Yogyakarta, Malam Hari

Kau datang dari Jakarta, dengan rindu, dengan pertanyaan
keheranan dan mengapa Yogyakarta membawamu untuk kembali padaku
kita menghitung banyak lampu kuning yang redup, lupa dinyalakan, atau sudah putus
terlalu lama di jalan-jalanan Yogya. Di kelokan yang dijatuhi gelap
dan bintang menghindar menerangi jalan kita. Seperti ada rindu yang aneh
menempel di leherku yang segera kau elus dengan rambutmu. Motor bebekku
yang serupa takdir mengajak kita mampir di sebuah angkringan yang sepi
ditinggalkan hiruk pikuk orang-orang yang berfoto di sebuah papan nama,
di sebuah kelokan yang diterangi bintang. Kau memesan segelas susu hangat
memakan sego kucing dipadukan dengan sate usus kesukaanmu.
Aku hanya meminum kopi jos, arangnya merah menyala
meletup-letup di hatiku, di matamu. Lalu arang yang memanas itu redup
di kopiku, basah seperti mataku, di hatimu. Seorang pengamen datang dari kegelapan malam
menyanyikan lagu untuk kita. Ini lagu yang akan selalu kuingat tentangmu. Kau berbisik.
Menarilah denganku, sebelum aku pergi. Kau menarik tanganku
di sebuah jalan lenggang dengan kaki terbuka kita berloncat-loncat bahagia lalu tiba-tiba aku seperti tidak siap dengan semua kehilangan aneh yang menyesakkan di dadaku

**

Ular dan Apel

Pohon sesawi menggugurkan ular dan apel
dari batangnya yang dingin

Kita di bawahnya memadu kasih
di kedua tanganmu ular dan apel berpangku

di telingamu ular mendesis memintamu memakan apel itu
di tanganmu apel memerah memintamu menguliti mata ular itu

mana yang kau pilih?
hukuman atau cinta tuhan

dengan berani kau ambil batu yang kelak akan tumbuh di kepala anakmu
menghantam keduanya hingga mati

dan pembunuhan masih terus berlanjut
hingga kini

Jakarta, 2020

*

Lelaki Terakhir di Dermaga

Dalam ingatanku panorama pantai
langit sepia, burung camar, debur ombak dan nelayan yang melepas jala
juga kepergianmu jauh menyebrangi selat ketiga dari laut yang tak pernah ada

Sapu tanganmu terhempas menyatu di genggamanku
masih bisa kurasakan manisnya air matamu
atau bekas gincu dari bibirmu menggetirkan semua ucapan perpisahan

Pada semua yang terbenam di lautan
kau hanya berharap untuk tidak menemukan aku
dalam bias gelombang yang mengantarkan ingatan ke tepian

Biar aku berdiri dan menunggu di sini meski semua kepercayaan telah karam
dan dalam ingatanku panorama pantai
langit sepia, burung camar, debur ombak dan nelayan yang melepas jala
tersimpan dalam sapu tangan peninggalanmu

Jakarta, 2020