image by www.istockphoto.com

Sebuah pohon Trembesi tumbuh di tepian sungai Gali. Cukup besar dan akarnya merambah hingga ke dasar sungai. Alirannya yang tenang cukup menciptakan pemandangan dan suasana wening bahkan kewingitan tersendiri. Setidaknya dalam satu tahun terakhir ini banyak yang mengkeramatkan pohon itu. Sampai-sampai tak ada yang berani singgah ataupun menebangnya. Alasannya, seorang korban telah meninggal tenggelam dengan cerita-cerita aneh di belakangnya. Lalu terembus kepercayaan yang membuat semua tak ingin mendekatinya.

Sungai Gali membelah dua persawahan yang luas. Pohon itu mungkin telah berusia puluhan atau ratusan tahun. Dua orang dewasa yang melingkarkan tangannya pada batang pohon itu takkan cukup melingkarinya. Di sekitaran pohon itu tumbuh semak belukar yang dibiarkan lama tak terurus. Sekitar lima puluh meter dari pohon itu, ada tanaman yang sengaja ditanam untuk dapat diambil manfaatnya, seperti: ketela, claka-cliki, cabai, ada juga pisang. Jika tak jelas siapa yang menanam, atau si penanam mengizinkan orang lain memanennya, tentu siapa pun boleh mengambilnya.

Saat musim hujan biasanya air akan meluber menyamai tinggi tanggul. Alirannya akan sangat mengerikan bagi orang yang takut air. Sampah dan carangan sering kali ikut hanyut, sementara air jauh lebih kotor karena lumpur. Tapi carangan bisa diambil untuk dijemur dan dijadikan kayu bakar.

Sapon selalu melakukannya, dari atas jembatan bambu yang dibuat gotong-royong dengan warga sekitar untuk jalur menyebrangi sungai. Jika diukur dari pohon Trembesi, letak jembatan itu lebih dekat ke permukiman. Namun setelah ada jembatan itu, sampah dan carangan makin membuatnya tertahan saat banjir. Jika tak dibersihkan justru akan menghambat aliran sungai.

Dengan sebatang bambu tak terlalu besar yang dibuat pengait di ujungnya. Sapon menggapai carangan itu. Sementara sampah-sampah yang lain dia biarkan ikut aliran air sungai. Terkadang kakinya gemetar saat berdiri di atas jembatan. Apalagi saat angin bertiup dan kakinya berusaha menyeimbangkan tubuhnya. Suara keriut jembatan bambu makin membuatnya bergidik ngeri.

Namun sekarang bukanlah musim hujan. Sudah beberapa bulan tak turun hujan. Dan dalam beberapa tahun terakhir, ini adalah kemarau terparah yang mengeringkan sungai Gali. Sebelumnya belum pernah sekering ini. Lumpur di sawah mengeras dan pecah-pecah. Entah kapan musim tanam akan dimulai. Sungai hanya menyisakan aliran kecil air di bagian tengah, sementara bagian pinggirnya kering dan terlihat menjalar akar-akar pohon yang tumbuh di tepian sungai, salah satu yang sangat terlihat adalah akar pohon Trembesi. Di sela-sela akar itu ada beberapa lubang, mungkin itu tempat kepiting atau ular bersarang. Sampah-sampah juga berserakan.

Sapon berdiri di atas jembatan memandangi genangan-genangan air di bawahnya, banyak ikan-ikan kecil yang terjebak di sana. Ikan curing suka bergerombol dan cukup mudah dijaring menggunakan seser dalam genangan air seperti itu, dan hanya butuh seser berukuran kecil seperti saringan teh dengan diameter sekitar satu jengkal. Jika sedang beruntung, bisa saja bakal menemukan ikan yang cukup besar terjebak dalam genangan air, seperti ikan gabus misalnya.

Saat turun ke sungai melalui undak-undak pada tanggul, kakinya tak begitu melesak karena lebih banyak pasir dan kerikil yang berada di dasarnya. Tentu harus hati-hati melangkah, bisa saja sesuatu yang tajam menusuk kakinya. Ekor ikan itu berkibas-kibas, ada sebagian dengan ekor berwarna kebiruan. Pelan-pelan Sapon menyeser ke dasar genangan. Setelah ikan masuk, seser itu diangkat lalu terlihat ikan-ikan itu bergelimpangan dalam kantong seser. Kemudian diambil untuk dimasukkan ke dalam ember kecil.

