Dalam buku After Babel: Aspects of Language and Translation, George Steiner mengutip perkataan Alexander Pushkin soal penerjemah yang kelak melegenda. “Penerjemah,” kata Pushkin. “Tak ubahnya kurir jiwa manusia (the courier of human spirit).” Seorang penerjemah mengantarkan semangat sukma orang-orang dari pelbagai sudut dunia ke sudut-sudut lain dunia. Ia bukan sekadar mengalihbahasakan kata-kata, tapi juga ideologi, budaya, kegelisahan, dan segenap hal lain yang terkadang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang membaca suatu karya terjemahan.

            Atas dasar itu, posisi penerjemah tidaklah layak disepelekan. Ia serupa pengantar barang pada era kiwari yang banyak memudahkan hidup kita. Kita bisa menyantap makanan lezat, membeli gawai teranyar, atau sekadar sehelai kaos bola tanpa harus pergi ke toko, berkat jasa kurir. Demikian pula halnya para penerjemah. Bahkan—tanpa mengurangi penghormatan terhadap kurir barang, karena toh setiap profesi punya keistimewaan masing-masing, mereka punya kedudukan yang jauh lebih tinggi. Sebab, para penerjemah bukan hanya mengantarkan benda-benda dalam bungkusan plastik. Mereka mengantarkan teks, di mana dalam teks-teks tersebut terkandung kompleksitas hidup manusia dan alam semesta.

            Lazimnya kita memahami penerjemah adalah seseorang yang namanya tercantum dalam kolofon buku terjemahan dengan keterangan “penerjemah” atau “alih bahasa”. Tapi, apakah selalu begitu? Apakah yang layak diakui sebagai penerjemah hanyalah orang-orang yang namanya tercetak pada halaman buku? Saya rasa tidak. Kita berada di zaman ketika miliaran teks hilir mudik di ranah siber lebih cepat dari kertas-kertas yang keluar dari mesin cetak. Untuk itu, pemahaman mengenai “penerjemah” mesti diperluas. Orang-orang yang aktif menerjemah dan membagikan terjemahan mereka melalui internet juga layak mendapat tempat.

            Saya hidup pada masa ketika gempuran teknologi dan pengaruh internet merupakan sesuatu yang tak bisa dielakkan. Internet, sebagaimana media-media lain dalam kehidupan ini, tentu tidak selamanya berdampak baik. Ia bisa membuat orang terjebak dalam kabar-kabar hoaks, kesalahpahaman dan ketersesatan dalam menerima informasi, atau sekadar menjauhkan diri dari realita akibat kecanduan internet yang akut. Namun bagaimanapun, saya harus banyak berterima kasih pada internet, kepada orang-orang yang telah menulis hal-hal baik dan berharga di dunia digital ini. Di antara mereka, saya menghaturkan apresiasi khusus terhadap para penerjemah (dalam hal ini penerjemah teks-teks sastra), orang-orang yang secara sukarela menerjemahkan teks-teks berbahasa asing dan membagikannya secara percuma di web atau blog masing-masing.

            Orang-orang inilah “para penerjemah sastra di ranah siber”, yang namanya barang kali tak pernah kita temui di halaman depan buku-buku terjemahan, tapi perannya tak kalah dibandingkan para penerjemah arus utama. Mereka menerjemahkan apa saja: puisi, cerita pendek, esai, dan fragmen novel.

            Selama bertahun-tahun perkelanaan saya di dunia internet memburu karya-karya terjemahan—khususnya terjemahan dari bahasa non-Indonesia ke dalam bahasa Indonesia—saya menemukan banyak nama maupun situs. Sebagian hanya menerjemahkan beberapa teks saja, sebagian sudah tak aktif, dan sebagian lain menerjemahkan banyak teks dan masih terus aktif mengalihbahasakan karya-karya yang tak banyak orang Indonesia ketahui sampai saat ini.

            Ada puluhan nama dan situs. Ada ratusan karya—terutama cerpen—yang telah diterjemahkan. Saya pernah berusaha menghimpun cerpen-cerpen terjemahan yang beredar bebas di internet. Saya berhasil mengumpulkan seratus lebih cerpen terjemahan mulai dari cerpen sangat pendek ala Etgar Keret sampai cerpen-cerpen sangat panjang khas Haruki Murakami. Karya-karya yang belum saya himpun, tapi saya tahu ada di internet, masih jauh lebih banyak. Mungkin mencapai angka seribu atau lebih, kalau sungguh-sungguh dihitung.

