Suatu ketika seorang ahli astrofisika membuat pengakuan heboh. Dia mengklaim diri telah mampu untuk merancang mesin waktu. Ide gila ini bermula dari percakapan ringan sang profesor dengan seorang salesman komputer—mantan penulis cerita pendek di koran yang memutuskan pensiun dini akibat tak sabar menjadi penulis besar.
Dari pengalaman yang dihafalnya persis, “Kebanyakan pembaca dan redaktur menyukai cerita melankolis bertema kenangan, seolah mereka menjalani cerita itu berdasarkan kenangan serupa yang mungkin terjadi dalam hidupnya.”
Dan setiap kenangan, niscaya bercokol di masa lalu.
“Kita bertolak dari teori relativitas. Einstein mengatakan, waktu dipengaruhi kecepatan. Seperti kosmonot yang terbang dengan pesawat super cepat, sangat cepat, hingga tiada yang lebih cepat lagi selain cahaya. Waktu berdilatasi antara ia dan Bumi. Ibarat sepasang kekasih yang telah berbeda hati, sehari bagi seorang, serasa sebulan untuk seorang lainnya,” tamsil sang profesor ala maestro sastra.
Beberapa skeptis. Tapi sebagian lain bersimpati dan mendukung. Apalagi selentingan kabar menyebut, konon sang profesor melakukannya demi sang istri yang telah pergi hingga ia jatuh ke jurang sepi. Tiada jurang yang lebih dalam selain hidup bersunyi-sunyi dalam sepi. Perihal kesedihan memang selalu mengundang simpati. Bagai pandemi. Untuk sesiapa yang melimpah rodan nan meluah, ini lebih dari sekadar mimpi basah di siang bolong. Renaisans baru telah tiba.
Bayangkan, ruang dan waktu dilompati bagai parit. Serupa permainan congklak dan engklek. Hop! Hap! Hop! Hap! Seperti mampir ke sebuah mal beraneka rupa agar kau betah melancong dari satu toko ke toko lainnya. Seperti konglomerat makan, tidur, bercinta, dan berak di empat negara dalam waktu kurang dari satu kali rotasi bumi! Hidup betapa asyiknya, penuh warna.
Maka setiap orang mulai berangan-angan. Dan seperti lazimnya keramaian menyikapi wacana, orang bertanya-tanya, tak jarang timbul perdebatan. Bagaimana gerangan bentuk mesin waktu itu; apakah berupa kapsul raksasa, portal segitiga, cermin dan pintu ajaib, laiknya kotak biola, atau semacam tongkat sulap yang dapat menghilangkan sekaligus kerumunan orang, sebanyak jumlah para demonstran?
Bila berbentuk kendaraan, apakah berjenis pribadi atau angkutan massal semacam MRT? Apakah kita bebas memilikinya seperti ponsel pintar? Apakah ada tutorial? Adakah layanan 24 jam pusat panggilan bagi pelanggan, semisal ucapan, “Selamat datang di tahun 1995, tahun ketika Aum Shinrikyo melakukan teror di Jepang, atau empat bulan sebelum genosida Srebrenica di Bosnia, atau sesuai dengan tujuan mula, tahun di mana Anda pertama kali jatuh cinta dengan seorang gadis pujaan di sekolah. Bila ada pertanyaan lebih lanjut silakan hubungi kami di nomor ini,” dari pemandu virtual saat baru saja selamat dari ancaman radiasi tinggi.
“Ini lompatan besar makhluk beradab. Sejarah lalu yang gelap, setumpat-tumpatnya pekat berjelaga di bokong negeri bakal terkuak. Tak ada lagi yang tertutupi kuasa, terang-benderang bagai matahari Afrika.”
“Makhluk-makhluk serupa Hitler, Saddam, Stalin, dan badut diktator lainnya tak boleh lahir ke dunia ini!”
“Gantian kapitalisme kita basmi!”
“Kita bisa menolong para nabi dari kezaliman kaum sesat.”
“Seharusnya kita dengar ramalan bencana para ilmuwan.”
“Seandainya dulu saya terima lamaran calon dari bapak, mungkin hidupku tak miskin kayak sekarang.”
