Ada ayam goreng terhidang di mejaku. Umurnya sudah dua puluh tahun.

Dari kerat dingin itu, jari-jariku mengupas secuil daging setipis kertas, tepat dari sela-sela jerjaknya. Rasa itu—rasa remah, rasa rempah—tak ada lagi. Keriuknya sudah ranggas, seluruh dagingnya menggundul, dan kilap tulangnya bersinar kena pantulan lampu. Menggigit tulang itu keras, tetapi ketika tak ada pilihan lain dan mumpung gigiku masih ada, itulah satu-satunya hal yang kulakukan. Sumsumnya masih manis, tetapi aku tahu itu pun harus dihemat. Kujilati bilah tulang utuh yang tak berkaldu lagi, sambil menelan ludah. Sesekali kupijati pergelanganku, mencari denyut yang sudah lama tak ada, mencari skala waktu yang tepat untuk menggambarkan kekeringan di negeriku.

Tetanggaku bilang, beginilah stok ransum itu datang kepada kami. Seharusnya saban tahun, tetapi tak selalu. Lebih sering meleset, malah. Tergantung pasokan dan hasil panen raya. Masalahnya, kian tahun kian kering, panen kian gagal, dan beginilah. Pernah datang pasokan dua ekor ayam ke rumahku pada dua puluh tahun yang lalu, disusul segerobak makanan kaleng tiga bulan kemudian. Tak pernah aku mendapat stok ransum sedemikian banyak. Firasatku bilang bahwa itulah pasokan yang terakhir, dan kami harus bersiap untuk tidak dapat ransum dalam waktu yang sangat lama. Dan memang benar begitu.

Siang itu, ada yang mengetuk pintuku. Lama. Namun, ketika akhirnya aku berhasil mengintip keluar jendela, tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada sekotak kecil barang, berbungkus biru pastel, mengonggok di depan pintuku, menunggu diambil.

Kubuka pintu; kuambil paket itu. Ringan. Kurobek saja di tempat, dengan pintu masih terbuka. Tak ada angin yang berembus, dan tak ada tanda-tanda wangi makanan terkuar dari dalam kotak.

Perlu tiga detik bagiku untuk menemukan apa yang dibawa oleh kotak itu. Ketika aku mendapatinya, sesebat angin lewat, menerbangkannya.

Jauh, hingga melampaui pagar rumahku.

*

Untuk kesekian kalinya, minuman merah itu masuk ke gelas saya. Saya tak ingat sejak kapan muka saya menghangat, mata saya memburam, dan kepala saya melayang. Yang jelas, ingatan itu belum pergi.

Saya masih ingat mengapa saya tadi memutuskan untuk minum. Tadi pagi saya dipecat. Saya pikir pemecatan itu cuma mimpi. Jauh dari jangkauan dan perlu kekuatan lebih dari dunia ini untuk menjadikan itu nyata.

Ternyata, tidak. Saya mencubit punggung tangan dan menampar pipi saya, dan surat itu masih saja ada. Di layar saya dan tiga rekan lainnya tadi pagi.

Negara saya melarang pemakaian kertas lagi, sejak lima tahun yang lalu. Para pejabat tua itu takluk dan bilang kulit pohon patut dihargai seperti layaknya jiwa hewan dan sukma manusia. Usai petisi demi petisi, yang tak pernah saya sangka bakal menumbangkan undang-undang itu, mereka berhasil dapatkan apa yang mereka mau: dunia tanpa kertas, yang akan terwujud beberapa tahun lagi.

Perusahaan saya, yang cuma tahu memproduksi kertas dan kertas dan kertas, dari buku tulis, kertas rim-riman, kertas lipat, kertas kado, kertas sampul, hingga kertas koran; mulai tersengat tegangan tinggi. Rekan-rekan saya berhilangan satu-satu, kebanyakan tak sempat pamit. Tadinya di satu kubikel ada saya, Sem, dan Mar. Lalu tinggal saya dan Sem. Lalu tinggal saya sendiri karena Sem gantung diri. Saya sempat mengira masa kerja dua puluh tahun bisa membuat saya kebal dari penghilangan orang semacam ini, tetapi perlahan saya sadar bahwa saya pun rentan. Tidak kebal sama sekali terhadap pemberhentian.

Perlahan, tumpukan barang di gudang produksi menyusut.

Perlahan, dering telepon yang sering menyambar sepanjang hari kian sunyi.

Perlahan, ukuran kertas yang kami buat mengecil dari A4 menjadi B5, lalu A5, dan terakhir cuma seukuran kertas origami.

Saya rindu membaca apa yang tertulis di kertas.

Saya rindu bau kertas.

Saya ingat saya pernah selundupkan beberapa pak kertas yang kecil-kecil. Itu dulu sekali, waktu Sem masih hidup.

