KURUNGBUKA.com – Yang masih ingat dan membaca (sastra) masa lalu bakal menyebut dua nama: Armijn Pane dan Sanoesi Pane. Mereka adalah penggubah sastra yang terkenal pada masa 1920-an dan 1930-an. Bagaimana cara membedakan kekhasan dua orang yang sama-sama menggunakan nama Pane? Mereka itu bersaudara tapi selera sastranya (sangat) berbeda. Konon, ada yang berani mengecap mereka tampak berbeda kiblat: Timur dan Barat.
Armijan Pane lebih terkenal? Kita sementara bisa mengangguk. Yang dibaca para murid dan mahasiswa jika menengok sastra masa lalu: Belenggoe. Benar, yang mengarang adalah Armijn Pane. Lalu, apa yang ditulis oleh Sanoesi Pane. Yang tercatat, ia suka menggubah puisi dan menulis drama yang mengandung sejarah. Kita semestinya tidak perlu menentukan siapa yang lebih terkenal. Pokoknya mereka rajin menulis, tidak hanya sastra.
Pada masa berbeda, kita mengetahui Pane yang lain. Sejarah mencatat ada Pane dalam pendirian dan perkembangan HMI. Artinya, tokoh-tokoh yang bernama Pane memiliki peran besar di Indonesia. Mereka berpahala selama menunaikan pengabdian di Indonesia, dari masa ke masa.
Kita berhadapan lagi dengan Pane yang lain. Padahal, kita mengetahuinya dalam masa Orde Baru, bukan lagi masa kolonial dan masa revolusi. Siapa? Ia bernama lengkap: Nina Pane Budiarto. Kita belum mengetahui bigrafinya yang pasti. Apakah itu keturunan dari Armijn Pane atau Sanoesi Pane?
Pondok Cinta di Atas Angin, judul novel yang ditulis Nina Pane Budiarto. Novel yang diterbitkan Gramedia. Judulnya mudah membuat pembaca mengecapnya pop. Konon, yang pop berarti bukan bermutu sastra. Anggapan yang seharusnya dibantah dengan sebelas kalimat panjang.
Novel itu diiklankan dalam majalah Hai, 12 Februari 1985. Yang dipastikan adalah novel percintaan digemari para remaja. Novel untuk remaja atau dewasa? Dulu, banyak orang yang berdebat dampak novel-novel pop untuk remaja. Ada yang membsarkan dalil-dalil moralitas. Ada yang memberi pembelaan tentang kebutuhan berimajinasi kaum remaja. Pokoknya, segala novel yang telanjur dicap pop biasanya menimbulkan debat murahan. Padahal, yang terpenting adalah mengenali pengarang. Nina Pane Budiarto, nama yang tidak seterkenal Marga T, Mira W, La Rose, atau Maria R Sardjono.
Sinopsis yang ingin menggoda calon pembeli novel: “Ista Handayani, wanita sederhana yang berusaha memacu Krismanto, suaminya, ke jenjang sukses. Namun keberhasilan Krismanto bahkan menjadi bumerang bagi Ista sendiri. Jurang yang dalam segera memisahkan mereka.” Dugaan: novel mengaduk-aduk perasaan. Yang membaca bakal marah, menangis. jengkel, dan terharu.
Bayangkan jika novel digarap menjadi film? Dulu, hal itu biasa terjadi untuk novel-novel yang ditulis Marga T, Mira W, dan Ashadi Siregar. Namun, membaca novel mungkin telah mencukupi bagi pembaca belajar banyak hal tentang kehidupan. Nina Pane Budiarto memberi cerita, pasti tak lupa membagi nasihat-nasihat.
Selanjutnya, kita mendapat godaan menikmati cerita seutuhnya: “Dina, putri tunggal mereka, terjepit di antara dua kekuatan yang bertolak belakang. Ia tumbuh sebagai pribadi yang sulit dipahami, cenderung menyakiti diri sendiri. Dalam suatu kecelakaan yang tampaknya sengaja, Dina menjadi lumpuh.” Pembaca yang mudah menangis dianjurkan untuk membeli dan membacanya. Nina Pane Budiarto dijamin mengesahkan airmata yang mengandung sedih, benci, dendan, dan harapan.
Iklan yang menyadarkan kita bahwa bisa tercipta keluarga sastra di Indonesia. Yang bersastra memiliki penerus dalam keluarga. Anak menjadi pengarang mungkin dipengaruhi bapak atau ibunya. Konon, ada cucu dari Pane yang moncer menjadi pengarang. Kita memuji keluarga Pane yang menjadi contoh perayaan sastra dapat “diwariskan” dengan selera dan gairah yang beragam.
Yang menyedihkan mungkin novel-novel gubahan Nina Pane Budiarto jarang mendapat pembahasan dalam sastra Indonesia. Jika ada pertanyaan tentang nama pengarang masa 1980-an, Nina Pane Budiarto mungkin jrang muncul sebagai jawaban. Namun, bagi yang rajin menjadi pembaca segala novel terbitan Gramedia pasti mengenalnya dan menghormatinya.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<