Butuh waktu cukup lama dan melangkah cukup jauh menyusuri sungai jika ingin dapat ikan lebih banyak. Saat cukup dekat dengan akar Trembesi yang menjalar di dasar sungai, dia berpikir untuk tak mau mendekati pohon itu, namun matanya melihat sebuah karung goni berukuran kecil yang tersangkut pada akar. Terlihat berisi sesuatu karena menggembung. Permukaannya terselimut lumpur dan lumut.

Setelah berpikir, akhirnya dia letakkan ember kecilnya lalu menutupkan seser itu di atasnya. Jika dilihat dari bawah, pohon itu terlihat serupa Begawan dengan hawa aneh yang menyelimuti. Tangan ragunya sedikit gemetar saat mengambil karung goni itu. Bulu tengkuknya juga merinding. Dia sempat berpikir, mungkin itu berisi benda-benda tak berguna yang bisa dijual. Saat ikatan dibuka, cukup tipis tercium aroma busuk lumpur yang bercampur.

Terlihat di dalamnya ada sebuah batu cukup besar dan sekumpulan tulang belulang yang setelah diamati, itu adalah tulang manusia. Nampak jelas bentuk tengkorak kecil yang mirip dengan kepala manusia. Syaraf kejutnya bekerja tiba-tiba, tangannya makin gemetar dan dia melemparnya begitu saja. Napasnya memburu dan tak menyangka. Bahkan saking terkejutnya, sampai jatuh terduduk dan lemah seketika. Dalam pikirannya tersusun sebuah cerita yang masuk dalam duga sangka. Dia percaya, sesuatu yang mengerikan telah terjadi dan tersembunyi di sungai Gali.

Lalu dia memberanikan diri meraih itu lagi, membungkusnya kembali untuk dibawanya naik ke atas. Tak ada orang sejauh matanya melihat. Dengan terburu-buru Sapon berjalan cepat menuju permukiman. Tulang-tulang itu berbunyi karena hentakan kakinya saat berlari. Namun tenaga tuanya tak lagi sanggup berlari bahkan pingsan dengan posisi tertelungkup di tanah.

Saat terbangun, Sapon sudah terbaring di atas dipan dalam rumahnya sendiri. Pandangannya sedikit kabur dan mulai jelas perlahan. Asih, anak perempuan semata wayangnya duduk di sampingnya sambil memijit-mijit kepalanya dan memandangnya cemas. Beberapa orang mengelilinginya sambil menggeremang entah.

“Bapak tidak apa-apa? Tadi Bu Surti yang menemukan Bapak pingsan di tanggul tepi sungai,” kata Asih sambil mengarahkan pandangannya ke sosok perempuan di belakangnya. Sapon juga ikut memandang perempuan itu, di pipi kirinya punya tahi lalat besar dan rambutnya diikat di belakang kepalanya seperti kepalan tangan. Lalu berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi di sungai Gali. Sesuatu yang dia temukan membuatnya gemetar lalu naik dan berlari di tanggul.

            “Di mana kantong itu?” tanya Sapon.

            “Kantong semacam apa itu, Pak?” tanya Surti balik.

            “Sebuah karung goni tak terlalu besar yang kubawa dari dasar sungai,” jelasnya.

            “Tak ada apa pun di sana, hanya ember kecil dan seser milikmu,” kata Surti.

            Sapon heran, ia masih sangat ingat apa yang dia temukan dalam karung itu, tulang-tulang manusia seukuran tulang bayi. Lalu semua yang berkumpul di rumahnya menyarankan untuk banyak-banyak mengingat Yang Kuasa dan jangan pergi ke pohon itu lagi. Seolah-olah Sapon mengalami kejadian mistis yang jadi kepercayaan orang-orang.

            “Tempat wingit seperti itu tak seharusnya dikunjungi, Pak. Apalagi mencari ikan. Aku pernah dengar ada orang yang menangkap ikan gabus besar di bawah pohon itu. Setelah dibawa pulang ikan itu ditaruh dalam ember berisi air. Lalu saat malam si penangkap bermimpi aneh: seorang tua berjenggot hingga menyentuh tanah memberinya sebuah pesan agar ikan itu dikembalikan ke tempat semula.Keesokan harinya setelah bangun, si penangkap melihat ikan itu bisa berkedip,” jelas Surti. Semua mengamini dan percaya apa yang dikatakan perempuan itu, termasuk Asih.

            “Aku ingat betul karung itu berisi tulang-tulang masnusia,” ujar Sapon.

            “Itu tak nyata, Pak,” ujar Surti.

            “Apa Anda orang sini?” tanya Sapon penasaran.

            “Bukan, hanya pendatang. Rumah kontrakanku sekitar dua ratus meter dari sini, dan sudah satu tahunan lebih saya tinggal di kampung ini.”

