Seorang novelis berkutat berjam-jam di depan selembar kertas, tapi belum terlintas satu kata pun yang layak. Sebongkah ide sudah dia matangkan di kepala sejak tiga bulan lalu. Dia tidak ingin menyerah. Dia tetap duduk, berlatarkan kesibukan taman kota yang beralih situasi; dari sepi, menuju gaduh, kembali sepi, memikirkan kata pertama yang harusnya ajaib, karena jika kata pertama buruk, dia hanya akan melanjutkannya dengan kata kedua, ketiga, keempat, yang juga buruk.
“Bagaimana mengharapkan karyaku bagus jika kalimat pertamanya saja buruk?”
Ketika dia menyadari suasana sekitar telah cukup gelap, dia tampak tidak berminat menatap kertasnya atau sekadar duduk selagi membiarkan kertas tadi bertahan oleh serbuan angin tanpa bisa terbang sebab tertimpa tangannya. Dengan perasaan kecewa yang lama-lama terasa biasa, sang novelis pulang.
Dalam perjalanan pulang, novelis yang tak pernah dikenal orang karena karyanya tidak laku itu berharap ada peristiwa di luar rutinitas kota, misal terjadi perampokan yang pelakunya dengan keji menghabisi sang korban.
“Tapi,” pikirnya, “kematian biasa tak akan menggugah perasaan atau semangat orang. Kematian biasa segera dilupakan. Seorang guru piano mati tergeletak setelah ditembak perampok. Atau, dokter gigi muda lulusan universitas di Amerika mati setelah ditusuk perampok malam itu. Ah, tak ada yang menarik. Bukankah orang kota cepat lupa pada beragam hal yang tak benar-benar mereka alami dan sama sekali bukan urusan mereka?”
Maka, kematian tak biasa mengelebat dalam kepala sang novelis, misal kematian seorang desainer terkenal yang mati-matian mempertahankan sejumlah harta yang tersimpan dalam kopernya, sementara fisik si perampok jauh lebih bugar. Dia mati digorok selagi hari masih cukup terang; matahari belum benar-benar rebah di barat sehingga tiap orang yang berkeliaran di luar, yang jumlahnya sangat banyak, menatap peristiwa penggorokan dan tak akan bisa melupakannya. Lalu, muncul dugaan-dugaan bahwa perampok itu merasa dia sudah menemui jalan buntu dan tak ada cara lain selain membunuh korban di lokasi yang ramai hanya demi segera menunaikan tugas merampok. Atau, boleh jadi perampok itu memang mudah membunuh tanpa alasan. Namun, apa pun motif penggorokan saat ada saksi terlalu banyak, yang paling orang ingat justru kematian itu; seorang desainer digorok dan disaksikan sejumlah besar pengunjung taman. Ah, berita yang begini tak akan hilang dari ingatan!
Sayangnya, sang novelis tak menemukan peristiwa seperti itu malam ini.
Dia berjalan dari taman kota ke kamar kumuh yang disewanya dengan harga sangat miring. Perjalanan yang hanya memakan waktu setengah jam itu membuatnya tidak sengaja bertemu seekor anjing. Seekor anjing tak bertuan, yang duduk meringkuk di sebuah lorong tanpa seutas tali atau penanda lain yang membuat orang tahu bahwa dia anjing milik seseorang.
Sejak duduk tanpa hasil di taman kota, sang novelis berharap menemukan sesuatu dalam perjalanan pulang yang membuatnya gampang mengetikkan kata demi kata di kalimat pertama calon naskahnya. Sayangnya, tidak ada apa-apa selain seekor anjing. Itu pun hanya dia lihat sekilas.
Karena terbiasa mengamati lingkungan sekitar, novelis yang tidak dikenal ini bisa membuat detail tambahan dari imajinasinya sendiri untuk sebuah objek yang tak sengaja ditemukan dan dilihat seperti anjing tadi. Detail yang dia bisa pikirkan kali ini adalah anjing itu bukan seekor anjing biasa; anjing itu malaikat maut yang menyamar sehingga genangan air busuk di dekat ekornya bukan genangan air sungguhan, melainkan gumpalan asap hitam dari neraka yang biasa dia tunggangi.
