Di suatu desa hiduplah warga yang damai. Hingga suatu hari ada gosip tentang rumah kosong. Gosip itu sampai ke Kanaya.

“Eh, teman-teman dengar nggak sih, gosip yang lagi ramai?” kata Kanaya.

“Males ah, gosip. Dosa tahu kalo gosip ngomongin kejelekan orang lain.” Natiya mencibirkan bibirnya.

“Nggak, Nat, ini bukan gosipin orang lain. Beneran deh!” Kanaya mencoba meyakinkan Natiya.

“Oke deh, tapi beneran yaa.”

“Iya, Nay. Kata Kakak Guru, kita nggak boleh gosipin orang. Dosa tahu!” Ihsan menimpali.

“Iya, iyaa, saya juga ingat kok, kata Kakak Guru kalo ngomongin orang lain itu ibaratnya kita seperti memakan daging orang yang kita omongin.” Kanaya meyakinkan Natiya dan Ihsan.

“Oke deh, terus gosip apaan emangnya?” Natiya penasaran. Kanaya yang sedari kemarin sudah penasaran dengan gosip rumah kosong, mengajak Ihsan dan Natiya. Mereka berjanji akan mendatangi rumah kosong itu besok sore.

Malamnya, Natiya masih memikirkan rencana masuk ke rumah kosong itu. Ia penasaran, tapi juga takut. Mungkin karena begitu kuatnya rasa penasaran yang bercampur rasa takut, sehabis salat Isya, Natiya merasa ada sekelebat bayangan yang seolah-olah membuntutinya. Ia langsung cepat-cepat naik ke kasur dan menutupi dirinya dengan selimut. Untuk menghilangkan rasa takutnya, Natiya buru-buru berdoa dan langsung tidur.  

Esoknya, sore hari selepas sekolah, mereka berkumpul di taman. Mereka berbincang untuk menjawab rasa penasarannya soal rumah kosong itu.  

“Bagaimana soal rencana kita pergi ke rumah kosong?” Kanaya memulai pembicaraan.

“Ini beneran, Nay?” Ihsan melirik Natiya yang terlihat agak takut. “Sebentar dulu,” sambung Ihsan, “bagaimana kalau kita masuk melalui pintu yang berbeda-beda?” lanjutnya.

“Hah? Nggak, aku takut!” Natiya buru-buru menjawab sambil memeluk Kanaya.

Belum sempat Natiya melepas pelukannya, terdengar suara keras, seperti ada yang terjatuh. Natiya semakin erat memeluk Kanaya dengan wajah berkeringat. “Aku takut, Nay. Itu jangan-jangan setannya marah gara-gara kita datang. Ayo, pulang yuk! Aku takut,” pinta Natiya pada Ihsan dan Kanaya.

“Santai, Nat, itu paling-paling cuma suara barang yang jatuh,” kata Ihsan, menenangkan Natiya. “Atau ….”

“Meongngnggg…!” tiba-tiba ada kucing melompat dari arah yang gelap. Mereka bertiga pun memegangi dada masing-masing, merasa kaget.

Astaghfirullaaahhhh, kucing, kirain apa!!” seru mereka bertiga hampir bersamaan. Mereka pun tertawa bersama.

Beberapa menit kemudian, “Ssssssttt! Coba dengerin suara apa itu,” ujar Kanaya.

Ada suara piano yang muncul dengan suara yang bagus. Ini menambah rasa penasaran Kanaya dan Ihsan.

“Aku takuuttt!” kata Natiya, sambil terus memegangi tangan Kanaya.

Mereka mendekati suara tersebut.

Ternyata setelah mereka sampai di ruang tengah, ada seorang remaja berpakaian serba putih dan berambut panjang yang duduk sambil main piano dengan sangat merdu. Mereka melangkah sangat pelan mendekati remaja tersebut. Sementara itu, karena sangat takut, Natiya semakin erat memegangi tangan Kanaya, seolah tidak mau maju lebih dekat lagi. Namun, rasa penasaran mereka bisa mengalahkan rasa takutnya. Mereka tetap mendekat sedikit demi sedikit.

Ketika sudah lumayan dekat, remaja itu menoleh dan mereka semua sama-sama kaget. Sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, mereka berteriak hampir bersamaan. Remaja yang memang sudah dari tadi tahu ada anak-anak yang datang, langsung menyapa mereka bertiga. “Assalamualaikum, adik-adik.”

Pelan-pelan Kanaya membuka matanya dan menjawab, “Waalaikumsalam.Baru disusul Ihsan dan Natiya.

Karena Kanaya yakin bahwa yang di hadapannya adalah manusia, ia langsung bertanya pada remaja tersebut. “Halo, Kak! Apakah Kakak pemilik rumah ini?”

Remaja tadi menjawab, “Ceritanya panjang. Nanti saya ceritakan. Kalian siapa?”

