KURUNGBUKA.com – Yang mengeluhkan buku jangan dianggap paling bijak atau pintar. Orang yang rajin mengeluh demi buku mungkin hari-harinya kurang tidur atau makan nasi basi. Maksudnya, keluhan-keluhan yang disampaikan kadang bikin mules dan jengkel, bukan mengajak kita tersenyum di bawah sinar bulan purnama.
Kemunculan jamaah yang mengeluhkan buku memang merusak suasana. Kita sulit memaafkan mereka jika keluhan itu menjadi selokan yang tersumbat. Yang kita mengerti: buku tetap ada di pelbagai tempat. Bagi yang terpengaruh untuk sedih yakinlah bahwa buku masih ada di perpustakaan-perpustakaan yang terkunci rapat atau gelap saat tikus-tikus berkeliaran.
Yang menolak keluhan, pergilah ke toko buku. Matamu bakal melihat deretan novel terjemahan yang bertema toko buku. Novel-novel itu berdatangan dari Perancis, Jepang, Korea Selatan, dan lain-lain. Para pembaca tetap kepikiran buku cetak yang dijual di toko-toko dengan beragam suasana dan pengisahan. Jadi, nasib buku tidak seburuk yang disampaikan oleh jamaah mengeluh yang menodai pagi, siang, sore, dan malam.
Pada masa lalu, buku-buku mendapat kehormatan melalui penghargaan. Yang memberikan adalah YBU. Siapa mengetahui YBU? Orang-orang yang mengaku demen buku dalam abad XXI tidak punya ingatan tentang YBU. Indonesia pernah ingin memuliakan buku-buku melalui YBU yang dibentuk pada 1972. YBU itu Yayasan Buku Utama. Penghargaan diberikan kepada buku-buku yang dinilai dewan juri. Percaya saja orang-orang yang dijadikan juri adalah orang yang melahap ratusan atau ribuan buku.
Kita mundur ke masa 1970-an. Indonesia yang dibiikin mengantuk oleh pidato-pidato Soeharto masih bisa bergembira dengan buku-buku. Buktinya terbaca dalam majalah Tempo, 7 Oktober 1978. Dua resensi novel dihadirkan bersamaan. Peresensinya bernama Bambang Bujono, yang condong dikenal dalam pembahasan seni rupa. Namun, ia telah lama ketahuan doyan sastra.
Yang dibahas adalah novel Yudhistira ANM Massardi yang berjudul Arjuna Mencari Cinta dan gubahan Marianne Katoppo berjudul Raumanen. Pada masa yang berbeda, dua novel itu cetak ulang, mendatangi para pembaca baru. Orang-orang yang fanatik kategori mudah mencemooh dua novel dengan mengajukan novel-novel pilihannya dalam kesusastraan Indonesia masa 1970-an.
Dua novel diresensi setelah terpilih oleh YBU. Tipis tapi mencengangkan sekaligus menimbulkan keributan. Arjuna Mencari Cinta diterbitkan oleh Cypress. Raumanen itu terbitan Gaya Favorit Press. Padahal, orang-orang mulai mengetahui bahwa buku-buku sastra bermutu diterbtkan oleh Pustaka Jaya, Gunung Agung, dan Djambatan. Pada situasi dan kepentingan berbeda, muncul penerbit-penerbit yang akhirnya memenuhi kebutuhan umat novel di seantero Indonesia. Dua penerbit yang tidak boleh diremehkan setelah mereka berani menerbitkan ratusan judul novel. Yang suka mengolok-olok menganggap dua penerbit itu memakmurkan pop.
Kita tidak hidup dalam masa 1970-an, cukup membayangkan melalui resensi. Bambang Bujono menilai novel garapan Yudhis: “Humor dalam novel ini jumlahnya memang banyak. Dari adegan yang lucu-lucu, dialog yang lucu-lucu sampai jalan pikiran pelakunya yang merangsang saraf tawa pembaca.” Apakah itu novel tipis yang mengharamkan pembacanya menangis?
Novel itu cetak ulang, bertambah pembacanya. Pada edisi cetak ulangnya, pembaca menemukan komentar bermutu dari Ben Anderson. Nama yang berpengaruh dalam kajian bahasa dan sastra di Indonesia. Ia bukan orang Indonesia tapi fasih menjelaskan dan mengisahkan Indonesia. Ben Anderson saja membaca Arjuna Mencari Cinta. Jadi, orang-orang Indonesia bisa malu jika tidak membacanya meski cuma 12 halaman dulu.
Kritik-kritik disampaikan Bambang Bujono untuk Raumanen. Namun, seribu kritik tidak membatalkan Raumenen terpilih oleh YBU. Yang menggembirakan, buku-buku terpilih mendapat duit satu juta rupiah. Raumanen telanjur dibaca banyak orang. Penerbit bergembira dengan hasil penjualan. Bambang Bujono malah mengungkapkan: “Alhasil, yang sangat menolong novel ini memang hanya cara penyusunan ceritanya saja. Dan, agaknya itu dilakukan Marianne Katoppo dengan pintar, dengan rencana dan pengetahuan yang kaya.”
Dulu, resensi bisa “mencekik” dan “kejam”. Yang dihadirkan dalam majalah Tempo adalah resensi yang ikut membantu orang-orang penasaran. Akibatnya, mereka mencari dan membeli dua novel . Yang tidak berduit mendapat tempat persewaan buku. Bukti keampuhan dua novel adalah cetak ulang sampai abad XXI. Kesusastraan Indonesia mencatat dua novel itu mulia dan utama meski dicemooh sebagai pop.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<