Akhir Percakapan antara Adipati Karna dan Ibunda Kunthi
Sahaya atawa Arjuna yang gugur di Kurusetra, putra dari Ibunda Kunthi
akanlah tetap lima. Akan tetapi, bila sahaya mati, maka tiada lagi berputra
seorang istri dari sais kuda; sebab sahayalah putra satu-satunya. Sahaya
memanglah Karna, Suryaputra. Akan tetapi, sahaya lebih suka pabila
dipanggil Radhea: Putra sais kuda yang sering dijewer ibunya di telinga.
Dan meski amat usil dan jahil, Ibunda Radha tiada pernah berniat
membuang sahaya ke sungai yang alirnya lembut sekalipun . . .
Apabila sahaya gugur, janganlah genap bersedih, duh, Ibunda Kunthi;
biarlah seluruh sedih itu, untuk Ibunda Radha sahaja. Itulah pinta sahaya.
(2024)
***
Tanya Adipati Karna kepada Sri Krisna setelah Bercakap dengan Ibunda Kunthi
Oh, Sri Krisna, kanda ipar dari Arjuna penengah Pandawa,
aku hendaklah berkata, bahwasanya Agung Bathara pun bisa
tinggalkan jalmanya. Bhagawan Parasurama dan Resi Subali
adalah umpama. Karenanya, tiadakah tertarik dirimu untuk
bertanya pada diri sendiri: Kapankah aku kan ditinggalkan?
Aku bukanlah pemuja Agung Bathara; tetapi tiada mau
kutinggalkan apa yang Yudisthira dan dirimu nama
sebagai dhrama. Oh, iya, bila jemarimu sungguh terampil
bermain suling mengalun gita, duh, Sri Krisna, lalu kenapa
tiada dirimu tutupi lubang di hatimu dan hati saudara iparmu,
Arjuna itu? Apakah sebab menutup lubang di hatiku akan
membuat buruk terdengar alunan lagu-lagu indahmu?
(2016—2024)
***
Ekalaya, Guru Batu, dan Drona
1.
Oh, Guru, tanya Ekalaya kepada sebongkah batu
yang telah dipahatnya menjelma Drona dikenal guru,
bagaimanakah cara menjadi seorang pemanah jitu?
Patung itu, tentu saja, bisu. Akan tetapi, dari situ,
Ekalaya jadi tahu, cara menjelma pemanah jitu ialah
dengan menjelma batu, menjadi sebongkah sunyi
yang tenang dan beku.
2.
Di suatu waktu, datang Drona ke tempat Ekalaya, bertanya
siapa yang ajari ilmu. Ekalaya pun menjawab, yang ajari ilmu
ialah patung batu, ialah bayang hitam yang jadi ada, sebab
terkena surya atawa candra di malam-malam purnama.
Drona pun takut, bila murid kinasihnya, Arjuna, jadi
tiada utama. Maka dimintanya ibujari sebagai bentuk bakti.
Ekalaya pun memberi, tetapi bukan sebab Drona, melainkan
sebab dapati angguk dari bayang patung batu. Dan meski
telah hilang ibujari bertuah, Ekalaya tiada jadi lemah, malah
makin pandai berolah tanpa busur anak panah; sedang Arjuna,
meski sudah ditambah ibujari sakti bertuah, tetaplah lemah
jua payah; tetaplah jadi seorang lelaki yang pasrah.
(2020—2024)
***
Kepada Radhea, Anakku
Ada banyak duka telah dirasa, sebab kasta dan warna; tetapi betapa asingnya
duka sebab gugur putra di Kurusetra. Duh, Anakku, Radhea, kenapa pula
dirimu bercita jadi satria jika hanya kian limpahi duka dan nestapa?
Oh, Radhea, Anakku, dirimu memang tiada lahir dari rahimku
atawa menenggak susu dari payudaraku. Meski begitu, aku tetaplah
ibumu. Karenanya, pabila dewa-dewa tiada memasukkanmu ke indraloka,
atawa sejenisnya, masuklah sahaja ke dalam hatiku, Radhea; karena surga
di atas surga akan bisa dirimu jumpa.
(Oktober—November, 2024)
***
Kepada Kawan dan Saudaraku, Adipati Karna
Mereka menduga, aku mengangkatmu, jadi Adipati Angga, karena
melihat menang dari Pandawa pabila dirimu tergabung di pihak Kurawa.
Akan tetapi, aku kagum, dan menaruh hormat, kepada cita darmamu. Aku,
Duryudana, begitu ingin jadi kawanmu, begitu ingin jadi saudaramu.
Dan saat tiba kabar, pada suatu senja, telah ambruk dirimu, maka
jatuhlah airmataku.
Oh, Karna, bila ada neraka yang menanti, akan kulawan adanya;
sebab dirimu terlampau layak guna dapati yang lebih dari surga. Dan bila
kehidupan selanjutnya ada, akan kupinta serta kupaksa dewa-dewa atawa
roda karma, supaya membuat kita jadi saudara yang berbahagia
(Oktober—November, 2024)
*) Image by istockphoto.com