Ihsan pun menjawab, “Kami anak yang tinggal di desa ini. Katanya rumah ini berhantu, apakah itu benar?”

Remaja tadi sedikit tersenyum, seperti berusaha menyembunyikan kesedihannya, dan berkata, “Aku dan kakekku diusir dari rumah orang tuaku. Karena tanah ini kosong, tidak ada penghuninya, kami jadi tinggal di sini. Piano ini aku temukan di rumah ini.”

Mereka bertiga mengangguk. “Maaf ya, Kak, kami sekampung di sini nggak tahu tentang itu,” ucap Kanaya.

“Tidak apa-apa, kok, malahan aku dan Kakek senang ada adik bertiga yang berani dan masuk ke rumah ini.”

Mereka pun akhirnya mengobrol. Remaja tadi mengajari Kanaya, Natiya, dan Ihsan bermain piano, sampai tak terasa waktu sudah menjelang Maghrib. Mereka pun pamit pulang.

Baru beberapa langkah mereka beranjak pergi, remaja tadi memanggil. “Oh iya, kita kan belum kenalan yaa. Siapa nama adik-adik bertiga? Ingat ya, adik-adik, namaku Ahmad.”

Kanaya, Natiya, dan Ihsan yang sudah telanjur jalan menjauh mengenalkan namanya masing-masing sambil berteriak kencang dan melompat kegirangan.

“Namaku Kanayaaa, Kak!”

“Aku Ihsaaannn!”

“Kalo aku Natiyaaa!”

Beberapa hari kemudian, Kanaya, Natiya, dan Ihsan bercerita kepada keluarganya masing-masing, bahwa cerita mengenai rumah kosong yang berhantu itu adalah hoaks atau tidak benar.

“Nay, beneran kamu sudah masuk ke rumah kosong itu?” tanya ayah Kanaya.

“Iya, Yah. Mohon maaf, Kanaya nggak sempat izin ke Ayah dan Mama. Kanaya minggu kemaren masuk ke rumah kosong bareng Ihsan dan Natiya, soalnya Kanaya penasaran,” jawab Kanaya. Kanaya menceritakan kepada ayahnya kejadian yang mereka alami di rumah kosong itu.

“Kamu hebat, Nay, cuma kapan-kapan kalau kamu mau ngapa-ngapain harus bilang Ayah atau Mama yaa!” Ayah Kanaya menasihati. “Soalnya kalau ada apa-apa, Ayah dan Mama bisa tahu.”

Cerita Kanaya cukup mengusik rasa iba ayah Kanaya untuk melihat langsung rumah kosong itu, menemui Ahmad dan kakeknya. Sesampainya di rumah itu, setelah tahu kondisi Ahmad dan kakeknya, ayah Kanaya meminta Ahmad dan kakeknya untuk lapor ke Pak RT.

“Saya berharap Ahmad tetap tinggal di desa ini, sambil mengajari anak-anak belajar piano,” kata ayah Kanaya.

Sore itu juga Ahmad dan kakeknya diantar ayah Kanaya datang ke rumah Pak RT. Setelah mendengar penjelasan dari kakek tersebut, Pak RT memberikan izin mereka tinggal di rumah itu.

“Sebenarnya rumah itu sudah cukup lama tidak ditempati. Warga juga takut kalau melewati sekitar rumah itu,” cerita Pak RT. “Kami justru senang kalau rumah itu ada yang menempati karena warga tidak perlu lagi ketakutan.”

“Rumah itu dulu bekas tempat orang bule yang lama tinggal di desa ini untuk penelitian, dan rumah itu dihibahkan untuk desa ini,” begitu Pak RT meyakinkan Ahmad dan kakeknya.

Dalam sekejap cerita tentang rumah kosong itu sudah menyebar ke seluruh pelosok desa. Warga merasa senang, bahkan minggu berikutnya, warga desa, yang dipimpin Pak RT, membantu membersihkan rumah kosong itu untuk tempat tinggal sementara Ahmad dan kakeknya.

Rasa senang Kanaya, Natiya, dan Ihsan tak bisa disembunyikan. Mereka bertiga ikut serta warga membersihkan rumah yang akan dijadikan rumah kreatif untuk melatih anak-anak desa setempat agar lebih kreatif.

“Jangan lupa, kita harus merasa berterima kasih kepada Kanaya, Natiya, dan Ihsan yang dengan gagah berani menunjukkan kepada kita bahwa gosip rumah kosong sebagai tempat setan itu hanyalah hoaks.” Demikian kata Pak RT dalam sambutan peresmian rumah kreatif itu, disambut tepuk tangan warga. Sejak itulah, rumah kosong telah menjelma menjadi rumah kreatif yang menjadi pusat kegiatan anak-anak dan remaja.[]