KURUNGBUKA.com, JAKARTA – Suasana ruang 801 BINUS Anggrek sore itu dipenuhi tawa, cerita, dan semangat belajar. Acara bertajuk Movie Freak On Stage: From Comic to Cinema with Awwe yang digelar oleh BINUS TV dan Movie Freak menghadirkan Awwe, komika sekaligus comedy consultant film Agak Laen. Dalam sesi berdurasi dua jam ini, Awwe membagikan pengalaman dan pandangannya tentang bagaimana komedi bekerja dalam dunia film, serta tantangan mengubah sesuatu yang menakutkan menjadi lucu tanpa kehilangan makna ceritanya pada Selasa (7/10/2025).

Menurut Awwe, membuat penonton tertawa di film justru lebih sulit dibanding di panggung stand up comedy. “Bikin orang ketawa di film itu jauh lebih susah,” ujarnya sambil tertawa kecil. “Kalau di stand up, kita tahu langsung kapan penonton ketawa. Di film, kita baru tahu lucu atau enggaknya setelah tayang.”

Ia menjelaskan bahwa tidak semua titik ketawa yang disiapkan berhasil mengundang tawa, terutama karena perbedaan istilah dan budaya. “Kata seperti ‘jancuk’ atau ‘lapet gadong’ mungkin lucu di satu daerah, tapi di daerah lain orang bisa diam aja,” katanya.

Awwe juga menceritakan pengalamannya bekerja bersama Bene Dion dan Muhadkly Acho yang dikenal sama-sama perfeksionis. “Kami kerja ngotot-ngototan, tapi enaknya dari awal udah tahu gaya kerja masing-masing,” ungkapnya. Menurutnya, penting untuk terbuka sejak awal supaya proses kreatif berjalan lancar dan hasilnya sesuai visi bersama.

Dalam diskusi itu, Awwe menegaskan bahwa posisi comedy consultant atau comcon dalam film sama pentingnya dengan action director di film laga. “Kalau bikin film action aja butuh orang yang ngerti bela diri, ya bikin film komedi juga harus ada yang ngerti lucu,” ujarnya.

Ia menambahkan, rasa percaya terhadap selera komedi seseorang tidak bisa muncul begitu saja. “Banyak yang ngerasa punya sense of humor, tapi apakah orang lain juga ngerasa begitu? Nah, komedian punya bukti konkret karena mereka udah dites di panggung,” jelasnya.

Sebagai comedy consultant, Awwe terbiasa menilai apakah sebuah naskah atau adegan memiliki potensi komedi yang pas. Menurutnya, komedi harus dibangun dengan kesadaran atas konteks, karakter, dan ritme cerita. “Lucu bukan berarti harus selalu ngelawak. Kadang justru dari hal yang sederhana dan jujur,” katanya.

Ia juga menyoroti bagaimana industri luar negeri memberi ruang bagi comedy consultant sebagai bagian dari tim penulis. “Serial kayak Friends atau The Big Bang Theory punya lima sampai enam comcon, dan hampir semua dari anak stand up,” katanya. “Di Indonesia masih jarang. Kadang orang nulis tema aja, terus ngelawak sendiri tanpa sistem.”

Dalam sesi tanya jawab, Awwe memaparkan berbagai bentuk kelucuan yang bisa muncul dalam film. Mulai dari pematahan asumsi, keanehan, rasa superioritas, hingga pengalaman yang dekat dengan keseharian. “Misalnya cowok yang minta maaf karena macet waktu pacaran, padahal bukan salah dia. Itu relate banget,” ujarnya, disambut tawa peserta.

Ia juga menyinggung perbedaan antara film komedi murni seperti Agak Laen dan film dengan sisipan komedi seperti Ganjil Genap. Menurutnya, film murni komedi lebih sulit karena seluruh energinya ditujukan untuk membuat penonton tertawa, sementara romcom lebih ringan karena lucunya hanya menjadi selingan.

Ketika ditanya bagaimana cara menjadi comedy consultant, Awwe menjawab sederhana: “Jadi komedian dulu. Coba latihan, tampil, tes ke teman. Komedi itu harus diuji, bukan cuma dirasa.” Ia menekankan pentingnya memahami tujuan setiap adegan dalam skenario sebelum mencari di mana letak kelucuannya. “Kalau nggak tahu tujuannya, lucunya bisa nyasar.”

Awwe juga menyoroti minimnya pelawak perempuan di Indonesia. Ia menilai hal itu bukan karena perempuan tidak lucu, melainkan karena masih banyak yang enggan terlihat jelek atau jadi bahan tawa. “Padahal justru itu kekuatan komedi — berani ditertawakan,” ucapnya.

Melalui gaya bicara yang santai namun reflektif, Awwe berhasil membuat para peserta memahami bahwa komedi bukan sekadar hiburan, melainkan kerja kreatif yang membutuhkan sensitivitas dan teknik. “Lucu itu bukan insting, tapi ilmu. Dan kayak ilmu lain, dia harus dipelajari dan diasah terus,” tutupnya dengan senyum.

Acara Movie Freak On Stage menjadi ruang belajar yang segar bagi mahasiswa BINUS dan publik yang hadir. Dari panggung sederhana itu, tawa dan obrolan ringan berubah menjadi pelajaran serius tentang satu hal: bahwa membuat orang tertawa membutuhkan pemahaman mendalam tentang manusia, bukan sekadar lelucon. (rls/dhe)