Wajahnya yang garang, tatapan mata yang tajam, brewok lebat, dan rambut panjang yang gimbal karena tak pernah disisir, membuat banyak manusia dan hantu takut padanya. Ya, hantu.
Pekerjaan Mbah Jambrong adalah seorang pemburu hantu profesional. Kepiawaian dalam mengusir hantu telah membuat namanya dikenal banyak orang. Penghasilan Mbah Jambrong dari pekerjaan mengusir hantu bahkan membuatnya lebih kaya dari para karyawan generasi Z yang berkantor di area paling elit ibukota.
Sudah puluhan rumah tua dan gedung terbengkalai yang berhasil ‘dibersihkan’ oleh Mbah Jambrong. Bahkan gedung bertingkat tiga puluh yang sudah menjadi ikon bangunan terangker seprovinsi berhasil dia taklukkan. Anak buahnya berjumlah sepuluh orang, dengan tampilan yang biasa-biasa saja. Hanya Mbah Jambrong yang berpenampilan seram, karena tugas anak buahnya hanya sebagai pelengkap saja, supaya kegiatan berburu hantu mereka terlihat seru.
Malam ini, Mbah Jambrong mengadakan pertemuan bersama anak buahnya. Mereka hendak membicarakan pengusiran hantu dari sebuah rumah tua milik seorang konglomerat yang beberapa asetnya baru saja disita pengadilan karena kasus korupsi. Rumah yang sudah puluhan tahun tak ditinggali itu dikenal angker karena sosok ‘Hantu Sunti’ yang kabarnya sering menampakkan diri di jendela rumah dan menakuti orang-orang yang lewat.
“Bagaimana, Mbah?” tanya Basir, salah satu anak buahnya. “Apakah akan kita lakukan malam ini?”
Mbah Jambrong, duduk bersila di teras rumah yang luas, mengelus-elus jenggot keritingnya. Dahinya berkerut sedikit dengan mata terpejam. Basir dan anak buah lain hanya bisa diam saja saat bos mereka sedang dalam mode berpikir keras seperti itu.
Tak lama kemudian, Mbah Jambrong mengangguk-angguk sendiri tanpa ada yang bertanya. “Hmm. Baiklah, kita lakukan malam ini. Siapkan diri kalian.”
Basir dan yang lainnya segera menegakkan tubuh dengan bersemangat. “Baik, Mbah!” jawab mereka kompak. Malam itu juga, Mbah Jambrong beserta anak buah segera menuju ke lokasi rumah Hantu Sunti.
Tepat tengah malam, mereka tiba di lokasi. Beberapa warga yang tinggal di sekitar rumah angker tersebut tampak memenuhi jalan, penasaran ingin menyaksikan ritual pembersihan yang dianggap sebagai atraksi hiburan bagi mereka.
Mbah Jambrong, dengan pakaian serba putih, berdiri paling depan. Di tangan kanannya terdapat sebotol air jampi-jampi, sementara tangan kirinya memegang untaian kalung berbiji bulat yang digenggam erat. Sepuluh orang anak buahnya yang juga mengenakan pakaian serba putih, terbagi dalam dua barisan di belakang, berdiri tegak membusungkan dada seperti pahlawan yang siap memenangkan perang.
Lebih ke belakang lagi, tampak dua orang laki-laki. Yang satu adalah seorang pemuda yang mewakili warga setempat, dan yang satu lagi adalah pesuruh sang konglomerat pemilik rumah. Si pesuruh memegangi ponsel berkamera di depan dadanya dengan tangan sedikit gemetar.
“Bi… biasanya, dia kelihatan di jendela depan situ, Mbah,” ucap si pemuda dengan suara melengking yang bergetar seperti penyanyi seriosa. Mata Mbah Jambrong seketika bergerak ke arah jendela rumah yang berada paling depan. Semua ikut menatap jendela gelap tak bertirai itu sembari menahan napas karena tegang.
