KURUNGBUKA.com – Saya selalu tertarik pada film yang berani menantang batas moral penontonnya, dan tadi malam, saya baru saja menyelesaikan No Other Choice. Ini adalah sebuah karya humor gelap (dark comedy) dari Park Chan-wook, yang diadaptasi dari novel The Ax karya Donald E. Westlake. Ini bukan pertama kalinya materi mencekam ini diangkat ke layar; sebelumnya sudah ada adaptasi film Perancis berjudul Le Couperet (2005). Sejujurnya, versi Park Chan-wook ini meninggalkan saya dengan perasaan campur aduk: sebuah kekaguman atas keberaniannya, sekaligus rasa risih yang sulit dijelaskan.

Kita diajak mengikuti kisah Yoo Man-soo (Lee Byung-hun), seorang pria yang telah mendedikasikan 25 tahun hidupnya di satu perusahaan kertas. Ia adalah potret stabil dari kelas menengah: istri yang suportif (Son Ye-jin), anak-anak, dan rumah yang nyaman. Namun, benteng itu runtuh dalam sekejap. Badai restrukturisasi dan efisiensi—nama halus untuk otomatisasi dan AI—membuatnya terdepak. Ia di-PHK. Di sinilah film ini mulai menusuk. Kita tidak hanya melihat seorang pria kehilangan pekerjaan; kita melihat seorang pria yang kalah telak oleh kapitalisme. Identitas dan harga dirinya sebagai kepala keluarga tercabik-cabik oleh sistem yang tidak lagi memandangnya sebagai manusia, melainkan sekadar angka dalam laporan efisiensi.

Setelah berbulan-bulan terhina oleh penolakan dan dihadapkan pada ancaman kehilangan rumah, Man-soo sampai pada satu titik ekstrem. Ia melamar kerja di satu perusahaan dengan banyak saingan, lalu “tidak ada lagi pilihan” menurutnya selain menyingkirkan mereka satu per satu agar dia bisa dipilih. Film ini sangat berani dalam menampilkan hal-hal ekstrem dan pembunuhan, namun membungkusnya dalam humor gelap yang pekat. Saya harus akui, ada bagian yang lucu, tapi saya merasa sangat canggung dan risih untuk tertawa. Kita sedang menertawakan aksi konyol dan amatir seorang pembunuh debutan yang didorong oleh keputusasaan.

Secara visual, film ini juga memanjakan mata. Sinematografinya bagus, dan saya harus secara khusus menyebut penggunaan superimposed—ketika dua atau lebih gambar ditumpuk satu sama lain dalam satu adegan—yang dieksekusi dengan sungguh memukau. Teknik ini berhasil menambah lapisan psikologis pada kegelisahan dan retaknya nalar Man-soo.

Meskipun begitu, perjalanan saya menontonnya tidaklah mulus. Setelah premis yang mencengkeram di babak awal, saya merasa film ini sedikit kehilangan momentum di babak kedua sampai membuat saya tertidur sebentar. Ada pola pengulangan dalam cara Man-soo mengeksekusi rencananya, dan beberapa alasan untuk karakter pendukung terasa kurang jelas, yang membuat tensi sedikit kendor. Film ini bagus, eksekusinya solid, dan isu yang dibawa sangat relevan. Tapi entah kenapa, saya tidak mendapatkan sensasi “wah” yang membuat kagum berlebih seperti ulasan kebanyakan orang.

Satu hal yang paling menempel di benak saya adalah kesimpulannya yang sinis: karakter utama kita yang jahat itu menang. Dia berhasil lolos, tidak dicurigai, dan mendapatkan apa yang dia inginkan. No Other Choice seolah ingin mengatakan bahwa di dunia yang kita tinggali sekarang, “kewarasan” justru adalah kelemahan. Hampir semua karakternya memang secara mental berbeda dari kebanyakan orang, dan mungkin, hanya “kegilaan” itulah yang dibutuhkan untuk bertahan hidup di rimba persaingan modern yang kejam.

Skor: 8/10