Kriiiiiiiing…!!!
Di pagi yang masih dingin itu, alarmku berbunyi dengan kerasnya sampai memekakkan telingaku. Aku masih bermalas-malasan di atas tempat tidur.
“Sheeva bangun!” ujar Ibu. “Sudah tahu sekolahnya jauh, kok malah malas-malasan. Memangnya mau bangun jam berapa lagi?” tegas Ibu sambil memberikan handuk kepadaku.
Aku kaget. Ini jam berapa? Aku pun langsung melihat ke arah jam dinding. Ternyata sudah pukul setengah enam pagi. Aku langsung mengambil handuk yang diberikan Ibu, berlari menuju kamar mandi.
Setelah berpakaian rapi, aku bergegas sarapan. Saat aku makan, ibuku mengingatkan, “Jangan lupa buku-bukunya, Sheeva.” Karena aku terburu-buru, aku tak sempat menjawab kata-kata Ibu. Aku langsung berpamitan, lalu berangkat ke sekolah.
“Alhamdulillah, aku tidak terlambat,” aku membatin sambil menaruh sepeda di parkiran belakang kelas.
Bel masuk berbunyi. Aku dan teman-teman berbaris di depan kelas. Lalu masuk ruang kelas V-C sambil menyalami Pak Adi, guru kelas kami. Setelah berdoa, kami mulai pembelajaran.
“Ayo kumpulkan PR kalian!” ucap Pak Adi yang duduk di kursinya. Dengan santainya aku membuka tas. Mencari-cari buku tugas. Mataku langsung terbelalak. Aku mengulang mancari buku itu lagi. Aku keluarkan semua isi tasku, tapi buku itu tidak ada.
Aku bergumam, “Ya Allah, buku tugasku ketinggalan. Bagaimana ini? Ternyata aku tidak membawa buku tugasku,” sambil menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tidak terasa gatal.
Aku memberanikan diri maju ke depan. Dengan langkah agak takut dimarahi, aku menuju ke Pak Adi. “Pak, saya mohon maaf, hari ini buku tugas saya ketinggalan di rumah. Jadi, saya tidak bisa mengumpulkannya sekarang, Pak.”
Pak Adi menasihati dan memperingatkanku agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Aku juga sangat merasa bersalah.
Pelajaran demi pelajaran kulewati. Tak terasa bel pulang berbunyi. Aku pulang dengan lesu karena keteledoranku tadi. Kukayuh sepedaku perlahan menuju rumah.
***
Setelah sampai di rumah, aku langsung berganti pakaian. Lalu aku makan makanan yang sudah disiapkan di meja makan. Namun, tetap saja masih lesu, padahal makanan yang ada di hadapanku adalah bandeng presto kesukaanku.
Tak lama kemudian, Ibu menyuruhku untuk membeli barang di Pasar Krisna. “Sheeva, tolong beli roti, mentega, keju, dan kecap,” pinta Ibu sambil memberikan uang Rp50.000,- kepadaku.
Aku menerima uang dari Ibu sambil mengatakan beberapa permintaan padanya. “Emmm, Ibu, jika ada kembaliannya, bolehkah aku membeli beberapa makanan ringan?” Ibu mengangguk tanda setuju. Aku sangat senang sekali. Aku langsung berpamitan dan bergegas mengeluarkan sepedaku.
Sampailah aku di Pasar Krisna yang jaraknya sekitar 600 meter dari rumahku. Bu Lik Marmi langsung menyambutku dengan ramah. “Beli apa, Nduk?” Aku sebutkan barang-barang yang dipesan ibuku tadi. Juga beli jajanan kesukaanku.
Sambil menunggu Bu Lik mengambilkan barang-barang yang kubeli, aku bergumam, “Kira-kira uangnya cukup gak ya?” Lalu aku memutuskan untuk menghitungnya terlebih dahulu. Ternyata setelah kuhitung, uangnya tidak cukup untuk membeli semuanya. Kemudian kuputuskan, aku tidak jadi membeli jajanan kesukaanku. Dengan berat hati harus kurelakan tidak membeli makanan itu.
Sampai di rumah, aku menceritakan apa yang terjadi pada Ibu. “Ibu, aku tadi tidak jadi membeli makanan ringan karena uangnya tidak cukup. Untung saja aku menghitungnya lebih dulu semua belanjaan sebelum membayar. Aku jadi sedih, Bu.”
Ibuku tersenyum lalu berkata, “Ibu tahu kamu kecewa karena tidak bisa membeli makanan kesukaanmu, tapi tahukah kamu, Sheeva. Kamu sudah banyak belajar hari ini.”
Aku bingung mendengar kata-kata Ibu. “Banyak belajar bagaimana, Bu? Masak sih, Bu?” tanyaku keheranan.
“Coba kamu pikir lagi. Pagi tadi kamu sudah berusaha belajar membagi waktu, meskipun hasilnya kacau. Ada buku tugas yang ketinggalan. Itu berarti kamu harus belajar lagi bagaimana membagi waktu karena banyak yang harus dipersiapkan. Kan sekolahmu jauh dari rumah. Sekitar hampir dua kilometer. Terus kamu juga sudah belajar mendahulukan mana kebutuhan yang utama, meskipun harus kecewa karena tidak jadi beli makanan ringan kesukaanmu. Selanjutnya kamu telah belajar berhitung tanpa kamu sadari, bukan?” terang Ibu.
“Kamu sudah belajar Matematika sebelum membayar belanjaanmu,” lanjut Ibu.
“Hehehe…. Oh, iya ya, Bu,” jawabku sambil tersenyum.
“Itu artinya kita bisa belajar di mana dan kapan saja, Sheeva, karena belajar tak hanya di bangku sekolah saja. Di rumah, di pasar, di mana pun kita harus tetap belajar. Seperti yang telah kamu lakukan hari ini. Berjanjilah, esok kamu harus belajar lebih banyak lagi ya. Jangan lupa, buku tugasmu.” Ibu menutup pembicaraan kami berdua.
“Siap, Bu! Akan selalu kuingat sampai kapan pun nasihat Ibu tadi. Terima kasih untuk pembelajaran hari ini, Bu. Sangat berharga sekali buatku.” Aku pun memeluk Ibu erat-erat.[]