Mbah Jambrong mulai memejamkan mata, seolah sedang memanggil sang hantu. Beberapa saat kemudian, muncul sesosok bayangan. Warnanya putih samar, mendekat ke jendela.
Terdengar suara-suara napas yang tersentak kaget. Beberapa anak buah Mbah Jambrong mulai gemetar, namun berusaha menutupinya. Sang pemuda seketika pucat pasi. Si pesuruh semakin gemetar, namun tetap berusaha keras menstabilkan rekaman video, agar dapat dijadikan laporan kepada bos konglomeratnya. Hanya Mbah Jambrong yang tak bereaksi, dan malah tersenyum sinis.
“Itu dia. Hantu Sunti,” geram Mbah Jambrong sambil mengepalkan kedua tangan.
Anak buah Mbah Jambrong ikut-ikutan mengepalkan tangan sambil menggeram, berusaha mengenyahkan ketakutan mereka.
“Majuuu!” seru Mbah Jambrong memberi komando.
Kemudian, dengan langkah tegap serempak, mereka maju mendekat. Sosok Hantu Sunti tampak bergerak mundur, menjauh dari jendela.
Mbah Jambrong menendang pintu depan rumah yang sudah lapuk. Daun pintu terjatuh ke belakang dan sosok Mbah Jambrong yang tinggi besar menyeruak masuk, mengintimidasi. Sosok samar sang hantu tampak bergerak mundur menuju ke arah belakang rumah. Mbah Jambrong melangkah maju, memburunya tanpa rasa takut.
“Hei, hantu! Setan! Makhluk halus! Makhluk rendahan! Jangan ganggu! Pergi kamu! Pergi dari sini! Saya tidak takut padamu!” seru Mbah Jambrong sambil mengacungkan tangan kiri ke atas. Tangan kanannya menciprat-cipratkan air dari dalam botol. “Saya manusia! Saya lebih mulia dari kamu! Saya tidak takut padamu!”
“Kami tidak takut padamu!” seru Basir membeo, menirukan kalimat-kalimat andalan Mbah Jambrong saat mengusir hantu yang sudah dia hapalkan di luar kepala.
“Pergi kamu dari sini! Pergi makhluk rendah! Jangan ganggu kami! Kami, manusia, lebih mulia daripada kamu!” seru Mbah Jambrong.
“Pergi kamu! Pergi!” sorak semua anak buah.
Hantu Sunti semakin tersudut.
Suara teriakan Mbah Jambrong yang menggema, dinding yang basah terkena air jampi-jampi, gemuruh tapak kaki para anak buah yang mengentak-entak, akhirnya berhasil menyingkirkan Hantu Sunti, makhluk halus yang sudah menghuni rumah tua itu selama puluhan tahun. Sang pesuruh konglomerat pun puas dengan video rekaman yang akan dikirimkannya kepada bos, sebagai bukti pelaksanaan kegiatan. Meskipun sosok Hantu Sunti hanya terlihat sekilas berupa asap putih berkelebat yang pergi menjauh, namun suara Mbah Jambrong yang menggelegar dan sikap tangguh penuh percaya diri membuat hasil rekaman terlihat sangat mengesankan.
Begitulah cara Mbah Jambrong mengusir hantu dari rumah atau gedung pesanan para kliennya. Keberanian dan kepercayaan dirinya yang sangat kuat membuat semua hantu kabur tunggang langgang.
***
Suatu hari datang permintaan pengusiran hantu lagi kepada Mbah Jambrong. Lokasinya adalah di sebuah rumah yang dinamakan Rumah Keranda, merupakan bekas pemandian jenazah yang sudah tidak terpakai sejak hampir seratus tahun yang lalu. Warga sekitar merasa takut pada rumah tersebut, karena selain menguarkan bau anyir, juga sering kali terlihat penampakan-penampakan yang mengerikan di berbagai sudut rumah tersebut. Sepertinya, makhluk halus penunggu rumah angker tersebut ada banyak jumlahnya. Maklum saja, jenazah-jenazah yang pernah dimandikan di tempat tersebut adalah korban perang, korban kecelakaan, dan korban-korban kejahatan lain dengan cara kematian yang mengerikan. Belum lagi, posisi Rumah Keranda yang berada di sudut jalan pinggir kota, menambah keangkeran suasananya.
