KURUNGBUKA.com – Pertanyaan yang mudah dijawab tapi tetap menimbulkan masalah dalam sastra Indonesia: perempuan dan sastra. Yang bertanya nama-nama pengarang berdasarkan jenis kelamin bisa mendapat cemooh atau damprat. Pertanyaan yang tidak bermutu. Mengapa harus bertanya pengarang dengan menyebutkan lelaki dan perempuan?
Kita bingung dengan pertanyaan setelah membaca lampiran di majalah Gatra, 17 Desember 1994. Halaman-halaman yang memuat biografi pengarang tenar bernama Selasih. Namun, ada yang mengenalnya dengan nama-nama lain. Yang kita hadapi adalah pengarang yang telah mempersembahkan cerita sejak masa kolonial. Konon, ia masuk dalam arus Poedjangga Baroe. Pengarang yang suka memelihar kembang, selain sibuk menggubah cerita-cerita. Ia pun terlibat dalam pengajaran, organisasi, pers. Maka, tokoh yang diceritakan dalam majalah Gatra mendingan tidak menimbulkan pertanyaan mengenai perempuan dan sastra.
Novelnya yang terkenal berjudul Kalau Tak Untung. Apakah novel mengenai perdagangan atau jual-beli? Kita yang bodoh pasti kepikiran penggunaan diksi untung. Sejak dulu, Selasih itu mahir bercerita masalah-masalah pendidikan, perkawainan, pergaulan sosial, keluarga, dan lain-lain.
Kita mendapat keterangan: “Pengaruh Keadaan, romanku yang kedua, kutulis selama tiga bulan. Diterbitkan oleh Balai Pustaka, 1937. Honornya 300 karena isinya lebih ringan. Tapi, sempat dicetak ulang tujuh kali. Sutan Pamuntjak, redaktur Balai Pustaka, menilai karanganku itu amat baik. Sutan Takdir Alisjahbana juga memuji.” Pada suatu masa, Indonesia mendapat gubahan-gubahan sastra bermutu. Selasih menjadi pengarang yang membuat perkembangan sastra bergelimang pujian.
Pada masa Orde Baru, buku-buku yang ditulis Selasih berada di perpustakaan. Murid-murid mungkin mengetahui tapi kurang tergerak untuk membacanya. Kita mengerti terjadi kesulitan bagi pembaca yang menikmati novel lama, yang bahasanya sangat berbeda dengan citarasa masa 1980-an dan 1990-an. Yang jelas, Selasih adalah nama yang biasa dicantumkan dalam sejarah sastra Indonesia atau tampil dalam pembahasan novel-novel modern di Indonesia, sejak awal abad XX.
Apakah ia hanya menulic cerita? Di majalah Gatra, kita mendapat keterangan yang lain: “Maka, puisi pun aku gunakan untuk membangkitkan semangat masyarakat. Dan, kukirimkan ke surat kabar. Tapi, aku juga sadar, aku ini wanita. Sementara, mata-mata Belanda ada di mana-mana. Karena itu, aku menggunakan nama samaran. Puisiku berjudul Seruan dengan nama samaran Selegiri…”
Kita penasaran dengan puisi-puisinya. Usaha mengumpulkan semua puisinya dan dirayakan dalam festival memungkinkan umat sastra Indonesia membuka lapisan-lapisan misteri yang selama ini sulit tersingkap. Selasih adalah penulis puisi. Maka, kita memiliki sosok penting dalam puisi, tidak selalu menyebut M Yamin, Roestam Effendi, Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana, JE Tatengkeng, dan lain-lain.
“Hampir sepanjang malam kugunakan untuk mengarang,” pengakuan Selasih saat dirinya masih muda. Dulu, ia sibuk mengajar dan berorganisasi. Namun, kemauan mengungkapkan banyak hal memerlukan ketekunan. Ia menjadikan malam sebagai waktu bergelimang cerita, bukan kemanjaan dan kemalasan. Tekun itu menghasilkan banyak tulisan, yang membuatnya terhormat dalam sastra Indonesia.
Selasih menulis novel bukan sekadar bermisi sastra. Ia menyadari kebutuhan hidup yang besar. Novel itu berkaitan uang. Maka, Selasih ingat jumlah honor yang diterimanya dari novel-novel yang diterbitkan. Honor digunakan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup.
Honor itu sebenarnya dapat menjadi data penting bagi peneliti yang mau membahasa nasib pengarang, penerbit, dan pemerintah. Di Indonesia, keluhan dan kecewa mengenai nasib pengarang biasanya berdasarkan jumlah honor yang diperoleh dari industri buku dan kebijakan pemerintah yang kurang memihak kepada pengarang. Usulan agar pemerintah memberikan perhatian berwujud uang atau fasilitas untuk pengarang sering menimbulkan janji dan harapan.
Konon, honor yang diperoleh pengarang pada masa kolonial itu besar. Padahal, jumlah orang yang mampu membaca dan minat sastra masih sedikit. Kita kurang mengetahui pembuktian sastra yang menghidupi pada masa lalu. Yang tercatat, para pengarang biasanya memiliki pekerjaan-pekerjaan tetap.
Kini, honor adalah masalah yang tanpa janji menghidupi. Sastra sedang goyah oleh ambruknya bisnis media dan kebijakan pemerintah yang berseru penghematan. Para pengarang paham bahwa honor itu mulai angan. Mereka tetap membuat tulisan dan pemuatan-pemuatan tanpa janji mendapatkan honor. Yang ditanggungkan para pengarang sekarang boleh dianggap tragedi, yang memerlukan jawaban-jawaban menimbulkan senyum.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<