            “Kau tinggal sendiri?” tanya Sapon masih ingin tahu.

            “Hanya dengan anak perempuanku,” jawabnya sambil melihat ke arah lain.

            Setelah semua pulang, hanya ada Sapon dan Asih saja. Semua telah menganggapnya benar-benar mengalami gangguan mistis di bawah pohon Trembesi. Telah menjadi kepercayaan dan entah dari mana cerita awalnya itu diembuskan. Hingga semua enggan menggeledah apa yang sebenarnya terjadi dan lebih memilih menjauhi.

            Keesokan harinya, Sapon memandangi langit-langit rumah sambil tiduran, masih lebih banyak ketidakpercayaannya pada cerita itu, meski sedikit juga ada rasa takut dan merinding saat berada di dekat pohon itu kemarin.

“Semua memang telah mengatakan seperti itu, Pak. Jangan kembali ke sana lagi,” ujar Asih memecah lamunannya.

            “Bukannya Bapak tak percaya itu, Sih. Sungai itu memang telah merenggut Ibumu. Namun tak ada saksi yang kuat bahwa itu nyata karena ulah mahluk halus,” ujar Sapon.

            “Sebelumnya Ibu juga pernah cerita, beberapa kali dia melihat seorang perempuan yang berdiri di tepi sungai Gali di bawah pohon itu. Memandangi airnya yang tenang. Hanya diam.” Asih bercerita.

            “Cuma itu?” Sapon mempertanyakan.

            “Waktu itu Ibu memang suka berjalan di tepian sungai Gali untuk memetik Claka-cliki. Tak lama setelah Ibu cerita, lalu peristiwa itu terjadi. Mungkin Ibu adalah yang pertama bercerita tentang kewingitan sungai Gali. Bapak tak percaya cerita Ibu?” jelas Asih meyakinkan.

”Tentu aku percaya, Sih. Tapi….”

“Bagus. Jauhi saja pohon Trembesi itu. Aku tak ingin kehilangan yang kedua kali,” sergah Asih.

Semua dengan kesimpulan yang sama, bahkan Asih juga begitu. Namun dalam hati Sapon ada sebuah kejanggalan yang membuatnya gelisah. Mungkin saja soal cerita Asih dari ibunya itu benar, namun orang yang mendengar cerita itu bisa saja salah mengartikan dan cerita berkembang tak terkendali.

Tanpa sepengetahuan Asih, Sapon pergi sendirian ke tempat itu lagi. Berdiri di samping pohon Trembesi yang dikeramatkan orang. Mengamati pohon itu dari dekat dan dari berbagai sisi. Meraba dan menepuki batang pohon itu, lalu menjatuhkan pandangan ke dasar sungai. Terlihat akar-akar itu menjalar. Beberapa sampah plastik masih tersangkut pada akar itu. Namun saat itu tengkuknya mulai merinding, teringat sekantong tulang yang dia temukan sebelumnya.

Lalu menjauhlah Sapon dari pohon itu. Berjalan menyusuri tepian, perasaan itu menghilang setelah sampai di jembatan bambu. Sapon berdiri di atas jembatan itu, diam dan memandangi sungai. Teringat kembali ibunya yang tenggelam di sungai Gali. Tak ada saksi yang melihat langsung kejadian itu. Sementara seseorang yang menemukan jasadnya pertama kali adalah pemancing ikan yang kebetulan lewat. Lalu memanggil warga hingga timbul kerumunan.

Sapon tentu sempat mengalami goncangan jiwa, begitu juga Asih yang menangis sangat keras hingga pingsan. Saat semua berkumpul, perempuan dengan tahi lalat besar itu juga ada di sana. Tenang dan tak banyak ekspresi.

“Pak?” Suara Asih terdengar mendalam memecah lamunan. “Ayo pulang,” ujarnya lagi. Mungkin dia masih trauma dengan yang menimpa Ibunya.

“Aku teringat Ibumu, Sih,” ujar Sapon dengan nada bergetar.

Asih menangis sambil menutupi mulutnya. Tubuhnya ikut berguncang saat dia menangis. Sapon menghampirinya lalu menguatkannya. Setelah mulai terlihat tenang, Sapon mengajaknya bicara lagi.

“Apa Ibu pernah cerita, seperti apa sosok yang berdiri di bawah pohon Trembesi?” tanya Sapon.

“Rambut ikal dibiarkan tergerai menutupi sebagian wajahnya dan ada titik hitam di pipi kirinya. Saat ibu melihatnya pertama kali, perempuan itu membuang sebuah kantong ke sungai Gali,” jelas Asih.