            Sekadar menyebut contoh, nama-nama dan situs-situs berikut getol menerjemahkan karya sastra asing dan mempublikasikan secara cuma-cuma: Arif Abdurrahman (yeaharip.com), Bernard Batubara (bisikanbusuk.com), Sabda Armando Alif (laserfaxmachine.wordpress.com), Rizaldy Yusuf (rizaldyyusuf.wordpress.com), Andina Dwifatma (andinadwifatma.com), Fransiska Eka (afransiskaeka.wordpress.com), Bastian Hidayat (kaki-kata.blogspot.com), Aan Mansyur (medium.com/@hurufkecil), Janoary M. Wibowo (kacamatajanoary.wordpress.com), kibul.in, bacapetra.co, ngulikata.blogspot.com, fiksilotus.com, dan dasgenicht.blogspot.com.

            Di antara contoh-contoh itu, yang sejauh ini saya amati paling konsisten menerjemahkan karya-karya sastra adalah Arif Abdurahman (yeaharip.com) dan ngulikata.blogspot.com (blog dengan pemilik awanama). Keduanya menerjemahkan macam-macam: cerpen, esai, fragmen novel. Namun, yang terbanyak adalah terjemahan-terjemahan cerpen. Melalui tangan mereka, banyak nama baru yang barang kali sama sekali belum pernah didengar kebanyakan publik pembaca di Indonesia mencuat. Mereka menerjemahkan karya-karya siapa saja dan dari negara mana saja, tidak hanya berfokus pada karya-karya penulis tertentu. Di antara nama-nama penulis dunia yang karyanya mereka terjemahkan adalah Alejandro Zambra (Cile), Sheila Heti (Kanada), Banana Yoshimoto (Jepang), Fernando Sorrentino (Argentina), Laszlo Krasznahorkai (Hungaria), Isaac Bashevis Singer (Amerika-Polandia), dan Na’am al-Baz (Mesir).

            Kendati “hanya” menerjemahkan puisi atau cerita pendek melalui blog pribadi dan situs khusus, peran mereka tak bisa dikesampingkan begitu saja. Ada ribuan orang yang turut mendapatkan manfaat dari kerja mereka, khususnya orang-orang yang haus akan bacaan namun tak memiliki kemampuan berbahasa asing mumpuni. Pada titik ini, para penerjemah di ranah siber tak lagi sekadar kurir, tapi juga semacam “dai” yang mendakwahkan teks-teks sastra dari berbagai penjuru dunia ke hadapan “umat sastra” di Indonesia. Mereka juga melakukan usaha penerjemahan tidak untuk mengejar bayaran tertentu, melainkan semata-mata untuk menyebarkan “kebaikan-kebaikan teks sastra dunia” secara lebih luas.

             Dengan segala uraian di atas, rasanya kita patut memberi apresiasi lebih terhadap para penerjemah sastra di ranah siber. Suatu saat, barang kali perlu diadakan semacam sayembara penerjemahan atau penerbit mengorbitkan nama-nama penerjemah sastra di ranah siber tersebut untuk melakukan kerja penerjemahan secara lebih mendalam dan luas. Intinya, kerja mereka terlalu berharga untuk disia-siakan begitu saja.

            Apalagi kerja penerjemahan yang mereka lakukan bermaksud baik belaka. Setidaknya itulah yang bisa saya simpulkan ketika membaca semacam manifesto Arif Abdurahman ketika ia menerjemahkan cerpen-cerpen dunia.

            “Bagaimanapun, saya suka dengan bacotan Jose Saramago. Penulis nulis pake bahasa nasionalnya masing-masing, omongnya sambil ngemil Chitatos, tapi sastra dunia yang sesungguhnya diciptakan oleh para penerjemah. Maka inilah saya, berusaha merawat kesusastraan dunia—yang sebenarnya enggak penting-penting amat, sih,” demikian tulis Arif.

            Untuk itu, kita perlu memberinya dan orang-orang semacamnya tepuk tangan keras-keras dan mendoakannya masuk surga. (*)