“Lumayan juga,” bisik sang novelis pada dirinya sendiri, “meski aku belum tahu apa anjing yang bukan benar-benar anjing tadi bisa kumasukkan dalam bagian awal ceritaku.”
Demi tak kehilangan ingatan tentang anjing dan detail tambahan yang dia pikirkan, dia harus mencatatnya. Maka, novelis itu berhenti di depan sebuah toko obat yang tampak sudah lama tidak beroperasi. Novelis itu duduk di depan pintu toko obat itu, lalu menuliskan kalimat: seekor anjing datang dari neraka; tentulah sang malaikat maut sedang iseng. Sesekali dia tak perlu menyamar jadi orang berbaju putih atau perempuan cantik berambut keriting. Sesekali, malaikat perlu menyamar sebagai anjing tak bertuan yang tua dan telantar dan sakit-sakitan.
Selesai menulis kalimat itu, sang novelis kembali melanjutkan langkah. Dia sampai di kamar busuknya tiga menit kemudian dan langsung berbaring di tempat tidur dan terbenam ke alam mimpi tanpa perlu menata barang-barang penting serta beberapa wadah pil yang masih tersimpan dalam tas. Sang novelis terlalu lelah untuk menjadi teratur malam ini.
Esoknya, novelis itu bangun dengan suasana kepala agak kacau. Dia bongkar tasnya, membaca kembali catatan semalam. Lalu, rasanya, seluruh waktu dan pengorbanan yang dia lakukan demi naskah dengan ide yang tiga bulan dia pendam, tampak sia-sia dan tak ada guna.
“Dan semua gara-gara si anjing biadab!” umpatnya, tapi dengan nada yang riang.
Tanpa mandi atau sarapan pagi atau bahkan menyeduh kopi terlebih dulu, sang novelis mulai bekerja. Biasanya dia lebih senang menulis di taman kota atau entah tempat yang terbuka, di mana paru-parunya terisi kesejukan sehingga otaknya memiliki peluang lebih baik untuk bekerja dengan lancar; atau setidaknya dia akan merasa demikian. Namun, segala rutinitas ditabrak hari ini. Tak ada kepergian ke tempat-tempat terbuka. Tak ada doa atau ritual khusus seperti ketika dia akan menata berbagai perlengkapannya di tas sebelum berangkat mencari tempat untuk menulis. Dia malah mengambil laptop, lantas mulai menulis.
Menit demi menit berlalu. Jam demi jam terlampaui. Tiga puluh halaman lebih dia hasilkan dan setelah dibaca ulang, ternyata tidak terlalu mengecewakan. Malah, baginya, naskah dadakan ini cukup menjanjikan.
“Novel-novel terbaikku tak pernah mendapati proses secepat dan seaneh ini,” batinnya dengan penuh keheranan.
Tentu, meski dia sebut ‘terbaik’, di antara novel lama tadi tak ada satu judul pun yang terjual lebih dari sepuluh ekspemplar; itu pun sebagian dari pembeli adalah rekan-rekan sesama penulis gagal yang, dengan terpaksa, saling mendukung satu sama lain untuk keberlangsungan iklim literasi di kota kecil di mana mereka berjuang, meski tidak ada yang bisa menjamin masa depan mereka kelak. Andai ada segelintir novelis atau cerpenis yang tidak sudi membeli karya teman-teman sendiri, sebab terlalu jujur dan enggan membuang duit untuk hal-hal yang telah mereka tahu tak akan berpengaruh bagi karier kepenulisan mereka masing-masing, risiko terburuk akan menimpa mereka, yakni terkucilkan. Seseorang harus berteman untuk bertahan.
Tanpa terlalu membuang waktu pada segala persiapan dan ritual, sejak itu sang novelis dengan tekun menggarap naskah barunya di rumah. Dia merasa cukup dengan duduk di depan jendela terbuka yang menampilkan suara-suara di jalan raya di bawah sana; klakson puluhan kendaraan yang terjebak macet, suara orang-orang, teriakan para penjaja makanan, atau sesekali anjing liar menyalak, yang membuat sang novelis merasa itu kode alam untuknya agar tetap berada di kebiasaan barunya ini.