Seperti biasa, Mbah Jambrong dan anak buahnya mengadakan pertemuan dulu sebelum memulai pekerjaan mereka, sekaligus mengatur strategi. Mbah Jambrong membagi dua kelompok untuk menyerbu masuk ke rumah itu melalui pintu depan dan pintu belakang. Satu kelompok dipimpin oleh Mbah Jambrong, sedangkan kelompok yang satu lagi dipimpin oleh Basir.
Tibalah saatnya mereka melaksanakan tugas. Ditemani oleh Pak RT dan anak laki-lakinya, Mbah Jambrong dan anak buah tiba di lokasi Rumah Keranda. Rumah itu gelap gulita, dengan sebagian bangunan yang sudah runtuh. Baru saja mereka menginjakkan kaki di pekarangan, bau amis darah memenuhi udara. Suasana sekitar terlihat buram karena tertutup kabut yang entah dari mana datangnya. Bulu kuduk para anak buah berdiri tanpa bisa ditahan. Sekuat tenaga mereka berusaha tampak tegar, meskipun jantung berdegup kencang dan kandung kemih mendadak terasa penuh sesak.
Sepertinya, ini memang lokasi terseram yang dirasakan oleh Mbah Jambrong, meskipun dia enggan mengungkapkannya. Bahkan, warga sekitar yang biasanya datang menonton saat ritual pengusiran oleh tim Mbah Jambrong sedang berlangsung, kali ini sama sekali tak tampak. Kabarnya, mereka semua takut terkena imbasnya, misalnya kesurupan atau kesambet, saking seramnya lokasi ini. Jalan kecil di depan Rumah Keranda sunyi sepi, hanya terdengar suara derik jangkrik dan lolongan anjing di kejauhan.
Mata batin Mbah Jambrong dapat mendeteksi keberadaan kurang lebih dua belas makhluk halus dari berbagai jenis di dalam rumah tersebut. Jumlah yang cukup membuat manusia biasa yang masuk ke dalam rumah ini pingsan tak sadarkan diri saking kuatnya energi mereka. Namun, Mbah Jambrong menolak ragu apalagi mundur.
“Basir, kelompokmu masuk lewat belakang. Saya dan yang lain masuk lewat pintu depan!” perintah Mbah Jambrong dengan suara lebih keras dari biasanya.
“Ba… baik, Mbah!” sahut Basir tergagap, tak sanggup melemaskan lidahnya sebelum menjawab. Meskipun kegugupannya tak bisa diredam lagi, namun tugas tetap harus dijalankan demi harga diri.
“Ka… kami di sini saja, ya, Mbah,” ucap Ketua RT yang diangguki kuat-kuat oleh anak laki-lakinya.
“Hm!” Mbah Jambrong hanya berdehem keras tanda setuju.
Setelah kelompok Basir siap sedia di pintu belakang, kelompok Mbah Jambrong melangkah maju.
“Majuuu!” teriak Mbah Jambrong garang sembari melangkah setengah berlari.
“Majuuuu!” seru anak buahnya.
“Majuuuuu!” seru Basir dan anak buahnya dari arah belakang rumah.
Mbah Jambrong menendang pintu rumah yang telah reyot dan lapuk sampai runtuh terbelah. Dia menyeruak masuk sambil mengentakkan kaki di ruang depan rumah yang gelap gulita.
“Keluar kalian, makhluk rendah! Setan alas! Saya tidak takut pada kalian!” seru Mbah Jambrong sembari menendang sebuah kursi kayu hingga terbalik.
“Ya! Keluar kalian! Kami tidak takut!” sahut anak buahnya.
“Tunjukkan wujud kalian!” tantang Mbah Jambrong penuh emosi. “Saya tidak takut! Saya manusia! Saya lebih mulia dari kalian! Hahaha!”
