Bayangan
—Seseorang yang Turun dari Langit
Aku tahu, setahun sudah rantai dari laut itu mengikat masing-masing sebelah kaki kita. Sehingga kita tak bisa menjauh, meski sekadar untuk bilang, “Aku butuh kesendirian untuk menyalakan api di dalam kepala.” Tak bisa. Kalau pun bisa, salah satunya pasti pura-pura menutup mata dengan kaca atau menutup telinga dengan earphone yang tak bekerja.
Karena putihnya jiwamu, kutawarkan kedua tangan untuk kaugunakan untuk menjangkau apa saja. Bahkan tanpa kau buka suara, tanganku sudah bekerja sebab ia kuasa menangkap sinyal yang berkerlipan di alam mimpimu. Banyak hal tak masuk akal kita lalui; dari memedulikanmu seperti kekasih paling posesif hingga kau siap sedia menjadi eksekutor semua apa yang telanjur aku akui.
Padamu, aku menjadi siaga untuk masa depan. Aku lupa kalau kau berayah-ibu. Aku menutup mata kalau kau punya saudara. Aku memaksakan diri bahwa hanya aku yang bisa. Dan bodohnya aku adalah, aku pikir kau pun akan begitu. “Bantulah risetku dan buatkan sebatang puisi untuk halaman persembahan mahakaryaku itu.” Kau mungkin tertawa ketika aku jauh. Kau mungkin menggeleng-gelengkan kepala ketika waktu berlalu. Kau akan mengangguk ketika jiwamu gembira-raya dan berlarian tunggang-langgang ketika aku menagihnya. Pada suatu waktu, ketika kau mengelak, aku sungguh merasa menjadi seorang pemerkosa yang menjijikkan!—Mati-matian aku melupakan itu, tapi … sungguh hingga kini perasaan terhina masih mengolok-olokku.
Hingga akhirnya, kuambil jalan tengah. Aku berdamai dengan prasangka. Langit jatuh. Bumi jadi biru. Dan cuma pada setangkai puisi-yang-kaujanjikan itu kugantungkan kelangsungan hidupku (oh, hidup seniman tanpa karya adalah kematian yang komedi—ibarat mayat hidup yang ditakuti sekaligus ditertawai!)
Dear, Seseorang yang Turun dari Langit. Waktu menunjukkan pukul 00.07 dan tanggal telah menjadi 16 Desember dan hari telah menjadi kupu-kupu. Mungkin kau kira, telat beberapa saat dapatlah dimaklumi. Sebagaimana selama ini terjadi. Sebagaimana kemarahan selalu padam oleh maaf tanpa koma, titik dan tanda seru. Tapi… ini sudah belasan purnama. Ribuan bintang bosan mengerlap-ngerlip menandai waktu yang mati dan berlalu. Tapi… tenggat itu habis sudah. Risetku jadi abu. Puisimu jadi hantu. Tapi hidup di jalan yang berdebu harus ditempuh. Meski semuanya jadi biru.
Kau pernah melihat lilin yang menggelepor di lantai dengan tubuh yang nyaris kawin dengan lantai pada suatu pagi karena semua asa habis untuk menerangi kegelapan yang terlelap dan bermimpi indah malam harinya? Pernah? Pernah, kan? Nah, itu aku malam ini, detik kau membaca bagian ini.
Malam ini, beberapa saat setelah puisi itu moksa sebelum sempat berdikari di kotak masuk ponselku atau terukir di novel yang takkan pernah ada itu, tindakanmu akhirnya mengatakan kalau rantai di sebelah kakimu selama ini memang tak pernah terkunci. Kala kulelap, kau mengembara ke mana-mana. “Berpikirlah dengan jernih!” hardikmu tiba-tiba, “Siapa yang sudi menunggu terlalu lama untuk cita-cita yang selalu menjadi bumerang tiap kali kaubantu-terbangkan, hah?” Kau mendelik. Sungguh aku tak pernah melihatmu semengerikan ini, semengerikan malam ini.
Semua kesempatan dan waktu menjadi api dan nyalanya begitu menyiksa. Biru. Menjalar ke mana-mana. Memamah apa saja—tak terkecuali harapan yang sia-sia. Untuk kemudian membakar ke dalam tubuh dan semua kisah yang luar biasa hebat di masa lalu.
Sungguh. Kau akan tetap jadi bagian hari-hariku, wahai Seseorang yang Turun dari Langit, sebagaimana aku yang kerap mengingatkanmu agar tak lupa salat atau memintamu mampir ke rumah pukul 21.30. Semua akan tetap sama, kecuali satu hal yang kutandai biru-biru, tebal-tebal, cetak miring, dengan garis bawah berwarna lebih menyala: bahwa aku teramat sangat kecewa sebab kau tak menganggap hidupku sebagaimana aku memeluk mimpimu! Untuk ke-17 kali aku merasa menjadi bodoh, paling hina, dan paling sempurna untuk ditertawai! Makan tuh riset dan puisi!!
Aku akan memulai segalanya dari awal. Bukan. Bukan untuk menunggu orang-yang-jatuh-dari-langit lainnya. Bukan. Aku akan memulai segalanya dari nol. Kamu pasti tahu apa itu. Kamu pasti tahu bagaimana air mukaku saat ini. Meski takkan bisa persis, kamu bisa mengira-ngira bagaimana rasanya menjadi bayangan.
Selamat datang, hidup yang baru.
Lubuklinggau, 16-12-2018
Rahasia
Ternyata tak mudah lepas darimu. Umpama mengayuh waktu dengan sebelah kaki. Umpama kelaparan di supermarket tanpa uang dan kartu kredit. Meski begitu, aku masih berharap kalau ini cara Tuhan untuk membuat kesalahapahaman makin dalam, menganga, dan takkuasa dikendalikan, hingga… akhirnya aku membiarkan kesibukan membuangmu jauh-jauh (entah berapa lama, dan jangan tanya pula untuk apa!), hingga akhirnya kau tahu dan sadar apalah aku; hanya seseorang yang begitu mencintaimu dan ingin selalu membaui feromonmu—dan bisa mati bisa lebih dari tiga hari kehilanganmu.
Ternyata tak mudah jauh darimu. Umpama membakar hati yang hanya aku yang tahu di mana ia, kapan ia menjadikan tiada, sebesar apa ia kubangun, secantik apa ia kuhias, senyaman ia kutempati—dan sesekali kuseret kau!—untuk bercerita apa saja. Asal kau ada di dekatku, asal kuasa kugenggam-remas tangan kirimu, asal bisa kucium pipimu di kala langit mengungu. Kamu tahu ungu? Ketika kenangan yang magenta dan siannya hasrat dituang ke atas api yang kehilangan nama, nyalanya berkibar-kibar dalam 1850 derajat celcius!
Lalu apa dan siapa yang terbakar? Kau bisa saja menebak itu aku. Tapi kau mungkin lupa kalau sebelum lelap malam itu, telah kukeluarkan segumpal darah di sisi kiri hidupku, untuk kemudian kususupkan ke dalam jiwamu, ke dalam lubuk terdalam dari rahasia itu.
Lubuklinggau, 17-12-2018