“Aku hanya ingin kembali ke masa kecil. Mengail ikan di empang, main bola di tanah lapang, berlarian di rerumput liar yang tumbuh sekitar rumah kakek sewaktu ayah dan ibu masih ada,” angan seorang eksekutif muda menatap layar televisi di sebuah bar yang sepi.
Begitulah setiap imajinasi tumbuh di benak masing-masing sesuai kenangan dan kepentingannya sendiri.
***
Meski negeri ini—konon—kaya, impian membuat mesin penjelajah waktu masih terkendala; pengolahan materi eksotis dan neutrino—partikel hantu nyaris tak bermassa yang lebih kecil dari elektron, hampir secepat cahaya. Butuh pengembangan teknologi, seolah kutukan; kemampuan daya mengolah jadi kelemahan dari surplus sumber daya alam.
Sang profesor bukan Bruce Wayne, bukan pula pejabat negeri. Ia membuka donasi. Butuh sokongan dana tidak sedikit. Namun, walau tagar dan kampanye ‘Negara Maju dengan Mesin Waktu’ keras digaungkan ke seantero negeri, untuk urusan sumbang-menyumbang, nyatanya antusiasme tak sekencang imajinasi dan obrolan warung kopi. Sudah beberapa sasi, angka di rekening tak jua berbiak signifikan. Bekerja sama dengan pihak luar, bakal dituduh agen asing.
“Orang lebih sudi menyumbang untuk kampanye politik atau konflik di luar negeri daripada riset. Bagaimana mau jadi bangsa yang besar,” keluh sang profesor.
Wong cilik pastinya lebih memilih kebutuhan pengisi perut daripada hal bombastis. Orang kaya pun enggan berinvestasi dengan prospek yang tak jelas. Kebanyakan masa lalu mereka susah.
“Kalau bisa kembali ke masa lalu, jangankan mengubah jalan untuk kelak jadi lebih kaya, bila ada petaka, sesuai teori ‘paradoks kakek’, lahir pun batal! Terlalu berisiko.”
Tapi bukankah hidup itu sendiri paradoks?
Dipandang sebelah mata oleh negara yang defisit neraca, tak laku di mata para pasangan yang kini hidup bahagia, pun sejurus pula nasibnya bagi bujang-gadis abadi yang betah sendiri. “Kalau tujuannya soal asmara, seperti uang, biarlah jodoh yang bekerja untuk saya,” kata Ramdola si pemuda jomblo, memodifikasi kutipan motivator di linimasa.
***
Bayangan sepat samar memantul lewat kaca jendela yang dibiarkan telanjang, berbaur bintik cahaya kota di kejauhan, menyaru kerlipnya dari lelaku gemintang.
Di meja kerja, sang profesor merebah ke badan kursi. Raut mukanya tak setipikal ekspresi para penemu atau pahlawan yang sedang berjuang. Satu-satu kicauan di media sosial ia baca. Matanya berhenti pada sebuah komentar panjang. Semacam surat terbuka. Kata-perkata ia rapal pelan. Sangat hati-hati. Kalimat yang tersusun apik itu lantas membuatnya terbangun dari kursi. Biji matanya bagai sedang meneropong hewan buruan. Isinya begini:
Teruntuk sang profesor di mana pun Anda berada, izinkan saya bercerita sedikit tentang kehidupan yang pernah saya lalui. Beberapa waktu lampau, saya pernah mengenal seorang lelaki hebat, mungkin satu-satunya yang terhebat yang pernah saya kenal. Dia begitu muda. Begitu cemerlang. Kami bertemu di sebuah acara seminar, ketika dia menjadi salah satu pembicara yang banyak dikagumi karena kecerdasannya. Lewat seorang kerabat, akhirnya kami dipertemukan. Tanyalah segala sesuatu padanya, dia akan menjawab dengan sempurna. Bagai ensiklopedia berjalan. Tapi tidak saat kami hanya diam, terpaku mendengar lantunan lagu ‘La Vie En Rose’ yang diputar pada makan malam pertama di sebuah kafe, berlagak menebak-nebak itu versi siapa untuk menghalau canggung. Di hadapan saya, dia berubah dari kemahiran seorang penceramah menjadi mesin penjawab otomatis kala tak ada lagi pertanyaan. Beruang madu yang pemalu, demikian saya memanggilnya. Dari sebuah artikel yang pernah saya baca, memanggil pasangan dengan nama hewan membuat hubungan langgeng. Dan itu terbukti selama tiga puluh tahun pernikahan. Ya, kami kemudian pernah hidup bersama sepanjang itu.
