Judul               : Lingkungan Hidup dan Kapitalisme
Penulis            : Fred Magdoff dan John Bellamy Foster
Penerjemah    : Pius Ginting
Penerbit           : Marjin Kiri
Cetakan           : Ke-1, Agustus 2018
Tebal               : xiv + 258 halaman

Sudah sering terdengar berita mengenai lingkungan hidup. Beritanya kebanyakan kabar buruk. Entah kebakaran hutan, laut tercemar, sampai perburuan hewan liar yang tak terkendali. Ada pula berita yang tidak sampai ke telinga masyarakat umum karena bentrok dengan kepentingan elit, seperti halnya bencana akibat pembukaan tambang, atau pembukaan lahan sawit yang menyingkirkan masyarakat sekitar yang berusaha menjaga lingkungan sebaik-baiknya.

Kondisi terus memburuk. Bagaimana tidak, upaya yang dilakukan terbatas. Hampir semua upaya perbaikan lingkungan hidup hanya fokus pada sudut pandang mengenai ekologi itu sendiri. Pada kenyataannya urusan lingkungan hidup adalah urusan yang berkaitan dengan banyak hal. Entah ekonomi, politik, ataupun ilmu lain.

Buku Lingkungan Hidup dan Kapitalisme ini berusaha menguraikan permasalahan lingkungan hidup dari perspektif yang luas. Bahwa permasalahan lingkungan hidup butuh penyelesaian yang benar-benar komprehensif. Penyelesaian yang menyangkut berbagai sektor. Terlebih lagi menunjukkan pada para pembaca musuh dari lingkungan hidup yang sesungguhnya, kapitalisme.

Kerusakan lingkungan hidup bukanlah hal baru. Hal ini terjadi sudah sejak ribuan tahun yang lalu. Mengutip tulisan Plato dalam Critias (hal.1-2) bahwa peradaban Yunani sudah mengalami kerusakan lingkungan. Kondisi semakin parah di zaman modern ini. Bahkan sejak adanya alat pengukur temperatur global, tahun 2005, 2010, dan 2015 merupakan tahun terpanas.

Jika itu masih belum cukup menujukkan bahwa lingkungan hidup tidaklah menjadi semakin baik, maka ada banyak bukti lainnya. Melelehnya es di Arktik meningkatkan pemanasan global, kenaikan permukaan laut, pemanasan samudera, kekeringan, dan punahnya spesies.

Kenyataannya bahwa kerusakan lingkungan hidup berkaitan erat dengan kegiatan ekonomi manusia. Melanjutkan bisnis seperti biasa adalah jalan menuju bencana global (hal. 25). “Solusi” yang ditawarkan untuk kerusakan lingkungan yang tetap membiarkan sistem produksi dan distribusi yang ada saat ini berlangsung dengan kekuatan penuh bukanlah solusi riil (hal. 35). Justru solusi-solusi itu malah memperburuk keadaan dengan mengaburkan pandangan orang mengenai sebab utama masalah kerusakan lingkungan hidup yakni kapitalisme.

Kapitalisme sedang sangat berkuasa di era ini. Sebagian besar orang bahkan tidak menyadari kehadirannya, tapi mereka terikat di dalamnya. Inti dari kapitalisme adalah upaya untuk mencapai akumulasi keuntungan. Untuk mengejar “tuhan” akumulasi bagi para penganut “agama” kapitalisme, maka biaya besar harus dibayarkan. Termasuk di dalamnya kerusakan lingkungan hidup yang mereka sendiri tinggali. Secara luar biasa, penulis menyitir Perintah Pertama dalam Sepuluh Perintah Tuhan (Ten Commandments) sebagai “Jangan ada padamu Allah lain di hadapanku selain akumulasi kapital” (hal. 41).

Dalih para kapitalis adalah sistem membuat persaingan menjadi adil. Tetapi justru sistem malah tak terkendali. Selalu timbul dampak yang tak diperhitungkan dalam kegiatan ekonomi kapitalisme. Ekonom mainstream menyebutnya eksternalitas, seraya menganggap hal itu adalah hal yang wajar. Dikatakan K. William Kapp:

“Secara umum, kapitalisme harus dipandang sebagai perekonomian dengan biaya-biaya tak dibayar –‘tak dibayar’ karena memang banyak biaya yang ada untuk produksi tak diperhitungkan dalam perencanaan bisnis; alih-alih mereka dialihkan, dan pada akhirnya ditanggung, oleh orang ketiga atau masyarakat secara keseluruhan.” (hal. 40)

Termasuk di dalam eksternalitas itu adalah kerusakan lingkungan hidup. Dampak yang justru paling dirasakan oleh masyarakat lain. Dengan kata lain, kerusakan lingkungan hidup adalah ekses kapitalisme. Hasil kapitalisme yang mereka dengan senang hati mereka bagi dengan semua orang. Mereka mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dan membagikan kerugian sebanyak-banyaknya.

