketika. Tak lama kemudian bekas goresan di pohon itu keluar darah.

Tak kalah menggemparkan warga, beberapa bulan lalu mesin buldoser milik salah satu perusahaan yang digunakan untuk menambang bukit mati secara tiba-tiba. Hingga kini mesin itu terbengkalai tanpa diketahui penyebabnya. Tinggal seonggok besi tua yang mulai karat dan dijalari rumput liar, bangunan tenda untuk penambang terlihat lapuk dan kepastian penambangan tak ada kejelasan. Seputar kejadian itu menggenapkan keyakinan warga bahwa makam tersebut adalah keramat, tak boleh diganggu.

Ditengah upaya warga yang semakin kuat, rupanya satu per satu orang yang menghalangi Sujibto hilang secara misterius. Sekalipun ditemukan pasti dalam keadaan tidak bernyawa, termasuk Haji Subhan—tokoh masyarakat di desa itu ditemukan tergeletak dengan bekas luka yang mengalir darah dari perutnya. Meski banyak warga yang mengadu, tak satu pun mendapat respons dari aparat. Tidak ada tindakan untuk menghentikan proyek pembangunan itu.

Tiga hari sebelum kematian Haji Subhan, ia didatangi Sujibto dan anak buahnya. Mereka membujuk untuk mengajak bergabung dan menyetujui proyek pembangunan wisata itu. Tak tanggung-tanggung uang tunai puluhan juta rupiah diberikan Sujibto untuk melancarkan aksinya.

Tetapi Haji Subhan menolak dan kembali menutup amplop cokelat itu dengan halus. “Maaf, saya tidak akan bergabung dengan proyek itu.”

“Apa susahnya menerima uang ini? Kalau masih kurang besok akan saya tambah.”

“Tidak. Ini bukan masalah uang, tapi tentang menghormati makam leluhur dan menjaga kelestarian desa kita,” tegas Haji Subhan, menyodorkan kembali uang di atas mejanya ke hadapan Sujibto.

Samar-samar Zaini mendengar pembicaraan mereka di ruang tamu. Sebagai keponakan ia mendukung pernyataan pamannya itu. Sebelum pembicaraan mereka berakhir, dadanya sempat dibuat berdetak kencang saat mendengar ancaman Sujibto kepada pamannya.

“Awas! Tunggu saja…,” gertak Sujibto lalu ia pergi meninggalkan sejuta kecewa.

Berselang dua hari Haji Subhan ditemukan bersimbah darah di kebunnya. Sekujur tubuhnya penuh luka, perutnya robek akibat sayatan benda tajam. Tangis pecah dari istri dan kedua anaknya. Kalimat tauhid mengiring setiap langkah orang-orang yang ikut memakamkan Haji Subhan.

“Apa memang harus berakhir seperti?” Pertanyaan itu timbul di dada Zaini, tangannya bergetar memegang nisan makam pamannya itu.

Selepas kematian Haji Subhan, lambat laun keyakinan masyarakat goyah setelah setiap saat ditawari uang dan dihujani ancaman. Mereka berbondong-bondong ikut membangun toko, tempat sewa kamar mandi umum, dan tempat penginapan di atas Bukit Tempong. Tentu, tidak cuma-cuma Sujibto membuka peluang usaha itu. Mereka harus menyewa dengan harga yang cukup tinggi.

Lambat laun kasak-kusuk mulai terdengar bahwa keberhasilan Sujibto memecahkan misteri di Bukit Tempong tak lepas dari campur tangan kesaktian seorang dukun di desa seberang. Sehingga, dengan bantuannya itu proyek yang dikerjakan berjalan mulus, tanpa dihambat rintangan serius seperti yang dialami oleh perusahaan tambang pada tempo lalu.

Ia membuat pengecualian, bahwa ada satu tempat yang tak boleh didekati warga yaitu pohon beringin yang tumbuh besar dekat ceruk dinding bukit di barat daya. Pada waktu-waktu tertentu, Sujibto rutin menyulut dupa dan menaruh sesajen tepat di atas kepala kerbau yang disemayamkan di tanah itu.

Meski harus merogoh kantong cukup dalam, namun harga itu dibalas setimpal oleh sang dukun. Setiap hari di atas bukit alat-alat berat menyemburkan asap tebal. Seakan ia menunjukkan kegagahannya setalah menumbangkan berpuluh-puluh pohon, tanpa hambatan dan mematahkan mistik Bukit Tempong.

Hampir separuh bukit itu gundul, satu persatu hewan penghuni di Bukit Tempong pergi. Angin sepoi dan udara sejuk tak lagi dirasakan. Hawa panas dan teriknya matahari begitu menyengat, memanggang siapa saja yang melintas di lorong beraspal di atas ketinggian. Lalu setelah hujan turun lebat semalaman, retakan-retakan kecil terlihat seperti menggores beton-beton.

***

Sekelumit peristiwa di atas membuat Zaini sadar bahwa tanah telah menimbun pemukiman. Bukit tak lagi dipasak pohon-pohon, setiap sudut Bukit Tempong dikepung  bangunan berbeton. Sekejap, roboh seketika.

“Longsor… Longsor…,” teriak warga saat tebing gugur untuk yang kedua kalinya.

Zaini tergeragap menyaksiakan orang terbirit-birit menyelamatkan diri. Ia melihat kehancuran, batu-batu seakan menggelinding dari langit.

Madura â€“ Jakarta

*) Image by istockphoto.com