Mumpung saya belum mabuk, saya buka lemari. Saya dapati tiga potong kertas, ketiganya sudah terlipat jadi bunga. Tidak ada lagi sehabis itu. Saya ingat tentang saya yang dipecat, tetapi saya tak ingat kapan saya melipat kertas-kertas itu jadi bunga. Jadilah mereka saya gunting-gunting. Lalu saya laburkan remah-remah bunga itu ke dalam gelas. Saya hancurkan semua kecil-kecil pakai sendok, saya bantu pakai ujung pipet, saya gesek-gesekkan mereka ke tepi gelas, hingga serabut-serabut halus beterbangan pelan.

Seperti bunga yang tenggelam.

Yang menunggu saya minum.

Dan benar. Saya minum.

Terus.

Supaya tulisan di atas kertas itu terus ada di mata saya.

Supaya bau kertas itu terus ada di hidung saya.

Supaya ingatan itu melayang, terbang, ke seluruh badan saya.

Bersama kertas yang masuk ke lambung saya.

Bersama bunga yang tadinya bukan untuk saya, tetapi akan jadi untuk saya.

*

Baru saja aku hendak mengejar kertas lipat serupa teratai itu, ketika aku dipergoki seseorang.

“Ming.”

Tidak pernah ada yang memanggilku dengan nama itu sejak lama. Tidak tetanggaku (mereka biasa memanggilku Han), tidak juga polisi patroli yang biasa lalu lalang di jam-jam tertentu (mereka biasa memanggilku Puan). Aku mengingat-ingat siapa saja yang tahu namaku yang itu. Sepersekian detik, sudah ketemu; tetapi tetap saja, aku tak berani membayangkan siapa itu.

“Ming,” sahutnya lagi, “Ini punyamu?”

Rupanya benar dia. Dia, lelaki itu, mendahuluiku menunduk ke tanah, mendahuluiku memunguti teratai lipatku. Dia, pemilik suara yang pernah dekat denganku sejak sekian lama, tak mau pergi-pergi dari hidupku yang panjang.

Tanpa menjawab, kutarik lipatan kertas itu dari tangannya. Saking kerasnya tarikanku, beberapa kelopaknya tertekuk, jadilah serampangan. Mataku bolak-balik antara kertas dan matanya. Dia membuka mulut, ingin bicara, tetapi buru-buru kubalik badan, berlari menginjak-injak rumputnya yang asri, menuju rumputku yang kering tandus, terakhir pintu masuk rumahku sendiri.

Bagaimanapun, bunga kertas itu milikku. Dikirim untukku. Ke depan pintuku.

Mengapa bunga kertas itu malah memilih terbang ke dia terlebih dahulu?

Padahal, kertas itu bukan untuk dia!

Berani-beraninya dia!

Tunggu.

Bunga untukku?

Siapa yang mengirimnya?

*

Saya melipat terlalu banyak teratai kertas.

Di hari Sem ziarah, kami naik angkutan umum, supaya murah. Dengan susah payah saya menggotong tumpukan teratai kertas lipatan dalam sekali jalan ke pekuburan, begitu juga Sem dengan keranjang buah-buahannya yang besar, karena sopirnya tak mau menunggu. Makam mama Sem terletak di sebelah papa Sem, tak jauh dari pojok dekat pohon kemboja kurus yang kata Sem sudah berumur lebih dari lima puluh tahun, dan begitu bersih.

Saya teringat, di pekuburan ini juga Mama dimakamkan. Saya sendiri belum pernah datang lagi ke makam Mama sejak dia meninggal. Semua karena saya tak tahu metode komunikasi dengan Mama dan tak ada yang mengajari saya bagaimana caranya. Kebetulan, di tangan saya ada kelebihan bunga kertas. Seharusnya saya cuma melipat seribu satu, tetapi yang saya lipat ada seribu empat.

Sisa tiga saja.

Sem masih khusyuk memejam dan mengatupkan tangan ke dada, seakan dia menikmati kepulan asap dupa yang menguar. Saya melirik pemulasara makam yang sedang merokok di balik gerumbul kembang, diam-diam beringsut meminggir dari Sem. Bapak itu ramah. Dia menjawab tanya demi tanya saya dengan runut. Sampailah pada giliran ketika dia menanyakan nama Mama dan saya tersentak karena tak ingat. Saya cuma tahu nama saya sendiri. Bapak pemulasara makam menepuk bahu saya dan bilang tak apa. Saya akan dibantunya mencari nama Mama, lengkap dengan lokasi makamnya.

Tiga puluh menit kemudian, saya meletakkan tiga potong teratai kertas, tepat di bawah nisan Mama yang penuh debu. Saya merasa bersalah karena tidak pernah membawakannya buah-buahan. Saya merasa bersalah tak pernah datang ke makamnya sejak hari penguburan, yang penuh buah, penganan, dan beberapa potong ayam. Semata-mata karena saya tak percaya Mama butuh makanan di sana, atau butuh simbol-simbol dan upacara bahwa saya masih ada dan mengingatnya. Saya memang bersalah. Sebagai gantinya, saya mengucapkan deretan kata maaf dan beberapa rapalan yang saya pernah tahu. Terakhir saya menoleh ke makam Mama dalam mata penuh air, lalu mundur teratur dan pergi secepatnya.

