image by @ardisum.
Kalimat-kalimat itu dengan kejam menuding penulis-penulis cerita anak Indonesia seperti tanpa kecuali: “Anak-anak penting bagi banyak orang, dan bagi banyak kepentingan, kecuali bagi para penulis. Para penulis bagus yang kita miliki, atau setidaknya nama-nama yang dikenal sebagai penulis bagus, hampir tidak ada yang menulis buku cerita anak-anak.” Kita membaca utuh pertanggungjawaban juri Sayembara Cerita Anak Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2019 dan menemukan pertautan narasi untuk tidak mengesahkan satu pun pemenang utama sayembara ini. Dari 198 naskah, Dewan Juri “hanya” memilih 9 pemenang harapan secara setara, penulis-penulis yang berhasil menyajikan “cerita-cerita yang lebih lancar, lebih wajar, dan lebih enak dibaca.”
Dewan Juri pantas kecewa. Seperti terbaca dalam edaran tercetak di malam anugerah 4 Desember lalu, sayembara ini adalah proyek masa depan. Komite Sastra DKJ menginginkan sayembara ini “menyumbang pembangunan pondasi” untuk melahirkan buku-buku anak yang diharapkan bisa menjadi klasik puluhan tahun nanti. Sejak awal pengumuman, rambu harapan sudah diterangkan lewat pemunculan buku-buku referensi dari cerita (klasik) Indonesia dan dunia: Si Doel Anak Betawi (Aman Datuk Madjoindo), Jago-jago Kecil (Ahmad Bakri), The Adventures of Hucleberry Finn (Mark Twain), dan Oliver Twist (Charles Dickens). Publik sastra anak Indonesia juga pantas kecewa, juri tidak bisa menyebutkan lebih banyak buku-buku dari penulis anak Indonesia.
Menokohkan Anak
Sedikit buku-buku yang disebutkan itu, meski berasal dari kultur yang sangat berbeda, memiliki beban sejarah, sosial, dan kultural wajar namun kuat dalam cerita, juga telah melampaui ujian waktu yang cukup lama untuk disebut sebagai cerita klasik. Mereka hidup dan dihidupkan terus-menerus secara sistematis tidak cuma oleh kultur literasi, tetapi juga ekonomi literasi yang mumpuni. Di Indonesia, kesempatan cetak ulang terus-menerus hanya datang pada kisah Huc dan Oliver. Dua judul yang lain sudah tidak membersamai masa kanak bocah Indonesia mutakhir. Tahun 2019, Si Doel nekat hadir lagi ke publik lewat film nostalgis Si Doel The Movie 2 tanpa ada ingatan pada Aman Datuk Madjoindo dan bukunya. Doel memang telah dilupakan waktu.
Jumlah buku anak Indonesia semakin membanjir tahun demi tahun dan sebagiannya memiliki kualitas tidak sepele. Di rak-rak anak toko buku, pergantian buku berlangsung cepat. Kita tidak benar-benar tahu, adakah benar satu saja tokoh dalam sastra anak Indonesia yang sempat mampir cukup lama di benak bocah Indonesia mutakhir dan jadi gosip nasional tiada akhir. Matara, anak berusia 12 tahun dalam tiga seri petualangan yang ditulis oleh Okky Madasari pun terbit tidak dengan menimbulkan antrean panjang anak-anak membayar buku di kasir toko Gramedia. Kita tidak tahu, anakkah yang tidak mampu memilih buku bacaan mereka sendiri atau orangtua yang tidak tahu keberadaan buku itu.
Tokoh-tokoh anak yang bisa diidolakan bocah mutakhir lebih gampang hadir lewat film dan serial televisi. Kita ingat betapa Upin dan Ipin, Boboy Boy, Adit Sopo Jarwo digandrungi bocah-bocah Indonesia sampai sekarang. Upin-Ipin dan Boboy Boy pun hadir di topi, kaus, tas, wadah pensil, sampul buku tulis, juga jadi bacaan anak-anak Indonesia. Senyatanya, kita memang masih belum bisa menyangkal serbuan tokoh-tokoh Disney untuk lebih mengisi masa kanak bocah-bocah mutakhir lewat film, buku-buku, dan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Sebagian besar tokoh anak itu bukan anak Indonesia, tetapi anak-anak tidak pernah bermasalah dengan asal-usul.
Mereka belum beralih dari layar karena di antara puluhan ribu buku anak yang terbit di Indonesia, sedikit yang bisa menggugah batin anak secara mendalam sebagaimana, tentu saja, Pippi menggugah jutaan keluarga Eropa. Ada sesuatu yang penting yang dibangkitkan oleh kehadiran Pippi masa itu, sebagaimana ditulis Sindhunata di majalah Basis No. 07-08, Juli-Agustus 2002, “Dunia ini adalah kerajaan anak-anak yang telah hilang. Pippi merampas kembali kerajaan yang hilang itu, dan mengembalikannya pada anak-anak. Karena itulah anak-anak sangat terpesona padanya. Anak-anak memang perlu diajari peraturan dan sopan santun. Tapi kalau hanya peraturan dan sopan santun yang harus mereka jalankan, imajinasi akan kebebasan dan petualangan khas mereka akan pudar, dan mereka pun akan dilucuti dari kekuatan transendental mereka yang membebaskan. Jika kekuatan transendental mereka hilang, mereka pun hanya menjadi copy dari realitas ciptaan orang-orang dewasa.”