Kaki Mbah Jambrong sekali lagi terangkat dan menyepak, menendang sebuah benda yang ada di dekat kakinya.
Namun nahas, benda yang ditendangnya itu adalah sebuah keranda besi yang sangat berat. Ujung kaki celana Mbah Jambrong tersangkut pada tepian besi keranda, dan membuatnya hilang keseimbangan. Mbah Jambrong terpelanting dan jatuh menimpa keranda tersebut. Kepalanya membentur dinding dengan keras.
Semuanya kembali sunyi senyap.
***
Laki-laki berambut gimbal itu termenung menatap keluar jendela. Sepertinya sudah sangat lama dia berada di tempat ini, sampai dia lupa hitungan waktunya. Rasanya ingin sekali berjalan-jalan keluar, tetapi hal itu tak bisa dilakukannya. Tubuhnya terasa sangat berat setiap kali hendak meninggalkan tempat ini.
Laki-laki itu mengerutkan dahi melihat sesuatu di luar sana. Sepertinya malam ini ada yang berbeda. Terlihat sekelompok orang berkumpul di luar. Mereka seperti sedang bersiap melakukan sesuatu.
Dia terkejut ketika gerombolan orang itu tiba-tiba menerobos masuk ke rumah sambil berteriak memanggil-manggil. Mereka memaki dan membentak sambil merangsek mendekati jendela tempatnya biasa duduk termenung.
“Ada apa ini? Siapa kalian?” tanya laki-laki gimbal. Namun tak ada yang menjawabnya.
Dia melompat berdiri dan bergerak mundur, tak mengerti apa yang harus dilakukan. Orang-orang itu terus maju seperti hendak menyerangnya. Dia berlari ke arah belakang, namun dari arah belakang juga datang segerombolan orang yang mulai meneriaki dan memakinya dengan kata-kata kasar. Mereka menunjuk-nunjuk dirinya dan mengibas-ngibaskan tangan seperti mengusirnya.
“Ada apa ini? Kenapa kalian mengusir saya? Saya hanya duduk saja di sini!” teriak laki-laki gimbal.
Tetapi, orang-orang yang tampak kalap itu tak peduli. Mereka mendesak sang laki-laki gimbal sampai tersudut di ruang tengah. Salah satu dari mereka memerciki tubuhnya dengan sesuatu yang terasa pedih dan perih.
“Apa yang kalian lakukan? Apa salah saya?” Laki-laki gimbal itu mulai berteriak-teriak, kesakitan dan panik. Dia mendongak ke atas, dan melihat orang-orang yang tadinya tinggal di tempat yang sama dengannya, sudah mulai pergi meninggalkan tempat itu. Salah satunya, seorang gadis berambut panjang dengan gaun putih, menatapnya tajam.
“Bagaimana rasanya?” ucap gadis itu sinis. “Kamu yakin tidak melakukan apa-apa, kan? Hanya duduk di jendela memandang keluar, tetapi tiba-tiba diusir. Sama seperti yang dulu kamu lakukan padaku dan pada yang lain.”
“Sudah, tinggalkan saja dia,” ucap suara lain tak kalah sinis. “Kita, kan, cuma makhluk rendahan.”
“Ya. Biarkan saja dia sendiri,” ucap suara lain dengan nada dingin. “Dia makhluk paling mulia, pasti bisa mengatasi masalahnya sendiri. Ayo, Sunti, kita pergi.”
Mbah Jambrong, berjuang sekuat tenaga agar tidak kehilangan kesadaran untuk mempertahankan eksistensinya, berusaha ikut bergerak ke atas mengikuti Sunti dan yang lain, menjauh dengan susah payah dari orang-orang kalap yang masih terus meneriakinya dengan penuh kemarahan. Setelah cukup jauh, samar-samar Mbah Jambrong masih dapat mendengar suara di bawahnya.
“Sudah bersih semua, Pak! Terutama hantu brewok berambut gimbal yang suka menakut-nakuti orang dari jendela Rumah Keranda ini, sudah kami usir!”