KURUNGBUKA.com – Film Tukar Takdir karya Mouly Surya menghadirkan pengalaman menonton yang intens, menyayat, sekaligus penuh ketegangan. Mengusung genre drama petaka pesawat—yang jarang sekali dieksplorasi sineas Indonesia—film ini memadukan investigasi kecelakaan dengan drama emosional tentang duka, trauma, dan usaha berdamai dengan takdir.
Cerita bermula dari hilangnya kontak penerbangan Jakarta Airways 79. Saat ditemukan, hanya satu orang yang selamat: Rawa (Nicholas Saputra). Ia pulang dengan luka fisik dan trauma, sekaligus menyandang rasa bersalah karena menjadi satu-satunya penumpang hidup. Lebih jauh, Rawa juga harus berhadapan dengan Zahra (Adhisty Zara), putri tunggal sang pilot yang meninggal, serta Dita (Marsha Timothy), istri penumpang yang secara tragis bertukar kursi dengannya. Dari sinilah drama kehilangan, amarah, dan keterhubungan tiga karakter ini berkembang.
Mouly Surya menuliskannya dengan tenang, rapi, dan penuh keyakinan. Dibandingkan versi cerpen di buku karya Valiant Budi, film ini terasa lebih terurai dan mudah diterima penonton awam, tanpa kehilangan lapisan simbolik yang kaya. Investigasi penyebab jatuhnya pesawat dibangun dengan riset matang, tampak detail dan profesional. Menariknya, karakter Zahra baru berbicara seperempat film, sebelumnya hanya hadir mendampingi ibunya. Mouly seakan tidak terburu-buru membuat penonton paham, melainkan membiarkan kita larut dalam kebingungan, ketegangan, sekaligus kekhawatiran bersama para tokohnya.
Dari sisi akting, Tukar Takdir tampil meyakinkan. Nicholas Saputra berhasil memerankan Rawa dengan ketenangan di luar namun penuh gejolak di dalam. Ada rasa penyesalan mendalam yang ia bawa sejak menukar kursinya—dan akhirnya takdirnya. Adegan ketika ledakan pesawat terdengar menjadi titik emosional yang sangat memukul; perasaan bersalah Rawa tersampaikan begitu kuat hingga penonton pun ikut tercekat. Marsha Timothy memberikan performa penuh luka sebagai Dita, sementara Adhisty Zara menampilkan kompleksitas Zahra yang menutupi duka dengan senyum. Kehadiran aktor pendukung papan atas pun memperkuat lapisan drama, meski hanya muncul sebentar tetapi tetap punya bobot.
Namun, tidak semua berjalan mulus. Beberapa adegan tampak janggal, misalnya ketika Rawa dan Dita berjalan tertatih hingga harus ngesot saat mencari rumah keluarga korban lain—seharusnya penggunaan kruk atau tongkat lebih realistis. Adegan intim antara Rawa dan Zahra pun terasa dipaksakan, terutama mengingat kondisi emosional Zahra yang masih rapuh setelah kehilangan ayahnya. Dari sisi teknis, CGI pesawat kadang terlihat kurang mulus, tapi hal itu bisa dimaafkan karena kekuatan cerita dan akting jauh lebih mencuri perhatian.
Yang paling menonjol, tentu saja keberanian Mouly Surya. Ia percaya betul pada alur, dan yakin penonton akan tetap duduk hingga akhir film. Ketegangannya dibangun bertahap, emosinya menyentuh, dan kisahnya meninggalkan refleksi mendalam. Jika film ini bukan ditulis dan disutradarai Mouly, mungkin Tukar Takdir tidak akan sekuat ini.
Secara keseluruhan, Tukar Takdir adalah drama petaka pesawat yang bukan hanya menegangkan, tapi juga menggugah. Ia berbicara tentang kehilangan, duka, dan bagaimana manusia mencoba berdamai dengan takdir—meski perihal satu kursi bisa mengubah segalanya.
Skor: 8/10.
*) Image by imdb.com