Anak-anak merindukan petualangan seru yang sepenuhnya dikuasai oleh mereka sendiri. Mereka ingin menggerakkan cerita sepenuhnya, tidak dirusuhi oleh orang-orang dewasa yang kehadirannya dalam cerita tiba-tiba sebagai pelurus moral, pemberi solusi kilat dalam segala hal. Anak-anak mendambakan kebebasan mutlak, mereka ingin mengendalikan dunia mereka sendiri: menjelajah hutan, melakukan perjalanan jauh, mengendalikan kano melewati sungai panjang nan deras, menyelamatkan seorang bayi, membuat keputusan penting mereka sendiri, menolak cengeng seperti anak-anak! Mereka ingin bebas memiliki bahasa mereka sendiri: mereka berhak membahasakan kemarahan dengan umpatan, meledek dengan bengis, mengatakan tidak pada orangtua karena memiliki tekad sendiri.
Si Kabayan, tokoh yang sempat digemari di Indonesia itu, pernah berdoa dengan bahasa seperti ini (dalam Seri Kabayan Ayam untuk Bapak Gubernur garapan Bambang Oeban, 2000):
Oh, Tuhan
Seperti makan obat
Sehari tiga kali, aku memohon kepada-Mu
Supaya aku diberi uang. Tapi kok tidak diberi juga.
Kasihani aku, Tuhan
Sekarang sudah tanggal 10.
Tiga hari lagi tanggal 13.
Penagih utang akan datang.
Sedangkan aku, sepeser pun tidak pegang uang
Bagaimana dong, Tuhan?
Aku bisa mati dicekik para tukang pukul
Padahal aku belum mau mati
Oh, Tuhan kok nasibku jadi begini sih?
Kutanya pada bulan, ia diam saja
Kutanya matahari, sama juga
Aku harus bagaimana lagi, Tuhan?
Oh, apakah Si Kabayan sedang berhadapan dengan Tuhan ataukah seorang teman lama? Mata dalam Mata di Tanah Melus (2018), Mata dan Rahasia Pulau Gapi (2018), dan Mata dan Manusia Laut (2019)tidak memiliki semua itu, juga bahasa yang nakal-pemberontak sebagaimana alam anak. Mata mengalami petualangan dan keajaiban di tempat-tempat eksotis Indonesia masih dalam taraf sebagai “pengunjung” yang menurut saja ke mana nasib membawa. Anak-anak Indonesia tidak memiliki kekuasaan sebesar Pippi, atau Malcolm dalam The Book of Dust: La Belle Sauvage Philip Pullman (2019) dalam menentukan nasib cerita.
Cerita-cerita anak tidak pernah berkurang jumlahnya, termasuk seri Creepy Case Club garapan Rizal Ihwan (Penerbit Kiddo, 2019), berbagai Seri Misteri Favorit Penerbit Kiddo, dua seri Kopral Jono garapan Agnes Bemoe (2019), Dru dan Lima Kerajaan garapan Clara Ng (Gramedia, 2016); adakah kita lebih mengingat peristiwa dalam cerita-cerita itu, atau tokoh anak dengan segala lakunya yang melekat. Kita mungkin berpikir ulang lagi untuk menentukan siapa tokoh sastra anak Indonesia yang sejak dulu sampai sekarang terus saja jadi favorit, diwariskan dari generasi ke generasi, menjadi ingatan bersama tidak hanya oleh kelas sosial-intelektual tertentu di Indonesia.
Cerita klasik—dalam arti paling luas—memerlukan itu semua: ketokohan yang melekat kuat dalam benak anak, cerita yang “wajar” memiliki kekuatan ruang sosial dan kultural yang mumpuni, bahasa yang memadai, dan bertahan dalam ujian dari waktu. Cerita yang memiliki komposisi itu tidak hanya bisa dihasilkan oleh penulis yang piawai, tapi juga pembaca (semua jenis buku) yang tangguh.
Menulis Anak
Laporan pertanggungjawaban Sayembara Cerita Anak semestinya menggerakkan polemik ke arah gagasan sastra anak, juga keluwesan penulis untuk berpolemik secara pemikiran untuk sesuatu yang mereka tekuni, tetapi yang terjadi rupanya tidak begitu. Laporan itu membangkitkan amarah beberapa penulis anak dan secara kentara membagi mereka ke dalam dua pihak yang berseberangan: penulis yang digerakkan oleh industri komersil buku anak dan penulis yang lebih digerakkan oleh gagasan sastra anak yang “menghidupkan”.
Bagi beberapa penulis, “laris” dan “bestseller” masih menjadi kata kunci untuk menentukan kualitas buku anak. Padahal kita tahu dengan pasti, sebagian anak-anak tidak dibiarkan memilih buku-buku bacaan mereka sendiri. Orangtua pun memiliki ketakutan saat anak-anaknya membaca buku-buku yang memiliki tema sensitif seperti pendidikan seks atau gender. Anak bahkan tidak diizinkan membaca literatur di luar agama yang mereka anut. Juga, tidak semua orangtua adalah pembaca serius yang memungkinkan anak-anak mereka menjumpai buku-buku brilian sedari belia, tanpa cap pembangunan karakter, mengandung motivasi, dan pencipta penghuni surga di sampul.
Tentu tidak semua buku “laris” dan bercap “bestseller” memiliki kualitas buruk. Satu yang pasti dari dua kata itu: buku itu memiliki penjualan bagus. Peristiwa ini pun membawa kita ke sebentuk pengertian, penulis memang memiliki kecakapannya sendiri. Sebagian penulis lebih cakap merawat pasar (buku) anak. Sebagian yang lain lebih cakap merawat jati diri anak-anak.