Saya tak ingat apakah Sem kemudian belingsatan saat sadar saya hilang, lalu terkalang kabut mencari saya, lalu menemukan saya dan memarahi saya habis-habisan, atau tidak sama sekali. Saya juga tak ingat bagaimana hari mendung itu berakhir dan apa yang kami makan di malam harinya.

Yang saya ingat hanya tiga bunga itu.

Sore tadi, saya letakkan bunga itu di sana.

Saat saya masuk kamar di malam harinya, tiga bunga kertas yang persis sama tergeletak di atas meja saya.

Saya merinding.

*

Sejak pindah ke perumahan ini, aku tak pernah datang ke kantor lurah. Wajar saja kedatanganku disambut tatapan aneh. Mereka belum pernah melihatku, meskipun sudah sering berurusan dengan data pribadiku. Aku menemui Pak Lurah tak lama kemudian. Kutanyakan beberapa hal, termasuk asal usul kotak berisi tiga bunga teratai kertas yang kuterima sehari sebelumnya. Pak Lurah mengecek basis data dari raknya yang rapi, lalu ia menyodoriku sepotong kertas yang tidak begitu besar. Isinya sebuah tabel.

“Puan Han, ini nama-nama mereka.”

Hanya ada tiga nama di sana.

Nama pertama adalah namanya. Nama dia, yang nyaris mengambil bunga kertasku. Nama yang sudah kuniatkan untuk kuenyahkan dari hidupku selamanya. Tak mungkin dia.

Nama kedua adalah namaku. Tak mungkinlah aku menghadiahi diriku sendiri sesuatu yang aku tak tahu.

Nama ketiga adalah ….

*

Sejak sepuluh tahun yang lalu, saya gemar melipat-lipat kertas; padahal saya tahu aktivitas melipat kertas ini sudah mau dilarang pemerintah sebentar lagi. Saya tak peduli. Dalam tiga tahun saja, banyak sekali miniatur yang bisa saya buat dari kertas-kertas kecil itu. Ada burung, ada macan, ada jerapah, ada kancil, hingga buaya, meriam, rumah, dan terakhir….

“Ren, hari ini bikin apa?” tanya teman sebelah saya, Sem.

“Mawar,” jawab saya singkat.

Ya, mawar inilah ilmu lipatan kertas yang baru saja selesai saya pelajari. Relatif sulit, tetapi saya cuma butuh dua hari.

“Tumben, kamu bikin bunga. Biasanya kan bikin binatang.”

Saya mesem sedikit, mengangguk, dan lanjut melipat kelopak-kelopak penghabisan.

“Ren,” Sem beringsut, sambil dia rendahkan suaranya, “Kamu bantu aku saja, ngelipat-lipat untuk Mama.”

“Mamamu? Mamamu suka kertas lipat gini?”

“Enggak,” jawab Sem pelan, “Mama udah enggak ada, Ren.”

Ganti saya yang terdiam. Saya selalu tidak enakan ketika mendengar berita kematian, entah itu dari sanak, ataupun sekadar dari teman yang tak berhubungan darah. Saya membayangkan kejadian yang saya alami waktu berumur delapan ikut dialami oleh orang lain dan perasaan saya nyaris selalu sakit karenanya. Sakit yang beda-beda derajatnya, tetapi saya tahu sumbernya sama, tujuannya juga sama.

“Ini untuk Mama. Mama menunggu kiriman kertas-kertas di makamnya. Aku seharusnya ke sana tiga hari lagi. Sementara….”

“Sementara kamu tidak bisa….”

Sem mengangguk.

Saya penasaran apakah bunga yang diminta mama Sem itu harus bunga tertentu. Selain karena saya belum bisa melipat apa-apa selain mawar, mawar bikinan saya pun saya rasa belum bagus-bagus amat. Saya khawatir mama Sem kecewa melihat bunga yang buruk rupa begini.

“Tidak apa, Ren. Kamu bisalah. Aku udah dapat tutorial bikin teratai di internet. Ini lengkap sekali.”

Saya menyanggupinya tanpa berpikir panjang.

Tanpa mengingat Mama dan Papa, yang bertengkar terus sampai mereka pergi selamanya.

*

… anakku satu-satunya.

Pasti dia, tak salah lagi.

Aku tak tahu seperti apa dunianya sekarang. Apakah dunianya—yang makin buruk saja ketika kutinggal dulu—masih ditumbuhi buah, dilelangkahi ayam, dialiri air, dan dinaungi udara segar. Aku tak tahu juga seperti apa rupanya sekarang. Tak jadi soal. Yang terpenting, dia masih mengingatku. Tiga bunga kertas ini buktinya.

Di belakangku, pintu terbuka. Sekretaris menyilakan seorang penduduk baru masuk, karena ia ingin melapor. Aku dan Pak Lurah menoleh.

“Mama.”

Tidak pernah ada yang memanggilku begitu sejak lama. Bedanya, kali ini aku tak perlu mengingat siapa saja yang tahu panggilanku yang itu.

Karena cuma dia yang tahu.

Cuma Ren.[]