Pernah adalah kata kuncinya. Bila dia kelak, entah bagaimana caranya, memiliki mesin waktu ciptaan Anda, saya bertanya-tanya, akan melancong ke mana dia: pergi ke masa lalu ketika kami pernah hidup bahagia sekadar untuk bernostalgia, atau ke masa saat segalanya mulai terasa ganjil, mungkin membosankan, perasaan itu hilang seiring usia serta perihal yang tak saya ketahui sebabnya. Setiap orang punya rahasia. Saat itu saya tak lagi melihatnya sebagai beruang madu nan pemalu selain serigala soliter pemarah, yang tak segan memakai cakarnya untuk melukai. Menghardik bagai lolongan. Menggunakan akalnya guna mengelabui, merendahkan orang lain. Dia berubah jadi pejantan penuh kuasa yang tak punya rasa empati. Tak pernah ada kata sesal sampai saya mengancam ingin berpisah, egonya terlalu besar untuk mengalah. Cerai di usia tua itu aneh, tapi begitulah adanya. Saya harus menyelamatkan hidup saya. Kita bertanggung jawab atas kebahagiaan kita sendiri. Saya tak yakin dia akan kesepian atau merasa bebas. Atau justru dia akan pergi ke masa sebelum kami saling mengenal satu sama lain, untuk membuat semuanya tak pernah ada. Siapa yang tahu hati seorang pemarah.
Begitu jauhnya imajinasi, yang dekat dinafikan. Bila setiap orang menerima, mengakui, lantas memaafkan masa lalu, masa depan akan terasa ringan. Kejahatan masa lalu dihapus, sejarah diubah, tak menjamin masa depan bakal lebih baik. Kejahatan baru akan lahir, bertumpuk lapis seperti kue panekuk pagi—yang lelaki saya pernah gemari. Rezim berganti rezim. Pahlawan baru muncul setiap hari. Tak ada gunanya lagi sejarah bila terus dibongkar pasang sesuai kepentingan. Tapi Tuhan mencatatnya. Kebenaran itu lebih asing dari dongeng. Kita bahkan tak ingin mengenalnya lebih jauh. Namun kita lebih penasaran bagaimana dongeng dimulai. Kita lebih nekat mengambil resiko mati di zaman Neolitik, Lembah Indus, Asuka, renaisans, koboi, kerajaan, kolonial, sedang semesta begitu luas tak terbayangkan. Kecuali itu, bahkan disebut paralel. Realitas multi lapis disekat bagai penjara paling ketat sedunia. Mustahil saling merecoki. Tapi tentu saja Anda jauh, jauh lebih pintar dari saya tentang hal ini.
Dan ketika kita, katakanlah, terdampar lalu mati saat melancong ke masa lalu, siapa tahu, seseorang sedang menunggu—ketiadaan, seperti Vladimir dan Estragon pada Godot.
Tak perlu mesin waktu. Bila lelaki saya membaca pesan ini, dia cukup membawa kata maaf dan penyesalan yang tak pernah diucapkan itu ke rumah saya di pinggiran kota. Mungkin setelah itu kita bisa berbincang, dan berdebat kecil tentang versi aransemen mana yang lebih baik dari lagu klasik sepanjang masa Edith Piaf, sang biduan Prancis.
Mungkin waktu dapat kembali. Salam.
***
Di naungan lampu redup seolah senja, matanya berembun. Bukan terantuk asap, tidak pula terserang kantuk. Alih-alih menyeka, entah ke mana pikiran sang profesor berkelana. Laksana lesatan cahaya, ruang dan waktu terlampaui tanpa algoritma.
Sang profesor seketika yakin, itu adalah Sophia.
(Bojongsoang, 2020)
Trackback/Pingback