Inti dari kapitalisme adalah perkembangannya yang telah dirumuskan oleh Marx sebagai M-C-M1. Keuntungan yang diperoleh kapitalisme akan dipakai untuk meluaskan cengkeramannya. Proses ini tidak memiliki batas. Mengutip Paul Sweezy, rumus M-C-M1 berkembang menjadi M-C-M11 (hal. 44). Dengan kata lain perkembangan kapitalisme tidak hanya membuat kapitalisme semakin luas tetapi juga semakin destruktif.

Kapitalisme mungkin tidak runtuh, tetapi banyak kapital-kapital kecil yang runtuh. Runtuhnya kapital kecil malah menjadi “pupuk” bagi kapital besar. Membuat kapital semakin termonopoli. Kapitalisme justru terpusat pada kapitalis-kapitalis besar yang sangat merusak dan mengomodifikasikan berbagai hal. Termasuk di dalamnya adalah kampanye menjaga lingkungan.

Slogan kampanye menjaga lingkungan malah berakhir sebagai strategi pemasaran. Kondisi ini mendorong konsumsi masyarakat. Konsumsi bertambah karena produk dianggap ramah lingkungan sehingga penggunaan dan produksi tidak akan berpengaruh pada kerusakan lingkungan. Hasilnya adalah ilusi yang menguntungkan kapitalisme. Di satu sisi kapitalisme tetap mengeruk untung. Di sisi lain masyarakat menganggap kapitalisme tidak berkontribusi pada kerusakan alam tetapi justru berusaha memperbaikinya.

Contoh nyata adalah lakunya “gaya hidup hijau” yang dipromosikan oleh pihak kapitalis. Program penghijauan dan ramah lingkungan yang mereka lakukan adalah sarana untuk menarik pelanggan baru. Meski kebanyakan hal-hal itu hanyalah slogan. Seperti yang dilakukan BP (British Petroleum) yang tetap melakukan pengeboran minyak gila-gilaan selagi menyatakan diri mendukung program ramah lingkungan (hal. 120). Tindakan ini disebut sebagai “greenwashing” (hal. 121).

Ketimbang memberi solusi, mereka memilih menciptakan ilusi. Selain kampanye hijau yang memompa tingkat konsumsi, ada berbagai ilusi lain. Mereka mengadakan CSR sebagai “seolah-olah” pengabdian masyarakat. Kenyataannya, seperti yang dikutip dari Rachel Beck,”perusahaan memakai program CSR untuk membangun kesetiaan merek dan membuat hubungan personal dengan pelanggan.” (hal. 123). Selain itu terdapat pula fenomena yang dikenal sebagai Paradoks Jevon. Di mana peningkatan efisiensi malah meningkatkan ekspansi kapitalisme (hal. 129).

Tuntutan yang disampaikan sudah jelas. Tidak ada opsi lain bagi orang yang menginginkan lingkungan hidup tetap bertahan selain menghancurkan kapitalisme. Sistem ekonomi harus dialihkan kepada sosialisme sebagai langkah awal. Sosialisme menyediakan landasan untuk program pendukung lingkungan hidup sejati.

Mengapa sosialisme? Karena sosialisme adalah “…tatanan sosial berbasiskan sebuah perekonomian yang tidak membaktikan diri untuk memaksimalkan keuntungan privat dan mengakumulasi kapital yang lebih besar, melainkan lebih kepada pemenuhan kebutuhan riil manusia dan memulihkan lingkungan ke dalam kondisi sehat yang berkelanjutan. Inilah inti perubahan revolusioner hari ini.” (hal. 145).

Fred Magdoff dan John Bellamy Foster benar-benar serius membicarakan masalah ini. Sebagai bukti nyata, mereka memberi usul tindakan konkret yang dapat dilakukan (hal. 148-153).  Menandakan bahwa  cita-cita revolusi ekologis bukan hanya omong kosong. Bukan rencana berdasarkan utopia. Tetapi rencana nyata yang harus kita, terutama elit yang mengklaim diri sebagai pelindung dan pembela rakyat, untuk dilaksanakan. Semua untuk Ibu Bumi.