KURUNGBUKA.com – Di penulisan cerita, orang-orang masa lalu cepta menyebut nama: Nh Dini. Banyak ceritanya yang memukau. Nh Dini menjadi pengisah sekaligus juru bicara yang “membesarkan” masalah-masalah keperempuanan. Yang berharap agar Nh Dini menulis apa-apa merasa kecewa. Pada akhirnya, Nh Dini tidak teringat dengan gubahan puisi.
Nama yang cepat disebut bila mengingat puisi-puisi bagi jamaah sastra masa 1970-an adalah Toeti Heraty. Ia terhitung rajin menulis puisi, yang lekas mendapat perhatian pembaca dan pengamat sastra. Puisi-puisi diterbitkan Budaya Jaya, Balai Pustaka, dan Grasindo. Di pelbagai buku puisi bersama, nama Toeti Heraty pun sering tercantum.
Sejak masa 1970-an, ia memang menunjukkan kekuatan dalam suguhan puisi. Dirinya berani mengajukan masalah-masalah keperempuanan, yang menempatkan puisi sebagai juru bicara yang tebar pengaruh. Apakah ia cuma menulis puisi? Yang teringat Toety Heraty menulis esai dan sanggup menekuni penulisan teks-teks ilmiah. Di jagat sastra, ia adalah sosok yang tidak hanya sibuk dalam seni. Ia pun tangguh berfilsafat dalam laku akademik. Toeti Heraty tidak lelah kuliah.
“Saya ini doktor filsafat pertama yang dihasilkan jurusan filsafat Universitas Indonesia,” pengakuan Toeti Heraty yang dikutip dalam majalah Tempo, 3 Februari 1979. Para pembaca di Indonesia memujinya yang melangkah di sastra dan filsafat. Langkah itu terus bertambah dengan beragam kesibukan, termasuk pemajuan seni rupa dan kematangan dalam memicu perkembangan feminisme.
Yang membaca biografinya bakal kaget. Bapaknya adalah Rosseno, yang dikenal dengan teknik bangunan, yang menunaikan misi-misi besar pada masa kekuasaan Soekarno. Ia dalam arus keilmuan dan biografi yang memberi sikap yang tangguh dan pemikiran-pemikiran yang kokoh.
Di majalah Tempo, ia tercatat: “Pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (1960-1971). Toeti Heraty juga penyair.” Di puisi-puisi, wajar saja ia mengisahkan asmara menurut perempuan. Ia berhak berfilsafat melalui puisi. Ia terbukti memberi ratusan puisi tapi yang tidak boleh diabaikan adalah tulisan yang ilmiah. Disertasi yang ditulisnya berjudul Aku dalam Budaya: Suatu Teori Orientasi Filsafat Barat Modern. Bagaimana ia bisa bergantian atau berbarengan mengurusi sastra, filsafat, dan bisnis keluarga.
Pada saat diberitakan di majalah Tempo, Toeti Heraty memiliki 4 anak yang sudah bertumbuh besar. Apakah keluarga menjadi tema yang penting dalam puisi-puisinya? Pastilah ia berani menguak gejolak-gejolak keluarga yang menjadi tema besar pada masa Orde Baru. Namun, keluarga yang disajikannya dalam puisi berbeda dari penyuluhan atau pidato-pidato yang disampaikan Soeharto.
Bertahun-tahun, Toeti Heraty menunjukkan kekuatan dan ketabahan. Di sastra, namanya sering disebut dan puisi-puisi menjadi pembicaraan. Ia tidak sepenuhnya berpuisi tapi perhatian yang diberikan oleh pembaca membuat terhormat. Ia selalu muncul saat kita membahas perempuan dan puisi di Indonesia, dari masa ke masa.
Apakah cinta sulit terhindari dari puisi-puisinya? Kita mengutip saja omongannya tentang cinta: “Sebagai sarana penyelamat diri dari keterbatasannya dalam mewujudkan khayalannya.” Kalimat yang tidak ringan. Kalimat yang tidak puitis. Kita tidak menemukannya dalam puisi. Penggunaan kata dalam puisi tidak seperti bila ia bicara di seminar atau meladeni pertanyaan-pertanyaan wartawan.
Selanjutnya, ia menjelaskan cinta dalam rumah tangga. Yang membacanya diminta “sedikit” berpikir agar tidak mengikuti pendapat umum. Toeti Heraty bilang: “Cinta hanya bumbu pelengkap saja. Cinta itu sangat erat hubungannya dengan ilusi.” Maka, kita mudah bertanya-tanya dengan kehidupan kaum perempuan yang bersastra dan berumah tangga. Mereka mungkin memiliki guncangan dan dilema, yang tentu tidak semuanya bersumber cinta. Yang membaca puisi-puisi gubahan Toeti Heraty mungkin dapat mengumpulkan beragam hal, yang menguak masalah cinta, perempuan, dan keluarga berlatar Indonesia, yang mendapat banyak pengaruh: dari adat sampai filsafat Barat.
Pada saat menua, Toeti Heraty terus menulis puisi. Babak mengerikan saat wabah beberapa tahun yang lalu, ia pun menggubah beberapa puisi. Ia tidak ingin melewatkan masa yang semestinya bisa tertulis dalam puisi agar kelak terbaca sebagai acuan atau sekadar kenangan. Usia tua dan wabah tidak menjadikannya seperti Albert Camus yang menulis Sampar. Toeti Heraty tekun menulis puisi, bukan novel. Namun, ia pernah menulis prosa-lirik yang panjang, yang menggoda pembaca menilai ulang Calon Arang.
*) Image by dokumentasi pribadi Bandung Mawardi (Kabut)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<