Bunga di Pusara

kematian adalah proses merelakan yang melelahkan
hilang berarti pulang, dan pulang selalu menuju hilang
barangkali kepergian adalah jalan terbaik
atas pesakitan dan perjuangan yang tak pernah usai
tak ada yang tersisa, kecuali nasihat yang sudah kubungkus
dalam daun-daun memori.

izinkan kutaburkan bunga di pusara,
meski sekali dan sangat perih
izinkan kulantunkan doa-doa
meski selalu menyulut air mata
izinkan kuucap selamat tinggal
dengan tenaga yang tersisa
kaupergi; tapi masih terasa ada

Surabaya, 20 Agustus 2019

*

Kepada Seseorang Yang

: Rahman El Hakim

sebelum detak jam berjalan,
segala tercecer di gigir lantai dan terpaksa kupunguti
jadi tembang kesedihan. sesak di dada makin tenggelam
dalam larutan kata-kata. tuturmu adalah teka-teki,
mendidih bersama perih yang temaram

sebelum detak jam berjalan,
biarkan kusesap air mata untuk terakhir kali
hingga senyum simpul kutemukan di kerutan wajahmu
yang berdiri sejak tadi dalam memori

sebelum detak jam berjalan,
lewat kail pancing, aliran sungai, dan bermuara
di dada. mengabarkan bahwa kau baik-baik saja
menerima rangkaian doa-doa

sebelum detak jam berjalan,
dan membuat rasa tak rela berarak makin dalam
mengantar hawa dingin pulang dalam kenang
yang tergenang

Surabaya, 20 Agustus 2019

*

Matahari dari Timur

sejak saat itu, kulihat matahari berarak dari timur
melakukan pengembaraan yang entah,
mencari Tuhan, katamu. Hingga segala kurasa
seperti labirin waktu yang membawa prestasi dan amunisi

barangkali kau ingin mencatat segala dalam bilik rahasia
yang kau dan Tuhan yang tahu. Bukan hanya aku
yang menyaksikan kau membaca puisi dalam panggung kehidupan
menulis naskah-naskah drama yang ditukar dengan tropy
atau monolog dan pantomim yang berkisah hidup
yang beraneka warna

barangkali kau memang berwujud cahaya
yang selalu menerangi sudut-sudut gulita
hingga segala hanya sebatas pernah
dan menjadi sejarah untukmu dan dunia

Surabaya, 20 Agustus 2019