Kerja keras yang tak terasa membuang banyak energi itu selesai tepat di hari ulang tahunnya yang ke-41. Sang novelis selesai mempersiapkan segala yang dia butuhkan untuk menemui seorang editor, salah satu teman lama yang sukses setelah mendapat pekerjaan di sebuah penerbit raksasa. Tadi pagi dia sudah menelepon dan berjanji akan membawa naskah yang sangat memuaskan. Editor itu tahu belaka bagaimana busuknya karya sang novelis selama ini, maka dalam pertemuan yang disepakati, dia tidak hadir.
Sang novelis kecewa. Dia menelepon editor itu sekali lagi. Tiga jam kemudian, setelah berjuang menahan kantuk di tempat makan tepi jalan tanpa sanggup memesan apa-apa, akhirnya novelis itu bertemu juga dengan si editor. Setelah membujuk editor itu untuk membaca beberapa bagian, tampaknya perubahan akan terjadi.
Editor itu bilang, “Harusnya naskah ini kamu buat saat umurmu masih 20!”
Butuh kurang dari sebulan. Akhirnya novelis itu mendapati naskah barunya disulap menjadi buku dengan sampul yang bagus dan dipajang di rak utama toko buku terbesar di kota. Sejak itu, sering kali dia mendapatkan undangan menjadi pembicara di acara sastra. Novel terbarunya yang menggemparkan membuatnya terpulihkan dari segi finansial.
Segalanya mulai berubah dan hidup jadi lebih menyenangkan. Sang novelis, berkat karyanya yang sukses, mendapat lebih banyak teman dari banyak kalangan, terutama kaum elit. Ia cukup sering menghadiri pesta-pesta di rumah para kenalan dari golongan terpandang. Mereka sangat memuji karya terbarunya yang hebat.
“Novel sehebat itu, dapat ide dari mana kalau boleh tahu?” tanya seorang dari mereka dalam salah satu acara jamuan santai.
“Dari perjalananku yang tanpa tujuan.”
“Maksudmu?”
“Aku tak pernah benar-benar tahu apa yang kujumpai saat itu. Aku hanya senang saja berkeliaran ke sana kemari untuk bahan tulisanku. Dan rupanya hari itu kemujuran berpihak padaku. Seekor anjing memberiku ilham.”
“Salut, Bung. Kau mengerjakannya sepenuh hati. Karya yang ditulis lewat perasaan, pasti akan berhasil. Kira-kira, kapan kau menerbitkan karya lagi?”
“Ya,” sahut temannya yang lain sebelum ia sempat menjawab, “kapan kau beri kami karya sehebat ini lagi? Kami sudah tak sabar!”
“Wah, tunggu saja. Hahaha,” ucapnya dengan agak ragu.
Yah, entah kenapa, tiap kali mengingat betapa ia masih memiliki kewajiban itu; menghadirkan karya terbaru bagi pembaca, dan terutama, yang lebih baik dari cerita tentang malaikat yang menyamar menjadi anjing, ia selalu merinding dan merasa ngeri. Apakah bisa? Bagaimana cara menghadirkan sesuatu yang tak sengaja tapi brilian seperti si anjing itu?
Pertanyaan itu terus mengendap di otaknya, dan makin lama makin membebani. Dia memang mulai menulis lagi, tapi tak pernah berhasil. Kalaupun jadi, naskah itu tampak biasa saja dan tak membuat sang editor terpukau.
Setelah setahun, lima tahun, tiga belas tahun kemudian, tak ada lagi satu pun naskah yang mampu dia tulis sebaik naskah best seller yang dulu ditulis tanpa rencana setelah tak sengaja melihat seekor anjing tua dalam perjalanan pulangnya dari taman. Tak ada lagi momen seajaib itu dan dia terus berharap Tuhan menurunkan beberapa kali lagi momen seperti itu.
“Bila perlu setara jumlah umurku yang tersisa, Tuhan!” keluhnya di malam-malam yang sepi.
Sayangnya, Tuhan tak lagi berminat memberinya momen itu. Seakan-akan dari atas langit Dia bersabda, “Sekali saja cukup bagimu.” [ ]
Gempol, 2014-2023
*) Image by istockphoto.com