KURUNGBUKA.com – Anak suka cerita atau dongeng. Penggantinya mungkin guyonan dan omong kosong asal membuat anak betah dalam pengalaman bahasa dan kembara imajinasi. Namun, anak kadang disiksa dan dijenuhkan deretan kalimat yang disebut khotbah. Waktu yang dirasakan berjalan lambat. Anak merasakan waktu yang bekuasa dan khotbah yang membuatnya terperangkap. Padahal, kaum dewasa meyakini khotbah penting dalam beragama.

Anne bukan penikmat khotbah. Bocah yang cerewet itu tidak ingin ada yang membuat dirinya “dipaksa” duduk tenang dan memberikan telinga. Yang dilakukannya adalah berpikir dan membuat tuduhan-tuduhan. Bocah yang mudah memberi kritik atas mutu khotbah. Ia pun mengomentari sosok yang memberi khotbah. Anne, bocah yang tidak mudah ditenangkan dan dipatuhkan demi khotbah.

Kita membayangkan Anne di negeri yang jauh, bocah yang berani dan disangka durhaka. Bocah yang tidak takut jika dimarahi Tuhan atau diomeli orang-orang yang ingin selamat dan beriman. Di suasana khotbah, Anne gelisah. Ia mampu membahasakan tanpa keraguan.

Yang terbaca dalam Anne of Green Gables (2014) gubahan Lucy M Montgomery adalah “selingan” dari pemahaman umum. Sikap dan ulah Anne dinilai: “Baginya, pikiran kritis yang rahasia dan tidak pantas untuk diungkapkan itu tiba-tiba tampak dalam bentuk tuduhan, dan diungkapkan oleh seorang anak jujur yang haus akan kemanusiaan.” Anne bisa disalahkan sekaligus dimengerti. Yang disampaikan pengarang: anak boleh tidak betah khotbah (agama).

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya penulis terbaik dari Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<